Mohon tunggu...
Anugrah Rahmatulloh
Anugrah Rahmatulloh Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Researcher

Ketika kita membaca, kita membuka jalan. Ketika kita menulis, kita berbagi cerita. Dan ketika kita berbicara, kita merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Mereka yang Menjaga Budaya Lewat Musik

7 Mei 2020   15:09 Diperbarui: 7 Mei 2020   20:04 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Musik (sumber: monitor.co.id)

"Kepergian maestro Campursari Indonesia, Didi Kempot pada Selasa pagi lalu mengagetkan banyak pihak. Bagaimana tidak, penyanyi yang dikenal sebagai 'The Godfather of Broken Heart' ini sedang menikmati masa tenarnya yang kembali diraih setelah sekian lama. Bahkan, musik campursari yang ia bawakan bisa diterima oleh semua kalangan. Hal tersebut terbukti dengan munculnya para 'sobat ambyar' yang tidak memandang usia, jenis kelamin, status, dan sebagainya. Kepergiannya merupakan kesedihan bagi kita semua".

Didi Kempot menjadi satu dari sekian musisi yang mengambil jalan berbeda dibanding dengan para musisi pada umumnya.

Saat banyak orang berbondong-bondong menciptakan musik dengan membawa genre pop, rock, RnB, dan sebagainya, beliau tetap bertahan dengan musik campursari yang masih kental dengan sisi tradisional, meskipun campursari sendiri pada dasarnya merupakan inovasi dari musik keroncong langgam dan karawitan (Kobi, 2017: 11).

Selain Didi Kempot, masih banyak lagi musisi yang mengangkat musik daerah berdasarkan latar belakang budaya masing-masing.

Beberapa musisi ada yang bertahan dengan musik tradisionalnya, tidak sedikit pula musisi yang memadukan musik tradisional bersama instrumen serta genre-genre musik modern.

Tentunya, hal ini menjadi salah satu cara masyarakat untuk mempertahankan budaya yang sudah berkembang sejak lama.

Dari Folklor Hingga Menembus Industri: Bagaimana Musik Tradisional Bertahan.

Masyarakat Indonesia tidak pernah lepas dari musik. Melihat situasi saat ini, musik selalu berada dalam sisi kehidupan masyarakat.

Tentu kita sudah tidak asing ketika menemukan orang yang sedang mendengarkan musik sembari melakukan berbagai aktivitas, seperti belajar, bersih-bersih rumah, bersantai, memasak, dan lainnya.

Sebagian besar dari kita pernah, bahkan sering bernyanyi ketika sedang di kamar mandi, atau ketika menunggu sesuatu hal yang akan dilakukan/didapat.

Kita juga akan sangat mudah menemukan musik di berbagai tempat. Masyarakat yang sedang nongkrong dan ngopi tentu tidak lengkap ketika tidak ada sajian musik dari radio si empunya warung, para pekerja proyek sering mendengarkan musik untuk menambah semangat serta melupakan sejenak lelah beraktivitas, juga para musisi jalanan yang menggantungkan hidupnya dari musik yang mereka mainkan.

Lebih jauh, banyak orang mendengarkan musik tertentu untuk menggambarkan perasaan yang sedang dirasakan, dengan penanda update status di sosial media ataupun melalui aplikasi pemutar musik yang digunakan.

Jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah lama hidup dengan musik. Kedekatan masyarakat Indonesia dengan musik sudah muncul sejak masa neolitikum.

Nyanyian rakyat sebagai salah satu jenis folklor menjadi jembatan masuknya musik dalam masyarakat Indonesia pada masa itu. Sebagai sebuah folkore, nyanyian rakyat kemudian hidup dan berkembang dalam berbagai kegiatan masyarakat.

James Danandjaja dalam Folklore Indonesia menyatakan bahwa nyanyian rakyat banyak digunakan dalam upacara adat maupun keagamaan, pergaulan masyarakat, usaha mengekspresikan perasaan dan juga suatu maksud tertentu, serta berbagai kegiatan lain.

Seiring berjalannya waktu, nyanyian rakyat kemudian berevolusi dengan diiringi oleh alat musik, terutama dengan mulai masuknya pengaruh agama-agama di kepulauan Nusantara.

Masuknya agama-agama di kepulauan Nusantara tidak serta merta menghilangkan musik dari masyarakat. Musik kemudian menjadi sarana penyebaran agama serta menjadi sarana pembacaan naskah-naskah.

Banyak sekali naskah-naskah yang memiliki patokan pupuh, seperti naskah Negarakretagama. Hal ini dimaksudkan untuk menarik masyarakat untuk mempelajari agama dengan lebih mudah.

Contoh lain pemanfaatan musik ialah Gamelan Jawa. Sejak masa Hindu-Buddha, gamelan digunakan sebagai sarana penyebaran agama.

Bahkan, pada masa islam, Gamelan Jawa menjadi salah satu media strategis yang digunakan para wali maupun para penyebar agama islam lainnya.

Melalui penampilan gamelan yang diiringi oleh pertunjukan wayang mampu menarik minat masyarakat untuk hadir.

Pada kesempatan itu, para pemuka agama memanfaatkan momen tersebut untuk mengislamkan penduduknya. Pemanfaatan musik dalam penyebaran agama (meskipun lebih dominan sebagai pengiring) nyatanya mampu menarik hati masyarakat.

Cara tersebut juga dilakukan ketika para wali memberikan ilmu serta berbagai petuah terhadap masyarakat, juga digunakan dalam berbagai upacara keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau peringatan Isra Mi'raj (Daryanto, 2014:34).

Seiring berjalannya waktu, keberadaan musik-musik modern sedikit banyak mempengaruhi selera masyarakat Indonesia.

Munculnya genre-genre baru, secara positif memberikan banyak pilihan bagi masyarakat untuk menikmati musik, serta semakin membuat musik lekat dalam budaya masyarakat.

Tetapi, keberadaan musik-musik baru juga mengancam musik-musik tradisional dari berbagai daerah yang notabene menjadi media masyarakat mengenal musik.

Melihat kenyataan tersebut, maka tidak heran ketika musik-musik tradisional harus berinovasi dan bersaing dalam dunia musik yang perhalan-lahan sudah masuk ranah industri. Untungnya, banyak musisi-musisi yang kemudian sadar akan hal tersebut.

Berbagai kampanye musik tradisional banyak dilakukan, tentunya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan budaya yang kita miliki.

Instrumen tradisional pun perlahan-lahan masuk dalam industri musik dan muncul berbagai inovasi untuk menggabungkan instrumen tradisional dengan musik modern. Sehingga tidak heran ketika banyak kolaborasi musik modern dengan instrumen tradisional.

Selain itu, keberadaan genre musik folks sedikit banyak membantu musik-musik tradisional bertahan dalam kepungan musik modern.

Musik folks (musik rakyat) yang memiliki arti luas dan banyak berkembang di skena musik indie memberikan tempat yang besar untuk instrumen-instrumen tradisional.

Sehingga, secara tidak langsung keberadaannya menjadi semacam agen bagi bertahannya musik tradisional di masyarakat.

Para Pewaris Budaya Lewat Musik

Seperti yang sudah dijelaskan di awal, Didi Kempot adalah satu diantara sekian banyak musisi yang mengambil jalur berbeda.

Melalui musik Campursarinya, ia menjadi salah satu maestro dalam blantika musik Indonesia. Didi Kempot sendiri bisa dibilang sebagai sosok yang melejitkan musik campursari hingga dikenal oleh masyarakat luas.

Alunan nada dalam lagu macam Stasiun Balapan, Pamer Bojo, Layang Kangen akan sangat akrab di telinga para pendengarnya. Tentu keberadaan Didi Kempot yang membawa musik campursari semakin berkembang sejak dikenal sebagai perpaduan musik keroncong dan karawitan pada periode 90-an.

Didi Kempot membuktikan bahwa musik tradisional tetap bisa diterima oleh semua kalangan, meskipun sebenarnya kehadiran campursari ini dianggap kontroversial karena dapat menurunkan nilai-nilai tradisi yang dimiliki oleh gamelan sebagai pengiring musik campursari (Kobi, 2017: 15).

Musik campursari yang terinspirasi dari keroncong tentunya juga menegaskan bahwa musik keroncong sudah tenar jauh lebih dulu. Keberadaan musik keroncong mulai tercatat pada abad ke-17, dimulai ketika masyarakat keturunan Portugis (mardjikers) mulai mempopulerkan jenis musik ini.

Nama keroncong yang diambil dari suara perhiasan yang bersentuhan sering dikenal sebagai musik asli Indonesia, hal ini terjadi karena terdapat proses adaptasi dari musik yang berasal dari Portugis dan memiliki karakter yang berbeda dengan musik aslinya. Meskipun demikian, keroncong juga dikenal sebagai musik multiras karena mengandung unsur-unsur budaya Eropa Utara, Afrika, dan Jawa (Darini, 2012: 11).

Berbicara musik keroncong tentunya tidak bisa lepas dari figur Gesang Martohartono. Ia dikenal sebagai maestro keroncong Indonesia dan namanya dikenal luas bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.

Selain Indonesia, Jepang menjadi salah satu negara dimana ia dikenal dan tenar. Gesang dan keroncong sendiri tidak akan lepas dari Bengawan Solo, lagu yang sudah diterjemahkan kedalam 13 bahasa. Tentu, lagu-lagu lain macam Saputangan, Jembatan Merah, dan lagu lain juga menarik untuk didengarkan.

Usaha mempertahankan budaya lewat jalur musik juga tidak hanya dilakukan melalui jalur genre musik. Alat musik tradisional juga memegang peran penting dalam usaha mempertahankan budaya.

Tentu masyarakat mengenal Gamelan Jawa, Sasando, maupun Angklung serta banyak alat musik lain yang sudah mulai digunakan sebagai instrumen dalam musik modern. Namun, terdapat satu alat musik yang menarik dalam perkembangannya, ia adalah Karinding.

Bagi masyarakat Sunda khususnya, karinding sudah menjadi salah satu identitas masyarakat. Alat musik ini pada awalnya merupakan alat untuk mengusir hama di sawah ketika masa panen akan tiba.

Cara penggunaanya yang unik membuat karinding kemudian berkembang menjadi alat musik. Karinding sempat menjadi musik khas masyarakat sunda, sebelum akhirnya tergerus oleh zaman. Memasuki periode sekitar 2008, karinding mulai coba dibangkitkan kembali.

Adalah Iman Rahman Anggawiria Kusuma, musisi sekaligus akademisi yang menjadi pelopor kebangkitan karinding. Musisi yang malang melintang dalam perkembangan musik Bandung ini coba membangkitkan karinding melalui inovasi dan pergerakan yang lebih menonjol. Fokus terhadap riset dan pengembangan karinding, pria yang lebih dikenal dengan nama Kimung ini berhasil membangun jaringan bersama berbagai komunitas untuk membangkitkan karinding.

Sudah banyak program dilakukan oleh Kimung beserta komunitasnya, dimulai dengan berdirinya Karinding Attack pada 2009, hingga mengembangkan pusat riset dan pengembangan karinding yang dikenal dengan Pangauban Karinding.

Inovasi lain diciptakan melalui kolaborasi instrumen karinding dengan musik-musik yang lebih modern. Jejaring juga mulai dibangun, dibuktikan dengan mulai bermunculannya berbagai hal yang berkaitan dengan karinding, baik tempat untuk tampil, produksi dan distribusi karya seni yang dominan independen, serta penguatan komunitas di berbagai daerah.

Usaha juga dilakukan melalui jalur akademis. Melalui program Karinding Goes to Europe, hasil dari riset independen yang dilakukan bertahun-tahun membawa karinding menjadi topik yang dibahas dalam konferensi internasional.

Program tersebut juga membawa Kimung melakukan riset terkait dengan karinding dan harpa mulut Indonesia. Berbagai usaha yang dilakukan sudah mulai membuahkan hasil.

Selain perkembangan pesat yang ditunjukan berbagai komunitas karinding, hasil riset yang dilakukan bertahun-tahun akhirnya terabadikan dengan sebuah karya yang berjudul Sejarah Karinding Priangan.

Selain itu, karinding sudah naik kelas menjadi alat musik yang mampu mengangkat derajat masyarakat.

Tentunya, contoh diatas hanya tiga dari banyaknya pegiat budaya yang berjuang melalui jalur musik. Disadari atau tidak, usaha-usaha yang mereka lakukan menjadi salah satu upaya konkret dalam pewarisan serta pelestarian budaya.

Tentunya, hal ini juga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih menghargai dan menjaga budaya agar tetap lestari.

Contoh ini juga menjadi catatan bahwa pelestarian budaya bisa dilakukan lewat cara apapun.

Jika ada cerita serupa, sila berbagi di kolom komentar...

Sumber:

Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafitipers

Darini, Ririn. Keroncong Dulu dan Kini dalam Mozaik Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 6, No. 1 (2012) Pp. 19 -- 31

Daryanto, Joko. Gamelan Sekaten dan Penyebaran Islam di Jawa dalam Keteg Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang "Bunyi" Vol. 14 No. 1 (2014) Pp. 32 - 40 

Herndon, Marcia dan Norma McLeod. 1982. Music as Culture. Pennyslvania: Noorwood Edition

Kobi, Mohamad Fajrin. Campursari: Bentuk dari Kesenian Gamelan yang Diterima di Masa Modern dalam Jurnal Warna Vol. 1 No. 1 (2017) Pp. 1 -- 20

"Buku Sejarah Karinding Priangan" dalam https://pangaubankarinding.com/buku-sejarah-karinding-priangan/ (Diakses pada 7 Mei 2020 pukul 13.50)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun