Mohon tunggu...
Dimar Wardani
Dimar Wardani Mohon Tunggu... Administrasi - Yakinkan dengan Iman Usahakan dengan Ilmu Sampaikan dengan Amal

pantang menyerah sebelum semuanya tuntas

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Generasi Millenial terhadap Swadaya Islamisasi di Era Digital

15 Maret 2019   08:36 Diperbarui: 15 Maret 2019   09:33 1598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi dalam era sekarang ini suatu keadaan di atas berujung pada memburuknya interaksi yang terjadi di lingkungan. Hubungan sosial yang dilakukan seperti hal nya interaksi ini juga sudah hampir dianggap asing, banyaknya orang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.

Sementara, di era millenial dimana teknologi digital dapat diakses oleh hampir semua kalangan, dengan cepatnya sebuah informasi langsung dapat menyebar dan berkembang. Berdasarkan penelitian mayoritas millenial mendapatkan berita bersumber dari media sosial seperti facebook, twitter dan instagram (How Millenials, 2015). Dari generasi millenial dapat diteliti cenderung malas untuk memvalidasi kebenaran berita yang mereka terima dan cenderung menerima informasi hanya dari sumber (media sosial) (Hapsari, 2017).

Sementara itu dengan mudahnya informasi diterima mengakibatkan memiliki sikap permissif, yang belum mampu memilah aktivitas internet yang

bermanfaat, dan cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan sosial tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu efek positif atau negatif ketika berinteraksi di internet, sehinggaterjadi kecenderungan yang sering mengenyampingkan nilai-nilai moral dan etika.

Tidak lari dari internet swadaya sendiri dari umat Islam dengan mengisyaratkan bahwa pers Islam bisa untuk melayani kepentingan umat Islam. Dengan muslim memiliki lembaga yang menyuarakan kepentingannya, namun ketika non muslim memiliki lembaga yang menyuarakan kepentingan umat Islam.

Bahwa sebagai makhluk sosial dan memiliki akal dalam kehidupan di muka bumi. Seyogyanya kehidupan saat ini dapat mengikuti arus yang ada. halnya generasi yang bergantungan terhadap teknologi dapat dipastikan kehidupan yang kebanyakan bergantung dengan dunia maya.

Millenial dalam Swadaya Islamisasi

Globalisasi mengubah dunia dari berbagai hal, masyarakat semakin memiliki kemampuan untuk menghindari iklan-iklan yang selama ini sering mereka lihat di media sebelumnya seperti televisi. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk menghindari iklan mendorong pemasar untuk mencari jalan lain dalam menyampaikan pesan mereka ke hadapan konsumen potensial. Penggunaan product placement semakin meningkat dari waktu ke waktu dan mengubah penggunaan media (Belch, 2007).

Dengan perkembangan zaman adanya sebutan baru seperti generasi millennial yang merupakan salah satu kelompok usia dari beberapa kelompok pembagian subkultur berdasar usia (Schiffman & Kanuk, 2010). Pembagian generasi, atau yang biasa disebut generasi kohort (generational cohorts) merupakan salah satu hal yang perlu diperhatian dalam pengambilan keputusan pemasaran manajerial (Motta  et al.,  2008).  Fore (2012) mengungkapkan bahwa generasi millennial lahir di antara tahun 1980 hingga 2000.

Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center merilis laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next. Berdasarkan penelitian-penelitian itu, inilah karakteristik generasi millenial tersebut.

Pertama, Millennial lebih percaya User Generated Content (UGC) daripada informasi searah. Bisa dibilang millennial tidak percaya lagi kepada distribusi informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih percaya kepada UGC atau konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan.

Kedua, Millennial lebih memilih ponsel dibanding TV. Generasi ini lahir di era perkembangan teknologi, internet berperan besar dalam keberlangsungan hidup mereka. Generasi millennial lebih suka mendapat informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google atau perbincangan pada forum-forum yang mereka ikuti, supaya tetap up-to-date.

Ketiga, Millennial wajib punya media sosial. Komunikasi di antara generasi millennialsangatlah lancar. Namun, bukan berarti komunikasi itu selalu terjadi dengan tatap muka, tapi justru sebaliknya. Banyak dari kalang-an millennial melakukan semua komunikasinya melalui text messaging atau juga chatting di dunia maya, dengan membuat akun yang berisikan profil dirinya, seperti Twitter, Facebook, hingga Line.

Keempat, Millennial  kurang suka membaca secara konvensional. Populasi orang yang suka membaca buku turun drastis pada generasi millennial. Generasi millennial bisa dibilang lebih menyukai melihat gambar, apalagi jika menarik dan berwarna. Lebih memilih membaca buku online (e-book) sebagai salah satu solusi yang mempermudah generasi saat ini.

Kelima, Millennial lebih tahu teknologi dibanding orangtua mereka. Kini semua serba digital dan online, tak heran generasi millennial juga menghabiskan hidupnya hampir senantiasa online 24/7.

Keenam, Millennial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif. Diperkirakan pada tahun 2025 mendatang, millennial akan menduduki porsi tenaga kerja di seluruh dunia sebanyak 75 persen. Millennial biasanya hanya bertahan di sebuah pekerjaan kurang dari tiga tahun. Namun demikian, sebab kaum millennial hidup di era informasi yang menjadikan mereka tumbuh cerdas, tak sedikit perusahaan yang mengalami kenaikan pendapatan karena mem-perkerjakan millennial.

Ketujuh,  Millennial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless.

Banyaknya kalangan muda ataupun generasi saat ini mengalami perubahan yang sangat drastis, ketika dibandingkan dengan yang saat ini. Dapat diihat dari pola konsumtifnya dan yang lain-lain pun.

Maka dari itu sebagai agama Islam yang paling banyak penganutnya dengan diterapan seperti cakupan millenial dengan swadaya Islamisasi seperti penguatan dalam pergerakan untuk anak-anak muda yang sering berpadu dengan dunia gadget.

Adanya suatu pengharapan dari Mowlana berkeyakinan bahwa dunia Islam maupun masyarakat Islam akan mencoba membuat media dan pemberitaannnya, dengan berusaha mengembangkan kemampuan profesiobnalnya dalam bidang komunikasi, riset, pengajaran dan jurnalistik. Maka dari itu adanya pemikiran ke arah perlunya media Islam tersendiri dan dimiliki serta pengolahan atau yang mengatur dari masyarakat muslim atau lembaga-lembaga muslim.

Swadaya Islamisasi di Era Digital

Dengan melihat keadaan sekarang ini yang dapat dirasakan oleh khalayak umum tanpa mengetahui secara dalam hal ini langsung bisa di respon dan diamati. Adanya ungkapan dari kedua kajian yaitu Marxist dan Liberialist Pluralist, yang pertama melihat kekuatan media sangat besar dalam membuat system sosial, yang kedua melihat bahwa ada kekuatan media namun tidak begitu besar, dalam cakupan tersebut dihubungkan dengan kultur. Aliran pertama diwakili oleh kelompok Birmingham dan Frankfurt School (1923) di antara tokohnya adalah Marx Horkheimer, T. Adorno,.W.Benjamin, R.Marcuse, dan Jrgen Habermas.

Peran media bagi masyarakat adaah mengontruksi realitas, construction of reality dalam kajian media, gagasan ini menekankan pada anggapan bahwa tidak ada realitas tunggal. Menurut pandangan kritis radikal Marxist media mempunyai peran penting dalam membuat. Adapun pandangan post-structuralism dan post-modernism,

Trend baru media dengan ternd ilmu-ilmu sosial, structutalist diwakili oleh Williams, Thompson dan Hogart. Stukturalist lebih memperhatikan aspek otonomi dan artikulasi media, sedangkan kulturalist lebih memperhatikan aspek "pengalaman" sebagai memiliki posisi otentik dan humanist sebagai penciptanya. Jadi pengalamanlah yang menentukan isi media dan manusia berperan membuatnya. Dengan kata lain media adalah refleksi dari budaya dan pengalaman (Curran, t.t).

Seiring dengan perkembangnya di era digital dilihat dari rangkaian beberapa struktural komunikasi yang merupakan ciri khas dan kelebihan manusia, dari kegagalan memahami pesan verbal akan mengakibatkan bencana, permusuhan, ketidakrukunan dalam kehidupan sosial. Namun banyak orang menganggap komunikasi mudah dilakukan, semudah bernafas karena biasa dilakukan sejak lahir. Sehingga ada kesan meremehkan kemampuan komunikasi. Adannya kekeliruan komunikasi, yaitu:

 1. Tidak ada sukar tentang komunikasi.

2. Ketrampilan komunikasi adalah bakat, sifat bawaan, bukan diperoleh karena usaha atau pendidikan.

3. Berbicara karena dengan sendirinya berkomunikasi.

4. Komunikasi terjadi hanya jika dikehendaki.

5. Komunikasi adalah proses verbal, dan ada juga non verbal yang mempengaruhi orang lain.

6. Manusia membutuhkan lebih banyak komunikasi.

7. Makna terdapat pada kata-kata.

8. Komunikasi adalah panasea universal (Mulyana, 2014).

Banyaknya uraian mengenai beberapa hal yang mengenai generasi millenial terhadap swadaya Islamisasi di era digital ini memunculkan presepsi. Dalam artikel yang berjudul realitas dan kajian media yang ditulis Thomas Hanitzsch ialah sebagai berikut:

Ia menyatakan kesetujuannya dengan tulisan R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan 'alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan' (Kunci, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski, 1993). Sebenarnya fungsi media massa bukan 'merekonstruksikan realitas sosial' (Abrar, 1997).

Saling menyeimbangkan posisi Islam mengambil jalan tengah diantara perbedaan. Salah satu ciri konsepsi Islam adalah keseimbangan 'tawazun', tidak bersifat ekstrim pada satu pandangan sehingga tidak ada kemungkinan lain, tapi berkemungkinan berpotensi untuk ada bisa menyeimbangkan perbedaan kedua tersebut.

Bahwa penyeimbangan dengan melalui pendekatan Pluralist dan Liberalist hampir mendekati konsep Islam yang berkaitan dengan media, kemungkinan masyarakat dapat berkreasi dan bisa merefleksikan budaya dan generasi millenial ini dalam pemanfaatan media, sehingga media menjadi potret masyarakat, karena media banyak mempengaruhi perilaku masyarakat. Dengan pendekatan keseimbangan, bahwa kedua pendekatan marxist dan liberalist pluralist menemukan titik benar, namun tidak terlalu ekstrem.

Dengan aktivitas, kultur suatu yang senantiasa dikritisi, diperbaharui, sehingga selalu baru. Sejak dini peradaban dan budaya manusia dibangun atas dasar tahwid dan taqwa, serta tabligh dan dakwah (Bakti, t.t.) untuk kemudian diubah dengan tradisi dan budaya baru.

Sampai di sini bisa dipahami hubungan antara media  massa Islam dengan kreativitas, bahwa media adalah merupakan wujud dari kultur Islam yang berkembang di masyarakatnya, dan pada saat yang bersamaan juga media menciptakankultur baru; bersumber dari "realitas ideal" dalam perspektif Islam. Maka apa yang disajikan media Islam merupakan produk komunikasi masyarakatnya yang telah ada dan masih dalam kerangka belum sampai pada titik anomali yang harus dikritisi, serta berbagai usaha  perbaikan yang merupakan kritik dari realitas masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun