Pagi itu, Bapak menelepon minta kuantar ke rumah sakit. Ada sedikit keluhan dilambungnya, beberapa hari terakhir makanan yang masuk selalu keluar. Tak biasanya ia mengeluh, mungkin saja karena sudah tidak kuat menahan sakitnya, ia minta ke rumah sakit. Â
Tugas di rumah telah kuselesaikan, sebagai ibu dan istri keluarga adalah yang utama. Aku pun pamit pada Mas Rio, dia paham mengapa Bapak minta aku yang mengantar, meski di rumah sana ada dua putra yang lain. Aku putri satu-satunya, hanya aku yang bisa mengerti Bapak.
Dengan bermotor aku menuju rumah Bapak, lalu ke rumah sakit yang jadi rujukan dengan memboncengkan lelaki yang telah membesarkan aku itu. Poli penyakit dalam langsung jadi tujuan kami, karena Bapak memang punya riwayat diabetes.
Dokter memeriksa semua keluhan yang disampaikan Bapak, lalu menyarankan pemeriksaan darah agar lebih spesifik mengenali penyakit yang diderita.
Hasil dari tes darah menunjukkan adanya kelainan dalam kesehatan Bapak, selain gula darah yang tinggi. Dokter pun merujuk ke poli jantung agar mendapat pemeriksaan lebih lanjut. Bapak memang merasakan sesak di dada, selain mual dan muntah.
Lagi-lagi hasil foto rontgen yang diminta dokter tidak menyenangkan. Jantung Bapak mengalami pembengkakan. Dikarenakan terlihat pucat dan sangat lemah, siang itu juga dokter spesialis jantung memberi rujukan untuk opname, agar Bapak segera diinfus dan mendapat suntikan yang lain. Duh, semoga bukan penyakit yang parah.
Kuhubungi Mas Rio untuk mengabarkan hal ini, karena mungkin aku baru bisa pulang malam setelah urusan rumah sakit beres. Juga agar menjemput anak-anak sore itu. Kutelepon juga Krisna untuk menemaniku, menunggui Bapak selama proses pemeriksaan di IGD hingga mendapat ruangan.
Berbagai macam tindakan dan pemeriksaan dilakukan, mulai dari tensi, pemasangan selang infus, periksa darah, foto rontgen, hingga pemasangan sonde. Sebuah tindakan yang dirasakan Bapak sakit sekali.
***
Pagi, usai tugas di rumah aku selalu menuju rumah sakit. Bapak selalu menanyakan keadaanku, beberapa kali aku memang sempat mengeluhkan rumah tanggaku. Hal yang tak seharusnya kulakukan, dan itu yang selalu menjadi pikirannya.
Bapak selalu berpesan agar sabar, apa pun keadaan rumah tanggaku hanya aku yang bisa menciptakan suasana di dalamnya. Entah itu bahagia atau derita, akulah yang akan merasakannya juga.
Empat hari di rumah sakit, kondisi Bapak belum juga membaik. Entah penyakit apa yang sebenarnya diderita. Sonde yang awalnya sudah dilepas akan dipasang lagi di dihidungnya untuk memasukkan makanan ke perutnya, karena yang masuk melalui mulut selalu keluar dimuntahkan.
***
Sabtu malam, tubuhku terasa lelah sekali dan berniat akan merebahkannya di pembaringan. Belum juga mata ini terpejam, Mas Rio tiba-tiba membangunkan aku karena merasakan sesak di dadanya. Napasnya tersengal, seolah sulit untuk menghirup oksigen. Â
Tanpa pikir panjang aku pun melarikan Mas Rio ke klinik terdekat. Namun, sesampainya di sana dokter tak mau menerima kami dan langsung menyarankan kami ke rumah sakit umum yang lebih besar, dengan alasan perlengkapan yang kurang lengkap.
Dokter hanya memberi pertolongan pertama dengan memasukkan obat yang telah diserbuk ke bawah lidah Mas Rio. Kami pun minta ambulans yang mengantar ke rumah sakit, karena Mas Rio butuh tabung oksigen dan agar segera sampai untuk mendapat pertolongan.
Tengah malam ambulans membelah jalanan dan sirenenya memecah kesunyian. Aku mendampingi Mas Rio yang berkeringat dingin dengan masker oksigen di hidung. Sementara otakku melayang, biaya berobat dari mana nanti, tabungan yang kami miliki hanya untuk persiapan SPP anak-anak.
Untuk kedua kalinya aku berurusan dengan IGD karena menunggui lelakiku mendapat perawatan darurat. Kali ini lain lagi IGD-nya, setelah Bapak masuk IGD hari Selasa di Surabaya, menyusul Mas Rio hari Sabtu yang masuk rumah sakit Sidoarjo. Tuhan, pertanda apakah ini?
Tiga jam sudah menunggu proses pemeriksaan, lalu dokter memanggilku menjelaskan hasilnya.
"Suami Ibu mengalami serangan jantung koroner. Beruntung bisa segera mendapat perawatan. Dan terpaksa kami harus merawatnya di Intensive Coronary Care Unit, atau ruang perawatan khusus untuk penderita jantung koroner, seperti suami Ibu. Untuk itu silakan rundingkan dulu dengan suami, mungkin berkaitan dengan pembiayaan."
Kusampaikan pada Mas Rio bahwa ia harus dirawat di ICCU. Saluran yang menuju jantungnya mengalami penyempitan. Untuk itu perlu perawatan intensif.
Kami pun menyetujui saran dokter, entah dari mana nanti biayanya. Malam itu juga aku menghubungi kakaknya Mas Rio dan menceritakan semua kejadian. Beliau menyanggupi berapa pun  biaya perawatannya nanti.
Aku pun melangkah menuju meja dokter. Kutemui dokter yang bertanggung jawab atas nyawa suamiku malam itu.
"Bagaimana, Bu? Sudah rundingan dengan Bapak? Kalau Ibu setuju, silakan tanda tangan di bawah ini."
"Apa pun itu asal yang terbaik, Dok. Saya serahkan perawatan suami saya pada dokter." Segera kutandatangani berkas yang ada. Berharap pertolongan yang terbaik segera diberikan demi belahan jiwaku.
Fajar pun menjelang, terdengar sayup-sayup azan Subuh. Mas Rio dipindah ke ruang ICCU, di ruangan steril dan tak boleh ditunggui. Aku menunggu di luar dan hanya bisa melihatnya saat jam bezuk tiba. Saat korden penutup ruangan dibuka dan hanya bisa bicara dengan isyarat.
Perawat hanya akan memanggilku jika dibutuhkan. Begitu juga dokter hanya memanggil saat butuh konsultasi waktu visite.
Hari itu aku terlupa bahwa di rumah sakit lain terbujur lelaki lain yang telah memberikan nyawanya padaku. Ya, Bapak masih tergolek lemah di rumah sakit. Bagaimana keadaannya?
Kuberitahukan keadaanku kepada Krisna, agar menjemput kedua putriku, tetapi jangan sampai Bapak dan Ibu tahu tentang Mas Rio di rumah sakit. Aku tak ingin menambah berat beban pikirannya. Juga kedua putriku
"Bapak menanyakanmu, kenapa dua hari tidak ke sini menjenguknya," ucap Krisna di ujung telepon. "Aku harus bilang apa?"
Tak sadar bulir hangat mengalir di pipiku. Aku terdiam. Di sini suamiku terbaring lemah, di sana bapakku terkulai tanpa daya. Bagaimana aku harus membagi tubuh.
Aku pun bertukar tempat dengan Krisna. Kuminta ia datang ke Sidoarjo untuk menjaga Mas Rio sementara aku akan ke Surabaya menemui Bapak.
Apa yang aku khawatirkan hanya saat kutinggal menemui Bapak, dokter memanggilku dan menjelaskan perkembangan Mas Rio. Krisna pun memahami dan menyetujuinya.
Setibanya Krisna, kupesan taksi agar bisa melaju dan segera sampai di Surabaya, tak mungkin aku bermotor dalam keadaan begini. Â Saat jam-jam sibuk, pertimbanganku lebih baik melintas lewat tol. Benar saja, tak lama aku sudah di ruangan Bapak.
Kulihat tubuhnya yang makin kurus, tetap matanya sayu dan tak banyak bicara. Aku berusaha menyuapinya, walau harus menyembunyikan air mata yang mulai menggenang. Bapak tampak lemah dan kehilangan semangat.
"Ayo, Pak, enggal didahar. Bapak sampun sehat, kok. Mbenjang kundur, nggih," bujukku, meski tak mempengaruhi selera Bapak.
("Ayo, Pak. Segera dimakan, Bapak sudah sembuh, kok. Besok pulang, ya.")
"Ayo, Pak, once more!" candaku padanya.
"Ya...Ya...once more," jawabnya. Aku lega, Bapak masih bisa bercanda, meskipun makanan yang kusuapkan tak jadi masuk di mulutnya karena mual.
HP-ku berdering, terbaca nama Krisna yang menghubungi. Kuangkat setelah Bapak kusandarkan lagi pada bantal yang tertata.
"Dokter memanggilmu, ada surat yang harus kau tandatangani berkaitan dengan pengobatan Mas Rio, segera!" sarannya.
"Tandatangani saja, aku gak bisa sampai sana dalam waktu 30 menit," jawabku.
"Tidak bisa, harus istrinya. Tadi sudah mau kutandatangani, tapi dilarang dan sebaiknya kamu, kata perawatnya. Karena risikonya berat. Pengobatannya untuk menghancurkan kerak yang menempel di dinding saluran menuju jantung, tapi jika gagal efeknya malah jadi stroke. Makanya harus kamu yang tanda tangan."
Lemas seketika tubuhku. Separah itukah penyakit yang diderita suamiku. Belum juga 30 menit aku menemui Bapak. Di sana aku sudah dibutuhkan. Tuhan, kuatkan aku.
Dalam perjalanan pulang, di taksi menuju Sidoarjo air mataku mengalir tak henti-henti. Sekuat itukah aku, hingga kau memberiku ujian seindah ini? Tuhan, adilkah ini?
Keesokan harinya, kutunggu dokter untuk minta penjelasan yang lebih detail. Namun dokter menjawab sudah tidak perlu, "Besok Bapak akan dipindahkan, jadi nggak akan ada yang mengawasi lebih detail kalo di ruangan. Nggak usah diberikan saja obatnya. Ibu terlambat memberi jawaban."
"Maaf, Dok. Saya masih ragu."
"Ya, sudah. Kalo besok semakin membaik lusa boleh pulang," ucap Dokter. Aku pun sedikit lega.
Genap sepuluh hari aku menunggui Mas Rio di rumah sakit. Hari itu memang kondisinya sudah membaik, diizinkan untuk pulang dan harus kontrol tiga hari lagi.
Mas Rio paham dengan keadaanku, hari itu juga sepulang dari rumah sakit aku diajak menuju rumah Bapak. Sudah dua hari Bapak dipulangkan dengan alasan sudah sembuh dan hanya menunggu Bapak mau makan saja.
HP-ku berdering ketika aku dan Mas Rio masih berada dalam taksi. Krisna yang menghubungiku, dia tahu hari itu kami pulang dari rumah sakit.
Tak pernah kuduga sebelumnya, bahwa perjalananku sore itu adalah perjalanan untuk mengantar Bapak berpulang selamanya.
"Bappaak!"
Sidoarjo, 10 Juni 2020
Any Sukamto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H