"Sudah, nggak usah dipikir. Syukuri aja kita masih bisa bantu. Nanti pasti ada saatnya kami juga butuh bantuanmu," jawab Ryan menenangkan. Aku hanya bisa tersenyum,
"Makasih ya, sudah mau direpotkan."
"Asal kau bahagia, aku akan berusaha sebisanya." Kali ini jawaban Ryan membuat aku bertanya. Apa maksud ucapannya? Aah ... entahlah.
"Zein ke mana sih? Katanya ke kamar mandi kok lama gak balik. Ini kopi keburu dingin, lo. Malas ah, kalo harus bikin lagi."
"Tadi bilang mau ke kost bentar ganti baju. Paling langsung berangkat," Ryan menjelaskan.
"Oh, ya sudah, nanti kalo dipanggil Ibu buat sarapan langsung aja ya. Aku mau berangkat. Ada yang perlu dibeli nggak? Sekalian nanti aku mampir sepulang kerja."
"Nggak ada, sih. Kamu ... hati-hati, ya! Jaga diri baik-baik." Tajam pandangan Ryan dan senyum manisnya ditujukan padaku.Â
"Iya, insyaallah aku baik-baik saja. Tumben perhatian," tanyaku heran.
"Kamu aja yang nggak peka." Sambil ngeloyor pergi Ryan menjawab. Aku bengong mendengar responnya. Mungkin benar apa yang dikatakan Ryan, aku kurang peka terhadap perhatian teman dan sahabatku, tetapi setidaknya aku selalu berusaha hadir di saat mereka membutuhkan aku.Â
Akhir-akhir ini, aku sering mendapati Ryan menatapku penuh arti. Di antara asap membubung yang keluar dari mulutnya, tak jarang kudapati pandangan Ryan tertuju padaku begitu dalam. Kadang kusadari ia mencuri pandang dan saat tertangkap ia tersenyum penuh arti.Â
***