Tanpa sepengetahuan Rudi, kuperiksa satu per satu kejanggalan yang ada. Aku masih diam dan seolah tak tahu apa yang terjadi dengan keuangan bisnis Rudi. Sementara tiap bulan, masih saja aku yang menutup kekurangan tagihan.Â
Kadang aku tak habis pikir. Nafkah yang seharusnya kuterima tiap bulan tak pernah kudapatkan. Justru aku yang harus menutup kekurangan dana di bisnis Rudi. Tuhan, kuatkan aku, apa yang harus kulakukan?Â
Malam itu, usai salat tahajud tak sengaja mukena yang kukenakan menyentuh tas kerja Rudi. Hingga jatuh dan berceceran isi yang ada di dalamnya. Kuberesi dan kumasukkan lagi ke tempat awalnya.Â
Ketika memasukkan salah satu berkas ke salah satu sisi tas, betapa terkejutnya aku. Menemukan sebuah kondom dan kuitansi  pelunasan salah satu hotel. Seketika tubuhku lemas, lutut ini terasa tak mampu menyangga tubuh. Aku bersimpuh kembali dengan linangan air mata, mencurahkan segala rasa kepada-Nya.Â
Tak kusangka, Rudi benar-benar tega kepadaku. Namun, aku tetap harus baik padanya. Aku tak ingin Daffa tahu keadaan ini. Aku harus tetap manis di depan Rudi dan Daffa, sekalipun hati ini remuk.Â
***Â
Suatu hari, aku diundang teman-teman SMA untuk bertemu dan makan-makan di salah satu restoran. Sebagai istri yang taat, aku tetap meminta izin Rudi meskipun dia di luar kota. Dia mengizinkan asal aku berangkat bersama Daffa.Â
"Daffa mau 'kan menemani Bunda? Boleh, ya, Bunda kumpul sama teman sekolah dulu?" tanyaku. Daffa hanya mengangguk, meski agak berat tapi bersedia menemaniku.Â
Pagi itu, aku dikejutkan suara telepon dari Rudi. Deringnya tak henti-henti seolah ada sesuatu yang darurat.Â
"Asalamualaikum ... iya Yah," tanyaku penasaran.Â