Sementara itu, para "pramusaji" dari partai politik melalui DPR sibuk menawarkan Jokowi proposal menu baru berupa : RUU KUHP, RUU KPK, RUU Pertanahan hingga RUU Permasyarakatan. Menu yang sebenarnya tidak terlalu baik di konsumsi. Menu berupa rancangan undang-undang yang dampaknya tidak bagus bila ditandatangi oleh Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden karena banyaknya pasal-pasal yang bermasalah.
Mahasiswa lalu protes dengan RUU baru itu. Mereka melakukan demonstrasi di pelbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, pemerintahan mahasiswanya, melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menolak bertemu presiden. Pun anak SMA/STM ikut turun ke jalan untuk demonstrasi.
Banyak narasi yang bergulir soal itu, dengan isu : Demo ditunggangi, Anak STM sengaja digerakkan oleh oknum hingga wacana penertiban mahasiswa melalui universitas pun dilakukan. Setelah Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir ikut ambil panggung dengan mengumpulkan ratusan rektor dari pelbagai universitas dalam upaya menertibkan aksi mahasiswa.
Persoalannya saat ini, Mohammad Nasir tidak paham bahwa gerakan mahasiswa akan semakin membesar bila dikekang melalui kampus. Sebab, sejak dulu, kontrol aktivitas mahasiswa melalui akademik hanya akan memperparah situasi.
Di Italia, tahun 1967, saat perlawanan mahasiswa di Turin terjadi, dimulai saat universitas melakukan intervensi akadademik. Waktu itu ribuan mahasiswa berlimpah ruah menduduki kampus dengan bentrok dengan para dosen yang dianggap otoriter karena dianggap berlaku seenaknya dalam proses akademik.
Di Spanyol, tahun 1965, gerakan mahasiswa semakin membesar kala rezim Franco ikut mengintervensi mahasiswa melalui universitas. Apalagi saat itu, lulusan-lulusan universitas banyak yang jadi pengangguran membuat isu terpragmentasi menjadi satu isu besar yaitu rezim yang otoriter.
Di Prancis, tahun 1968 juga demikian, tak jauh beda dengan fenomena di Italia dan Spanyol akibat persoalan di kampus yang dianggap feodal dan otoriter.
Di Indonesia, tahun 1977 juga hampir sama saat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) dilaksakan karena dianggap sebagai bagian dari pengekangan terhadap kebebasan mahasiswa dalam berorganisasi dan berserikat di kampus.
Artinya masalahnya bukan di kampus dan Menristekdikti, Mohammad Nasir keliru soal pangkal masalahnya. Sebab, kampus hanyalah gedung-gedung mati sementara mahasiswa adalah mahluk bebas berpikir, berekspresi dan bertindak dalam kapasistasnya sebagai anak muda yang kritis.
Pun pengekangan di kampus sama saja dengan memperluas masalah baru di kampus. Sebab, sejatinya kampus adalah miniatur dari negara yang juga punya pemerintahan mahasiswa berjenjang dari presiden, menteri, gubernur hingga ketua ikatan mahasiswa ditingkatan program studi di Universitas. Artinya tak elok, jika di kampus juga pada akhirnya ada bentrok.
***