Apa yang aku khawatirkan hanya saat kutinggal menemui Bapak, dokter memanggilku dan menjelaskan perkembangan Mas Rio. Krisna pun memahami dan menyetujuinya.
Setibanya Krisna, kupesan taksi agar bisa melaju dan segera sampai di Surabaya, tak mungkin aku bermotor dalam keadaan begini. Â Saat jam-jam sibuk, pertimbanganku lebih baik melintas lewat tol. Benar saja, tak lama aku sudah di ruangan Bapak.
Kulihat tubuhnya yang makin kurus, tetap matanya sayu dan tak banyak bicara. Aku berusaha menyuapinya, walau harus menyembunyikan air mata yang mulai menggenang. Bapak tampak lemah dan kehilangan semangat.
"Ayo, Pak, enggal didahar. Bapak sampun sehat, kok. Mbenjang kundur, nggih," bujukku, meski tak mempengaruhi selera Bapak.
("Ayo, Pak. Segera dimakan, Bapak sudah sembuh, kok. Besok pulang, ya.")
"Ayo, Pak, once more!" candaku padanya.
"Ya...Ya...once more," jawabnya. Aku lega, Bapak masih bisa bercanda, meskipun makanan yang kusuapkan tak jadi masuk di mulutnya karena mual.
HP-ku berdering, terbaca nama Krisna yang menghubungi. Kuangkat setelah Bapak kusandarkan lagi pada bantal yang tertata.
"Dokter memanggilmu, ada surat yang harus kau tandatangani berkaitan dengan pengobatan Mas Rio, segera!" sarannya.
"Tandatangani saja, aku gak bisa sampai sana dalam waktu 30 menit," jawabku.
"Tidak bisa, harus istrinya. Tadi sudah mau kutandatangani, tapi dilarang dan sebaiknya kamu, kata perawatnya. Karena risikonya berat. Pengobatannya untuk menghancurkan kerak yang menempel di dinding saluran menuju jantung, tapi jika gagal efeknya malah jadi stroke. Makanya harus kamu yang tanda tangan."
Lemas seketika tubuhku. Separah itukah penyakit yang diderita suamiku. Belum juga 30 menit aku menemui Bapak. Di sana aku sudah dibutuhkan. Tuhan, kuatkan aku.