Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta Pernah Hadir Walau Semusim Tabebuya

4 Juni 2020   19:42 Diperbarui: 4 Juni 2020   19:42 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Pixabay.com

Jarum jam menunjukkan pukul 12.30, sebelum meninggalkan ruang kuliah Pak Ripto bertanya,  "Hari ini ada yang ingin ketemu saya untuk bimbingan? Saya tunggu di ruangan, ya."

"Saya, Pak," jawabku sambil mengangkat tangan.

"Gimana tugas akhirmu? Kamu jadi sidang kapan?" tanya Pak Ripto, begitu aku sampai di hadapannya. 

"Masih saya kerjakan, tapi baru sampai bab tiga, Pak," jawabku agak gugup. 

"Saya akan pindah tugas ke Jakarta awal tahun depan, jadi segera selesaikan skripsinya sebelum September, agar kamu bisa segera sidang dan wisuda di bulan Desember," tegasnya.

"Baik, Pak. Ranti usahakan segera selesai," sahutku. Dengan perasaan masygul, aku keluar ruangan. September artinya tiga bulan lagi padahal alat dan bahan masih belum aku persiapkan.

Mungkin ini saatnya aku butuh pertolongan mereka. Setelah duduk di salah satu sudut kampus, aku menelpon Zein. 

"Assalamualaikum, apa kabar Bu Ranti?" Zein menjawab. 

"Waalaikumusalam, cepat sekali ngangkatnya."

"Ya, pasti lah, dari jauh baumu sudah tercium. Kamu perlu bantuanku, `kan?" Ia terkekeh sambil meledekku.

Akhirnya kuutarakan maksudku dengan kesepakatan setelah aku selesai menggunakan alat dan bahan, Zein akan menggunakannya. Karena Zein hanya mampu mengeksekusi perangkat lunak, ia mengusulkan Ryan yang mengerjakan perangkat kerasnya.

Tanpa banyak pertimbangan aku pun menghubungi Ryan. "Ryan, aku butuh bantuanmu. Pak Ripto minta tugasku selesai sebelum September, karena awal tahun beliau pindah tugas ke Jakarta. Ayo, bantu aku, ya!" pintaku pada Ryan.

"Kamu `tuh Ran, basa-basi dikit, kek, bilang kangen, kek, apalah ... tiba-tiba aja tanya sibuk nggak? Nggak ada mesra-mesranya dikit." Ryan menjawab dengan gurauan. 

"Apa? Kangen? Makanan khas mana itu? Kamu sehat `kan? Aku khawatir ada yang salah dengan penciumanmu," kataku dengan Rana sok lugu.

"Nah, kan! Mulai ngaco, nih, kalo ngomong. Tambah parah aja sakitmu, Ran," jawab Ryan tidak rela.

"Kapan bisa ke rumah? Ada Zein yang juga mau bantuin. Dia sanggup perangkat lunaknya. Makanya aku minta tolong kamu buat ngerjain perangkat kerasnya," jelasku pada Ryan. Kami pun sepakat untuk mulai mengerjakan esok hari. Akhirnya, aku bisa menghela napas sejenak.

***

Hampir dua hari dua malam, Zein dan Ryan berada di rumahku. Ruang keluarga di lantai atas berubah menjadi workshop, ada monitor, motherboard yang sengaja di acakacak, microcontroller, dan penyejuk udara second yang sempat aku beli di pasar loak, semua menjadi ajang eksekusi mereka. Solder, timah, kapasitor, sensor udara, LCD, IC dan kabel berwarna-warni juga ikut menyemarakkan. 

Ilustrasi oleh Pixabay.com
Ilustrasi oleh Pixabay.com
Zein mengoperasikan komputer rakitan itu, dialah yang merancang program agar alat bisa bekerja sesuai dengan penerimaan sensor udara dan kelembaban. Semua ini bertujuan membuat green house otomatis yang bisa bekerja sendiri berdasarkan suhu dan kondisi sekitar.

Kadang aku kasihan juga melihat raut muka Zein dan Ryan yang terlihat kusut dan layu. Aku sering termenung menatap mereka. Suatu kali, tanpa sengaja tatapanku menerawang ke arah Ryan. Ketika aku sadar, ia membalas tatapanku dan tersenyum penuh arti, kemudian menggodaku, 

"Awas ada lalat masuk mulut, bengong aja." Aku terkejut, malu juga rasanya didapati memandang Ryan begitu lama.

"Eemm, maaf, aku cuma terharu saja. Mau-maunya kalian membantu aku tanpa dibayar. Bagaimana aku harus berterima kasih? Apa yang pantas aku berikan buat kalian?"

"Sudah, nggak usah dipikir. Syukuri aja kita masih bisa bantu. Nanti pasti ada saatnya kami juga butuh bantuanmu," jawab Ryan menenangkan. Aku hanya bisa tersenyum,

"Makasih ya, sudah mau direpotkan."

"Asal kau bahagia, aku akan berusaha sebisanya." Kali ini jawaban Ryan membuat aku bertanya. Apa maksud ucapannya? Aah ... entahlah.

"Zein ke mana sih? Katanya ke kamar mandi kok lama gak balik. Ini kopi keburu dingin, lo. Malas ah, kalo harus bikin lagi."

"Tadi bilang mau ke kost bentar ganti baju. Paling langsung berangkat," Ryan menjelaskan.

"Oh, ya sudah, nanti kalo dipanggil Ibu buat sarapan langsung aja ya. Aku mau berangkat. Ada yang perlu dibeli nggak? Sekalian nanti aku mampir sepulang kerja."

"Nggak ada, sih. Kamu ... hati-hati, ya! Jaga diri baik-baik." Tajam pandangan Ryan dan senyum manisnya ditujukan padaku. 

"Iya, insyaallah aku baik-baik saja. Tumben perhatian," tanyaku heran.

"Kamu aja yang nggak peka." Sambil ngeloyor pergi Ryan menjawab. Aku bengong mendengar responnya. Mungkin benar apa yang dikatakan Ryan, aku kurang peka terhadap perhatian teman dan sahabatku, tetapi setidaknya aku selalu berusaha hadir di saat mereka membutuhkan aku. 

Akhir-akhir ini, aku sering mendapati Ryan menatapku penuh arti. Di antara asap membubung yang keluar dari mulutnya, tak jarang kudapati pandangan Ryan tertuju padaku begitu dalam. Kadang kusadari ia mencuri pandang dan saat tertangkap ia tersenyum penuh arti. 

***

Tanggal penentuan sidang tugas akhir pun tiba. Kami sibuk bebenah mengusung alat pengukur suhu dan kelembaban yang telah kami rakit. Dalam ruang sidang mereka berdua membantuku merangkai kembali alat tersebut.

Ryan menyiapkan motor yang akan menggerakkan penyejuk ruangan, sehingga bisa bekerja sesuai kebutuhan. Zein menyiapkan perangkat agar bekerja sempurna dalam mengatur panas, dingin, serta kelembabannya melalui komputer dan menyesuaikan kondisi sekitar.

Detik-detik mendebarkan bagiku ketika harus mempertanggungjawabkan ilmu yang sudah kuperoleh sekian lama. Tidak mudah menjelaskan dan mempertahankan di depan pembimbing dan penguji yang mencecarku dengan berbagai pertanyaan.

Alhamdulillah sidang berlangsung dengan lancar, meskipun alat yang telah kami persiapkan sedikit mengalami masalah.

"Gimana Ran? Sukses nggak?" tanya Zein yang menunggu di luar ruang sidang.

"Alatnya nggak mau jalan, sempat gugup sih, tapi kata Pak Ripto nggak apa, asal bisa jawab pertanyaan dan lancar jelasin teori. Diberi waktu tiga hari buat perbaiki alat, terus harus demo lagi tuh sama dosen pengganti," jelasku.

"Bisalah, kita perbaiki lagi nanti. Selamat ya, yang penting sidangnya lancar."  Zein mengulurkan tangan, kemudian berlalu meninggalkanku dan Ryan berdua.  Wajah Ryan terlihat lesu.

"Hei, kok sedih gitu? Kenapa?" tanyaku pada Ryan.

"Tugasmu sudah disidangkan, bentar lagi kamu wisuda, aku ...." Ada yang ingin ia sampaikan namun tak terucap.

"Kenapa? Bukannya lega, tugas membantu aku sudah selesai?"

Tiba-tiba dia menarik tanganku menuju sudut lorong.

"Tapi Ran, aku nggak ingin keadaan ini berakhir. Aku nyaman dengan membantumu. Aku nggak ingin kehilangan waktu bersamamu." Ryan mengungkapkan perasaannya.  Aku hanya terdiam, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku menghargai perasaan Ryan terhadapku, tetapi aku tak bisa berbuat banyak.

"Ciiieeee, ada yang lagi ketembak, nih? Uuhhuuy, ucapan yang sangat spesial, niiih." Tiba-tiba Zein datang dan mengacaukan suasana. "Udaah, lanjutin aja ngobrolnya. Aku cuma mau pamit. Aku tinggal dulu ya nanti semua alat kamu bawa pulang dulu, Ran, besok aja aku samperin ke rumahmu." Zein menghilang di balik tangga.

"Wooii, siapa nih yang mau bantu beresin?" teriakku pada Zein.

"Tuuh, yang lagi kasmaran suruh angkat semua. Biar nggak kesambet!" Sambil teriak Zein ngeloyor pergi.

"Ran, kamu masih mencintai Andra?" Ia menatap dalam ke manik mataku, sementara aku hanya terpaku. Entah kenapa hati ini masih terlalu pahit bicara tentang cinta, sejak Andra pergi tanpa jejak.

"Ran, berilah sedikit ruang untukku," pintanya. "Kamu masih menyimpan harapan padanya? Lihatlah dirimu sendiri, tak pernah menghiraukan orang lain yang datang memberikan cintanya padamu." Dalam hati, aku membenarkan ucapan Ryan. Namun, aku pun tak bisa berbuat banyak. Ada cinta yang masih terpendam untuk Andra, meskipun entah di mana dia saat ini.

Aku menunduk, menyembunyikan kabut yang merebak di pelupuk mata. Hati ini tertutup dan aku terperangkap didalamnya. Ryan hanya menghela napas menghadapi diamku. Ia telah mengartikan semua hingga punggungnya berlalu dari hadapanku, terlihat lelah dan rapuh.

Wisuda yang kunantikan pun datang, kucari Ryan dan Zein diantara kerumunan mahasiswa yang menyemut. Zein tengah tertawa dan berfoto dengan sahabat-sahabatnya, euforia kebahagiaan terpancar jelas dari tawanya.

Aku pun menyisir pandangan mencari Ryan, lelaki itu di sudut spot pengambilan foto. Ia berpose berdua dengan seorang perempuan, dengan senyum dan bahasa tubuh yang aku pahami apa artinya.

Ilustrasi oleh Pixabay.com
Ilustrasi oleh Pixabay.com
Sejujurnya, kehadiran Ryan yang sesaat ternyata mampu mengubah sisi hatiku. Perhatian dan kasih sayangnya sempat menjadi candu, tetapi kini semua telah berlalu. Aku terdiam membeku menatap mekar bunga di ujung tatapan mata. Cinta pernah hadir, walau semusim tabebuiya.

 TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun