Siang itu, suasana kantor sedang sepi. Jam makan siang yang dimanfaatkan beberapa karyawan untuk ke luar membeli makan membuat kantor jadi lengang.
Aku yang kebetulan sedang berpuasa tidak ikut teman lain makan di luar. Lagi pula ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan. Maklum, akhir bulan semua tagihan harus sudah direkap.Â
Entah dari mana arahnya, tiba-tiba Pak Ashari sudah berdiri di depan mejaku. Aku yang dari tadi menunduk sama sekali tak memperhatikan keberadaannya, hingga suara bariton itu menyapaku.
"Kok, kamu nggak bareng yang lain? Nggak makan? Sudah bawa bekalkah?" tanyanya berurutan.
Aku terkejut dan segera mendongakkan kepala ke arah asal suara itu. Sosok lelaki tinggi dengan senyum menawan dan pandangan teduh berdiri di depan mejaku. Jantungku berdetak lebih kencang, apakah aku telah melakukan kesalahan sehingga si Boss menghampiri mejaku?
"Eee, ada yang bisa dibantu, Pak?" tanyaku gugup.
"Enggak, kok kamu nggak makan siang bareng yang lain?" Kembali ia mengulang pertanyaan.
"Ooh, saya sedang puasa, Pak. Jadi, nggak ikut keluar kantor." Aku berusaha menjawab dengan tenang.
"Baguslah! Sering puasa sunah kamu?" Sambil bertanya ia berusaha duduk di bagian meja yang kosong.
Aku terdiam melihat tingkahnya. Tak terasa keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku benar-benar gugup dan bingung dengan tingkah si Boss.
"Aku boleh duduk sini, ya? Sekali-sekali duduk di meja karyawan." Sebuah senyum terkembang dari bibir bos tampan.Â
Hampir tak percaya dengan kenyataan ini. Siang hari bolong dan aku masih di kantor, aku tidak mimpi bukan? Apa yang harus kulakukan untuk menghadapi Pak Ashari?
"Bapak tidak makan siang juga? Titip teman-teman? Atau mungkin sudah bawa bekal?" Lagi-lagi aku masih gugup.
"Haha ... kamu balas dendam, ya? Tanya beruntun seperti kereta api bergandengan," jawabnya renyah sambil menghadiahkan tawa terindah yang pernah kulihat dari wajah tampannya. Oh, my God.
 Pertanyaan demi pertanyaan pun terjawab satu per satu. Kami terlibat pembicaraan yang mengasyikkan. Tak mengira ternyata bos baru ini enak juga diajak berbicara.
Dua bulan memimpin di kantor ini, baru kali ini aku mengenal betul sosoknya. Semula aku menganggapnya berasal dari kota lain, karena memang beliau dipindahkan dari kantor pusat. Ternyata dia berasal dari kota ini juga, hanya saja beberapa kali memang ditugaskan ke kota-kota lain.
Siang itu menjadi siang yang amat berkesan bagiku. Di saat aku larut dalam masalah hubunganku dengan Mas Ardy, si Boss datang memberi hiburan dan suasana lain. Aaahhh...
Sejak saat itu, Pak Ashari sering sekali memanggilku dan menanyakan pekerjaanku. Terkait laporan penagihan dan perusahaan-perusahaan yang masih loyal menggunakan jasa kami.
Tak heran jika yang lain selalu menggodaku saat di panggil si Boss. Ada saja yang berdecak dan sengaja batuk, aku jadi malu. Banyak sekali alasan dan pertanyaan si Boss untuk bisa memanggilku.
Namun, aku tak begitu saja hanyut dalam euforia tersebut. Bagaimanapun juga hatiku masih sakit, aku masih butuh obat. Untuk mengobati luka hingga benar-benar sembuh dan bukan untuk pelarian.Â
***
"Ran, ditunggu Rudi di mobil. Kamu nggak bareng dia?" tanya Jesi suatu sore saat jam kantor usai.
"Aku naik angkot aja bareng teman lain. Tolong sampaikan, ya!" jawabku pada Jesi.
"Apa karena takut sama si Boss? Jelas beda lah, Boss sama karyawan gak bakal bisa bersaing," sindir Jesi.
"Terserahlah mau ngomong apa juga, aku mau cepat pulang. Kepalaku pusing," dalihku.
"Justru kalo kamu bareng Rudi bakal cepat sampai rumah, dia cuma mampir sebentar ambil barang," teriak Jesi yang tak kuhiraukan.
Sebuah angkot pun berhenti di depan kantor, dan aku berlari mengejar teman yang lain naik di dalamnya. Aku memilih tempat duduk paling dalam, karena memang rumahku paling jauh dan turun paling akhir.
Hari itu, di dalam angkot kebetulan memang penumpangnya dari teman kantor semua. Jadi, tak heran jika mereka bercanda dan ramai menggodaku.
"Duh, yang kembangnya lagi mekar, sampai menolak kumbang, lho. Pilih mana, Ran, si Boss atau anak buahnya?" celoteh Evi yang diikuti tertawa semua penumpang.
"Au ah gelap!" jawabku singkat sambil membetulkan letak kepala menyandar ke dinding angkot.
Serempak lagi mereka tertawa, seolah ada dirigen yang memimpinnya. Aku tetap diam dan tak menghiraukannya, sakit kepala yang kurasa hanya akan hilang jika aku memejamkan mata. Lagi pula rumahku masih 45 menit perjalanan.
***
Sejenak, aku memang lupa dengan masalah pernikahan Mas Ardy. Memang sudah seharusnya tak kupikirkan lagi, toh semua sudah berakhir. Keputusannya untuk menikahi gadis lain, berarti juga sudah ia pertimbangkan dan memutuskan hubungannya denganku.
Sesekali masih terasa nyeri luka itu. Namun, untuk apa aku berlarut-larut dengan satu masalah yang tak ada ujungnya. Biarlah kucoba membuka mata dan bersahabat dengan kenyataan yang menyakitkan.
Untuk itu, aku sangat berharap bisa mendapatkan promosi mutasi ke Bali. Selain untuk mengobati luka hati, aku juga ingin membuka wawasan tentang Pulau Dewata tersebut. Selama ini, aku belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di Pulau Seribu Pura tersebut.
Suatu hari, saat aku dipanggil ke ruang Pak Ashari, aku memberanikan diri menanyakan promosi tersebut. Apakah kemungkinanku masih besar untuk pindah ke sana. Namun, jawabannya sungguh di luar dugaan.
"Kenapa kamu masih menanyakan hal itu? Bukannya di sini kamu masih bisa berkarya? Kami masih membutuhkanmu," jawab Pak Ashari sambil menatapku tajam.
Aku hanya tertunduk, sedikit pun tak berani menatap matanya. Aku takut hanyut dalam binar yang terpancar dari kedua bola matanya.Â
Deegg!
Non, panggilan itu yang selalu disematkan kepadaku. Selalu dan selalu ia sebut aku Non saat berbicara berdua. Ah, Pak ... andai saja aku mampu ....
Aku masih menunduk. Semakin dalam menutupi bulir bening yang mulai menggenang di sudut mata.
"Jujur, aku masih membutuhkanmu di sini. Bukan hanya tenagamu dan pikiranmu, tapi juga hatimu."
Seketika hawa panas seolah merasuki seluruh tubuhku. Bulu kuduk berdiri dan sesaat kemudian hawa dingin melingkupi tubuhku. Tuhan, apa yang sedang kurasakan ini?
(Bersambung?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H