Kembali mereka menyusuri jalan, menuju kampung tempat tinggal mereka. Hanya lima rumah yang membedakan jarak mereka tinggal. Tak heran jika keluarga mereka sudah saling mengenal.
Demi membuktikan pada Pak Karto ---bapak Minah, bahwa ia adalah lelaki yang bertanggung jawab. Wito berniat mencari pekerjaan ke kota. Niat itu disampaikan pada Minah.
Namun, Minah sangat takut kehilangan kekasihnya. Apalagi dengan kondisi pandemi seperti ini. Apa pun pekerjaan Wito, Minah setuju asal tidak jauh darinya.
"Minah, aku harus kerja. Sebentar lagi lebaran, dan kita juga akan menikah. Kita butuh uang."
"Kamu mau kerja apa, to, Kang? Lha wong yang dari kota saja pulang. Kondisinya seperti ini, mau kerja di mana? Banyak perusahaan yang tutup, banyak PHK, kita juga dianjurkan di rumah saja. Biar nggak kena penyakit itu lho. Sabar, yo, Kang!"
Bujukan Minah tak masuk dalam pertimbangan Wito. Hanya uang dan uang yang ada dalam benaknya. Persiapan puasa dan lebaran, juga bekal dia menikahi Minah, dari mana dapat uang?
Hari itu, Wito pergi ke warung kopi selepas magrib. Mencari informasi mungkin saja ada teman yang mengajaknya kerja. Jadi kuli bangunan juga mau asal dapat uang, pikirnya.
Tak banyak yang dilakukan di sana, selain hanya ngobrol bersama beberapa temannya. Namun, Wito terlihat betah, mungkin saja obrolan di warung kopi kian menarik. Hingga, satu per satu teman pergi dan datang lagi, tetapi Wito masih tetap kerasan di sana.
Malam hampir larut, Wito belum juga beranjak dari tempat duduknya. Beberapa orang juga masih ada di warung saat pemiliknya hendak pulang karena warung telah tutup. Entah, apa yang mereka tunggu.
***
Azan Subuh berkumandang, Minah hendak mengambil air wudu ketika pintu depan diketuk. Siapa sih yang pagi-pagi begini bertamu, pikirnya. Segera ditemui dulu orang yang mengetuk pintu, sebelum  ayahnya terbangun karena ketukan itu.
 Alangkah terkejutnya Minah, ketika melihat adik Wito datang dan menceritakan segalanya. Tak menyangka sedikit pun Wito akan senekat itu.