Mohon tunggu...
Anwar Saragih
Anwar Saragih Mohon Tunggu... Dosen - Dosen ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Peminum Kopi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Cermin Kekuasaan Jokowi

30 September 2019   21:04 Diperbarui: 30 September 2019   21:06 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekuasaan itu serupa kopi dalam cermin, bila dipaksakan. Senikmati apapun tak akan pernah bisa disajikan. Pada cermin tak seutuhnya gestur kekuasaan dipantulkan, kadang ada gimik yang bergeser. Posisi tangan kiri berubah ke kanan, letak selempang kanan bergeser ke kiri bahkan teks badge nama akan terbalik fontnya.

Termasuk soal janji revolusi mental yang harusnya ditumpukan pada pembangunan Sumber Daya Manusia. Malah dipamerkan dengan pembangunan infrastuktur dengan ribuan kilometer jalan, ratusan jembatan dan proyek infrasruktur lainnya. Terlihat jelas bergeser.

Sudah 5 (lima) tahun telah berlalu sejak Jokowi terpilih di 2014 lalu. Wajah kekuasaannya sudah banyak berubah bersamaan dengan perubahan waktu.

Sebelumnya, saat running untuk Pilpres 2014 Jokowi lebih banyak dilayani oleh "pramusaji" relawan yang berasal dari : aktivis lingkungan, penggiat HAM, pejuang kebudayaan dan aktivis 1998 sebelum partai politik mengikutinya. Sementara di Pipres 2019 lalu, "pramusaji" bergeser kedepan dan kini berasal dari partai politik kemudian relawan yang mengikutinya.

Terjadi perubahan pola meski masih dalam ruang kekuasaan yang sama. Yang berubah hanya soal siapa yang paling depan melayaninya. Persamaaannya fondasi syarat administratif yang bertumpu pada partai politik masih dasar utama yaitu 20% suara partai politik/gabungan partai politik.

Pertarungannya pada periode kedua ini, tentu soal wacana siapa yang paling berkontribusi atas kemenangan Jokowi. Sudah barang tentu jawabnya, yang duduk di barisan terdepan adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem dan PPP. Kemudian, Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Hanura, PBB dan PKPI.

Singkatnya, kita ambil saja contoh sederhana : sekecil-kecil suara PSI dan tidak memiliki wakil di DPR karena tidak lolos threshold. Mereka punya 2,6 juta suara yang dihitung. Pun itu secara elektoral lebih bisa diperhitungkan dalam kalkulasi politik bila suara yang jadi indikator jatah kekuasaan. Itu pula alasan, mengapa nama-nama, seperti : Grace Natalie, Dini Purnomo hingga Tsamara santer disebut menjadi nominasi calon menteri Jokowi.

Dari situ kita berkaca, berapa jumlah menteri yang diduduki oleh partai-partai pendukung Jokowi yang lolos threshold dan menentukan kebijakannya 5 tahun mendatang.

Banyak relawan kini pun gamang. Khususnya soal jatah mereka (relawan) yang akan menduduki Jabatan menteri, duta-duta besar hingga komisaris BUMN yang tampaknya akan lebih dominan diambil oleh perwakilan partai politik.

***

Dampak kegamangan itu, para relawan kini sibuk memuji Jokowi setinggi langit, membela total dan mempertahankan argumen Jokowi seolah tak punya salah. Disisi yang lain, para partai yang tidak lolos threshold lebih banyak bermain aman tanpa kritik agar masih dihitung kontribusinya di Pilpres 2019 lalu.

Sementara itu, para "pramusaji" dari partai politik melalui DPR sibuk menawarkan Jokowi proposal menu baru berupa : RUU KUHP, RUU KPK, RUU Pertanahan hingga RUU Permasyarakatan. Menu yang sebenarnya tidak terlalu baik di konsumsi. Menu berupa rancangan undang-undang yang dampaknya tidak bagus bila ditandatangi oleh Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden karena banyaknya pasal-pasal yang bermasalah.

Mahasiswa lalu protes dengan RUU baru itu. Mereka melakukan demonstrasi di pelbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, pemerintahan mahasiswanya, melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menolak bertemu presiden. Pun anak SMA/STM ikut turun ke jalan untuk demonstrasi.

Banyak narasi yang bergulir soal itu, dengan isu : Demo ditunggangi, Anak STM sengaja digerakkan oleh oknum hingga wacana penertiban mahasiswa melalui universitas pun dilakukan. Setelah Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir ikut ambil panggung dengan mengumpulkan ratusan rektor dari pelbagai universitas dalam upaya menertibkan aksi mahasiswa.

Persoalannya saat ini, Mohammad Nasir tidak paham bahwa gerakan mahasiswa akan semakin membesar bila dikekang melalui kampus. Sebab, sejak dulu, kontrol aktivitas mahasiswa melalui akademik hanya akan memperparah situasi.

Di Italia, tahun 1967, saat perlawanan mahasiswa di Turin terjadi, dimulai saat universitas melakukan intervensi akadademik. Waktu itu ribuan mahasiswa berlimpah ruah menduduki kampus dengan bentrok dengan para dosen yang dianggap otoriter karena dianggap berlaku seenaknya dalam proses akademik.

Di Spanyol, tahun 1965, gerakan mahasiswa semakin membesar kala rezim Franco ikut mengintervensi mahasiswa melalui universitas. Apalagi saat itu, lulusan-lulusan universitas banyak yang jadi pengangguran membuat isu terpragmentasi menjadi satu isu besar yaitu rezim yang otoriter.

Di Prancis, tahun 1968 juga demikian, tak jauh beda dengan fenomena di Italia dan Spanyol akibat persoalan di kampus yang dianggap feodal dan otoriter.

Di Indonesia, tahun 1977 juga hampir sama saat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) dilaksakan karena dianggap sebagai bagian dari pengekangan terhadap kebebasan mahasiswa dalam berorganisasi dan berserikat di kampus.

Artinya masalahnya bukan di kampus dan Menristekdikti, Mohammad Nasir keliru soal pangkal masalahnya. Sebab, kampus hanyalah gedung-gedung mati sementara mahasiswa adalah mahluk bebas berpikir, berekspresi dan bertindak dalam kapasistasnya sebagai anak muda yang kritis.

Pun pengekangan di kampus sama saja dengan memperluas masalah baru di kampus. Sebab, sejatinya kampus adalah miniatur dari negara yang juga punya pemerintahan mahasiswa berjenjang dari presiden, menteri, gubernur hingga ketua ikatan mahasiswa ditingkatan program studi di Universitas. Artinya tak elok, jika di kampus juga pada akhirnya ada bentrok.

***

Mahasiswa dan rakyat yang hari-hari ini turun ke jalan bukan sedang mencari suaka ke Istana. Mereka cuma minta ditemui dan didengar aspirasinya langsung oleh Presiden dalam rapat umum demonstran dengan seluruh mahasiswa.

Tak perlu pula, aparat menodong mereka dengan senjata,gas air mata dan kekerasan. Bukankah seorang presiden senang juga kekuasaannya di koreksi oleh rakyatnya ?

Benar kemarin mereka, para ketua-ketua BEM, menolak bertemu Jokowi ke Istana, tapi apa salahnya presiden yang menemui mahasiswa. Layaknya ketika presiden blusukan menemui rakyatnya kala ada persoalan. Ini tentu lebih berguna, meski saat ini, bangsa Indonesia tidak sedang dalam proses kampanye elektoral, sebuah agenda 5 tahunan yang menegaskan kita secara prosedural sebagai negara demokrasi.

Sampai saat ini, saya yakini pantulan wajah presiden di cermin adalah wajah rakyat. Atas alasan itu pula, saya mau mengingatkan sekali lagi, salah satu tagline Jokowi tahun 2014 yang mengguggah hati pemilih : "Jokowi adalah Kita". Hanya ingin mengingatkan saja, tak lebih tak kurang pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun