Siang yang terik, Wito melangkahkan kaki dengan gembira menuju selnya. Usai mendapat  informasi akan mendapat keringanan hukuman, yang ingin ditelepon pertama adalah Minah ---kekasihnya. Hal ini berarti, bahwa dia akan menikmati udara bebas dan tidak lagi mendekam di balik terali besi.
Tepat di hari kebebasan, Minah dengan setia menunggu Wito keluar dari tahanan dan menunggunya di halaman lembaga pemasyarakatan. Sudah tak sabar menikmati hari, dan melewatkan waktu berdua dengan kekasih hati. Â Terbayang hari indah mereka berdua, mengenakan baju adat kebesaran dan duduk di pelaminan.
"Minah, sudah lama menunggu?" sapa Wito mengejutkan. Wajahnya terlihat cerah, senyum manis terkembang, mirip artis Reza Rahardian.
"Oalah, Kang, sampe kaget aku. Kamu jadi bebas? Byuuh, aku sueneng, Kang. Corona membawa rejeki buat kita, ya, Kang." Sambil memandangi sosok Wito, Minah tak henti bertanya. "Akhirnya, kita bisa bersama, Kang. Dan semoga kita bisa segera menikah."
Wito hanya tersenyum menanggapi reaksi Minah yang kegirangan. Senyum Minah yang lugu mengingatkan Wito pada artis Aca Septriasa. Tak salah aku memilih kekasih, bisik Wito dalam hati.
Lalu, Wito melajukan motor meninggalkan lapas. Berdua melepas rindu, berboncengan melewati jalanan desa yang bergelombang, sesekali Minah mendekap tubuh Wito. Takut jika terjatuh dari motor, Wito hanya tersenyum menanggapi.
Sampai di sebuah warung tepi sawah, Wito menghentikan laju motor. Atas permintaan Minah, mereka berhenti sejenak untuk menikmati segarnya es kelapa muda, sambil membicarakan hari pernikahan mereka. Saat-saat yang ditunggu, melewatkan waktu berdua dalam dekapan kekasih.
Â
"Kang, gimana, kita jadi menikah, to? Minggu depan sudah puasa, lho. Trus lebaran. Kita menikah habis lebaran, kan?" tanya Minah penuh semangat. Kepala disandarkan pada bahu Wito.
"Apa orang tuamu sudah menyetujui hubungan kita? Aku belum punya uang, Minah, aku juga belum kerja," jawab Wito, tiba-tiba gurat sedih terlihat di wajahnya.
"Bapak sakit jantung, Kang. Lagi pula, dia ingin aku segera menikah. Biar ada yang menemani. Awalnya memang nggak setuju aku menikah dengan Kang Wito. Tapi setelah sakit, nggak pernah ngomongin lagi masalah Kang Wito. Aku berharap Bapak setuju." Minah menjelaskan.
Sesaat Wito terdiam, mengingat kejadian lalu ketika diusir dari rumah Minah. Bapaknya marah dan tidak menyetujui hubungan mereka karena Wito pengangguran. Bagaimana sekarang setelah menjadi mantan narapidana?
Ambisi memiliki uang dari jalan terlarang telah menjerumuskannya ke balik terali besi. Alih-alih memiliki uang yang banyak dengan jalan menipu telah menjebloskannya ke hotel prodeo. Niat ingin segera menikah justru menundanya hingga beberapa saat. Wito hanya mendesah.
Kembali mereka menyusuri jalan, menuju kampung tempat tinggal mereka. Hanya lima rumah yang membedakan jarak mereka tinggal. Tak heran jika keluarga mereka sudah saling mengenal.
Demi membuktikan pada Pak Karto ---bapak Minah, bahwa ia adalah lelaki yang bertanggung jawab. Wito berniat mencari pekerjaan ke kota. Niat itu disampaikan pada Minah.
Namun, Minah sangat takut kehilangan kekasihnya. Apalagi dengan kondisi pandemi seperti ini. Apa pun pekerjaan Wito, Minah setuju asal tidak jauh darinya.
"Minah, aku harus kerja. Sebentar lagi lebaran, dan kita juga akan menikah. Kita butuh uang."
"Kamu mau kerja apa, to, Kang? Lha wong yang dari kota saja pulang. Kondisinya seperti ini, mau kerja di mana? Banyak perusahaan yang tutup, banyak PHK, kita juga dianjurkan di rumah saja. Biar nggak kena penyakit itu lho. Sabar, yo, Kang!"
Bujukan Minah tak masuk dalam pertimbangan Wito. Hanya uang dan uang yang ada dalam benaknya. Persiapan puasa dan lebaran, juga bekal dia menikahi Minah, dari mana dapat uang?
Hari itu, Wito pergi ke warung kopi selepas magrib. Mencari informasi mungkin saja ada teman yang mengajaknya kerja. Jadi kuli bangunan juga mau asal dapat uang, pikirnya.
Tak banyak yang dilakukan di sana, selain hanya ngobrol bersama beberapa temannya. Namun, Wito terlihat betah, mungkin saja obrolan di warung kopi kian menarik. Hingga, satu per satu teman pergi dan datang lagi, tetapi Wito masih tetap kerasan di sana.
Malam hampir larut, Wito belum juga beranjak dari tempat duduknya. Beberapa orang juga masih ada di warung saat pemiliknya hendak pulang karena warung telah tutup. Entah, apa yang mereka tunggu.
***
Azan Subuh berkumandang, Minah hendak mengambil air wudu ketika pintu depan diketuk. Siapa sih yang pagi-pagi begini bertamu, pikirnya. Segera ditemui dulu orang yang mengetuk pintu, sebelum  ayahnya terbangun karena ketukan itu.
 Alangkah terkejutnya Minah, ketika melihat adik Wito datang dan menceritakan segalanya. Tak menyangka sedikit pun Wito akan senekat itu.
"Jadi, Kang Wito melakukan pencurian sepeda motor dan tertangkap warga kampung? Lalu dihajar ramai-ramai hingga babak belur? Dan sekarang sudah ditahan polisi? Oalaah, Kang Wito kok tega berbuat gitu." Air mata berderai dari sudut mata Minah.
Mendengar penjelasan itu, ayah Minah yang dari tadi diam di balik tirai jadi geram. Selepas adik Wito pulang, diluapkan semua kemarahannya.
"Apa lelaki seperti itu yang menjadi pilihanmu? Apakah nanti anak-anakmu akan kau suapi makanan dari hasil keringat pencuri itu? Baru dua hari lepas dari penjara sudah membuat onar lagi  Apakah kamu ...."
Belum usai semua kalimat Pak Karto keluar dari mulut, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya lemas dan terjatuh. Minah berusaha menangkap, namun tak kuasa. Tubuh itu terkapar di lantai.
Minah berteriak sejadinya, meminta pertolongan siapa pun yang mendengar jeritannya. Hatinya hancur menghadapi kenyataan yang ada. Siapa lagi yang akan menjadi lelaki pendamping dalam hidupnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H