Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mukena Impian

21 Maret 2020   11:57 Diperbarui: 21 Maret 2020   12:29 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mukena Impian
Oleh : Any Sukamto
 
Kusambut uluran tangan Mas Cahyo, lalu kucium punggung telapaknya. Desiran dalam dada berlomba dengan butiran keringat yang mengalir membasahi tubuh. Untuk pertama kali kucium tangan lelaki lain selain ayahku.

Sesaat kemudian, bingkisan seperangkat alat salat diserahkan kepadaku. Tampak mukena sutera putih dengan hiasan renda emas, kuterima lengkap dengan sajadah indah dan tasbih mutiara. Aku sangat bahagia, kupandangi bingkisan itu hingga lupa dengan keadaan.  

Tepukan mesra di pundak segera menyadarkanku. Sayup-sayup azan Subuh terdengar merdu dari musala di ujung gang. Ibu telah membangunkanku dari mimpi.

Kuayun langkah menuju kamar mandi dan segera menyucikan diri. Di tempat salat, ketika hendak mengenakan mukena, tetiba ada cicak yang melompat dari dalam lipatan. Aku terkejut, segera kutengok bekas cicak tadi. Benar saja, dia meninggalkan najis.

Kusingkirkan mukena ke keranjang baju kotor, dan memakai punya ibu yang masih suci. Sudah pasti bakal kebesaran, karena ukuran mukena ibu memang lebih besar. Semoga saja tidak melorot bagian bawahnya saat kupakai salat.

Usai salat, kuambil gawai yang dari semalam belum kusentuh. Sepintas kubuka beberapa media sosial untuk melihat kabar di beranda. Tanpa sengaja, terbaca jelas oleh mata ada lomba menulis di facebook yang memberikan hadiah menarik juga mukena.

Sambil membayangkan mukena dalam mimpiku tadi, aku ingin ikut lomba dan jadi pemenangnya. Jika berhasil mendapatkan hadiah itu, pasti akan jadi cerita dan pengalaman menarik.

"Bu, maukan mendoakan aku supaya menang lomba menulis?" pintaku pada Ibu saat melintas.

"Kamu ini kenapa? Ya sudah sewajarnya ibu mendoakan kamu. Nggak usah diminta. Kok aneh, pagi-pagi sudah bikin bingung." Ibu keheranan aku minta doa restunya.

"Pokoknya doakan, ya, Bu. Aku mau ikut lomba, biar dapat hadiah dan mukena indah." Aku mendesak Ibu.

Bangkit dari tempat duduk, lalu aku menyiapkan kertas dan pena untuk mulai menulis cerita. Berharap bisa meluluhkan hati juri, lalu dinobatkan sebagai pemenang. Mukena indah akan jadi milikku.

Kubaca lagi tulisan yang akan kukirim. Ketik, hapus, ketik lagi, hapus lagi. Begitu seterusnya hingga aku puas dan yakin karyaku pantas dilombakan.

Email terkirim ke alamat penyelenggara. Naskah dan biodata lengkap kulampirkan sebagai penunjang. Tinggal menunggu saat pengumuman pemenang.

Dua minggu setelah naskah kukirim, aku mendapat kabar jika naskahku termasuk dalam naskah terbaik, dan aku berhak mendapat mukena. Rasanya bahagia sekali. Tak sabar menerima hadiah impian.

Esoknya, mukena benar-benar kuterima. Namun, tak pernah menyangka sedikit pun, kalau ternyata pengirim mukena bukan pihak penyelenggara lomba menulis. Aku telah salah mengirimkan naskah.

Tulisanku yang berisi rayuan untuk mengikuti lomba, diterima seorang lelaki yang telah lama menyimpan rasa padaku. Begitu dia menerima naskah dan data lengkapku, langsung saja dia berusaha mengirimkan mukena sesuai gambaran dalam naskah yang kukirim.

Bagaimana mungkin aku salah memasukkan alamat email? Bagaimana bisa email itu masih tersimpan? Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku.

Dalam paket kiriman mukena itu terlampir juga selembar kertas bertuliskan ungkapan perasaannya.

[Terima kasih sudah berkenan mengirimkan tulisan indah. Membacanya membuat saya hanyut dalam rayuan itu. Membayangkan andai saya yang mendapat kesempatan indah dirayu oleh gadis cantik seperti Anda.

Mungkin Anda tak pernah menduga, jika saya telah lama menanti saat-saat indah untuk bisa mengungkapkan rasa ini. Saya telah lama mengenal Anda, sebaliknya juga Anda telah mengenal saya. Namun, kita belum diberi kesempatan untuk bisa mengenal lebih dekat.

Sudah lama saya menyimpan rasa ini. Hanya doa yang bisa saya langitkan untuk bisa mengungkapkannya. Berharap sang pembuat hati akan memberi kesempatan kita bicara dua hati.

Tibalah saatnya, ketika menerima email dari Anda, ada denyar yang harus saya jabarkan. Saya berusaha mendapatkan mukena sebagaimana Anda menggambarkan. Melalui kiriman ini, sudilah menerima perasaan yang saya sertakan. Sungguh besar harapan saya ini sebagai pembuka jalan agar Anda bisa menerima perasaan saya.

Mohon maaf atas kelancangan ini. Lupakan jika tidak berkenan. Hanya satu yang ingin saya pastikan, ada hati yang berharap Anda menerima ungkapan rasa ini.


Salam,

[Dwi Cahyo Utomo]

Aku tersentak, membaca nama yang tertera di akhir surat. Ternyata pengirimnya adalah Mas Cahyo, kakak kelasku dulu waktu kuliah. Lelaki yang pernah kuidolakan.

Ternyata kami menyimpan rasa yang sama. Meskipun telah sekian lama berlalu, ternyata perasaan itu masih menetap. Denyar itu masih ada.

Akankah mimpiku menjadi kenyataan? Haruskah kumulai perjalanan? Mengarungi samudera bersama Mas Cahyo sebagai nakhoda, melajukan bahtera atas kehendak-Nya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun