"Aku naik angkot aja bareng teman lain. Tolong sampaikan, ya!" jawabku pada Jesi.
"Apa karena takut sama si Boss? Jelas beda lah, Boss sama karyawan gak bakal bisa bersaing," sindir Jesi.
"Terserahlah mau ngomong apa juga, aku mau cepat pulang. Kepalaku pusing," dalihku.
"Justru kalo kamu bareng Rudi bakal cepat sampai rumah, dia cuma mampir sebentar ambil barang," teriak Jesi yang tak kuhiraukan.
Sebuah angkot pun berhenti di depan kantor, dan aku berlari mengejar teman yang lain naik di dalamnya. Aku memilih tempat duduk paling dalam, karena memang rumahku paling jauh dan turun paling akhir.
Hari itu, di dalam angkot kebetulan memang penumpangnya dari teman kantor semua. Jadi, tak heran jika mereka bercanda dan ramai menggodaku.
"Duh, yang kembangnya lagi mekar, sampai menolak kumbang, lho. Pilih mana, Ran, si Boss atau anak buahnya?" celoteh Evi yang diikuti tertawa semua penumpang.
"Au ah gelap!" jawabku singkat sambil membetulkan letak kepala menyandar ke dinding angkot.
Serempak lagi mereka tertawa, seolah ada dirigen yang memimpinnya. Aku tetap diam dan tak menghiraukannya, sakit kepala yang kurasa hanya akan hilang jika aku memejamkan mata. Lagi pula rumahku masih 45 menit perjalanan.
***
Sejenak, aku memang lupa dengan masalah pernikahan Mas Ardy. Memang sudah seharusnya tak kupikirkan lagi, toh semua sudah berakhir. Keputusannya untuk menikahi gadis lain, berarti juga sudah ia pertimbangkan dan memutuskan hubungannya denganku.