Sesekali masih terasa nyeri luka itu. Namun, untuk apa aku berlarut-larut dengan satu masalah yang tak ada ujungnya. Biarlah kucoba membuka mata dan bersahabat dengan kenyataan yang menyakitkan.
Untuk itu, aku sangat berharap bisa mendapatkan promosi mutasi ke Bali. Selain untuk mengobati luka hati, aku juga ingin membuka wawasan tentang Pulau Dewata tersebut. Selama ini, aku belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di Pulau Seribu Pura tersebut.
Suatu hari, saat aku dipanggil ke ruang Pak Ashari, aku memberanikan diri menanyakan promosi tersebut. Apakah kemungkinanku masih besar untuk pindah ke sana. Namun, jawabannya sungguh di luar dugaan.
"Kenapa kamu masih menanyakan hal itu? Bukannya di sini kamu masih bisa berkarya? Kami masih membutuhkanmu," jawab Pak Ashari sambil menatapku tajam.
Aku hanya tertunduk, sedikit pun tak berani menatap matanya. Aku takut hanyut dalam binar yang terpancar dari kedua bola matanya.Â
Deegg!
Non, panggilan itu yang selalu disematkan kepadaku. Selalu dan selalu ia sebut aku Non saat berbicara berdua. Ah, Pak ... andai saja aku mampu ....
Aku masih menunduk. Semakin dalam menutupi bulir bening yang mulai menggenang di sudut mata.
"Jujur, aku masih membutuhkanmu di sini. Bukan hanya tenagamu dan pikiranmu, tapi juga hatimu."
Seketika hawa panas seolah merasuki seluruh tubuhku. Bulu kuduk berdiri dan sesaat kemudian hawa dingin melingkupi tubuhku. Tuhan, apa yang sedang kurasakan ini?
(Bersambung?)