"Bunda, HP ku yang hitam ketinggalan di meja, ya? Jangan terima telepon dari siapa pun, ya! Jangan diangkat kalo ada telepon masuk!" perintahnya.Â
"Oh, gitu? Tadi si Hendra sama Dion telepon, aku jawab kalo HP Ayah ketinggalan. Itu aja, sih," jawabku ketakutan.Â
"Sudah dibilang, jangan diangkat! Masih bandel aja, Ayah mau pulang ini. Ambil HP!" Segera telepon dimatikan, terdengar kemarahan Rudi yang meluap-luap hanya karena HP ketinggalan.Â
"Tahu nggak? Tiga kali Ayah menyerempet mobil dan motor, gara-gara Bunda nggak bisa jaga amanah!" bentak Rudi begitu sampai di rumah.Â
"Kok, Bunda yang disalahkan? Ayah yang sembrono kenapa Bunda yang salah?" tanya Daffa tiba-tiba muncul dari kamar.Â
Rudi terdiam dan langsung pergi meninggalkan kami berdua. Kupandangi Daffa, kupeluk satu-satunya buah hatiku.Â
"Maafkan Ayah, dia lagi banyak urusan dan tergesa-gesa." Aku berusaha menghibur Daffa dan mengalihkan tatapan kebencian yang mulai tampak di matanya.
Â
***Â
Hari yang kujalani terasa semakin berat. Di satu sisi harus menggenggam bara pengkhianatan Rudi. Namun, di sisi lain aku harus tampak anggun dan tetap dingin di hadapan Daffa. Aku hanya berusaha tegar, kupasrahkan semua skenario hidup pada Sang Sutradara Agung. Apa pun yang terbaik bagiku adalah yang Dia kehendaki.Â
Kejadian berulang lagi, HP Rudi tertinggal di rumah. Baru ingat setelah dia sudah di luar kota, terlalu jauh jika harus mengambil kembali ke rumah. Pesannya pun masih sama, jangan sentuh apalagi mengangkat telepon.Â
Namun, kali ini Daffa membuatku terharu. Diam-diam dia memahami permasalahan kedua orang tuanya. Dia juga tahu kombinasi angka untuk membuka HP ayahnya. Bahkan menggandakan aplikasi Whatsapp ayahnya di HP nya sendiri. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya.Â