Situasi dunia terkait dengan wabah Novel Coronavirus (Covid-19) menunjukan peningkatan yang sangat signifikan. Rilis terakhir berbagai media Sabtu pagi (28/3), Amerika Serikat menjadi negara dengan jumlah pasien positif Covid-19 terbanyak.Â
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Center for Disease Control and Prevention, Jum'at (27/3) waktu setempat, jumlah kasus Covid-19 yang terjadi sebanyak 85.356, lebih banyak dari Italia yang sebelumnya menjadi negara dengan penderita terbanyak.Â
Adapun kasus yang tercatat di Indonesia, hingga Sabtu pagi sebesar 1.046 kasus. Penyebab meningkatnya kasus Covid-19 di berbagai belahan dunia ini disebabkan oleh berbagai hal, baik penyebaran virus yang cepat melalui udara, hingga intensitas aktivitas masyarakat yang masih sangat tinggi.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, dimulai dengan mempersiapkan Rumah Sakit rujukan bagi masyarakat yang diduga mengidap Covid-19, memberikan arahan isolasi mandiri bagi orang dalam pengawasan (ODP), serta pasien dalam pengawasan (PDP), hingga memberlakukan Rapid Test bagi masyarakat yang memiliki resiko besar terpapar Covid-19. Selain itu, berbagai anjuran juga disampaikan, mulai dari mencuci tangan selama 20 detik menggunakan sabun atau cairan antiseptik, hingga melakukan Social Distancing bagi masyarakat agar penularan Covid-19 tidak semakin menyebar.Â
Social distancing adalah satu hal menarik dalam salah satu anjuran yang diberikan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud Social Distancing? Apa yang terjadi dengan social distancing di masyarakat?
Berdasarkan artikel yang dikeluarkan oleh Public Health Departement, Santa Clara Valley Health & Hospital System, Social Distancing sendiri dinyatakan sebagai "...limiting large of group of people coming together, closing the buildings and canceling events".Â
Pengertian tersebut menunjukan bahwa social distancing merupakan suatu proses pengurangan atau penghentian aktivitas masyarakat yang dilakukan di luar rumah serta dengan melibatkan orang banyak. Selain itu, berbagai aktivitas yang memancing kehadiran banyak orang harus dibatalkan atau diundur.Â
Melihat situasi saat ini jika dikaitkan dengan penjelasan di atas, maka wajar ketika salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah di berbagai belahan dunia adalah penutupan sekolah/instansi, pengurangan layanan, hingga melakukan penutupan wilayah di beberapa negara.
Pada dasarnya, social distancing dilakukan untuk memutus rantai pandemi Covid-19. Kurangnya aktivitas yang memicu perkumpulan dinilai mampu membatasi perkembangan virus. Karena virus covid-19 sendiri tidak akan bertahan lama jika tidak masuk dalam tubuh manusia, maka anjuran tersebut akan efektif untuk memutus rantai penyebaran virus karena tidak akan hinggap di manusia.Â
Social distancing ini juga dilakukan karena virus ini menyebar melalui udara. Beberapa negara sudah membuktikan bahwa dengan social distancing, penyebaran virus Covid-19 bisa ditekan, tentunya dengan berbagai usaha lain. Beberapa negara tersebut diantaranya Korea Selatan dan Vietnam.
Sedianya social distancing juga sudah banyak disampaikan oleh berbagai pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, rumah sakit, bahkan tidak jarang komunitas serta aparat juga mengingatkan untuk membatasi aktivitas.Â
Tentunya, dengan situasi seperti demikian, berbagai permasalahan muncul. Permasalahan utama yang terjadi ialah banyaknya orang yang tidak mengidahkan anjuran untuk melakukan social distancing sehingga status masyarakat yang diawasi meningkat tajam. Tentunya, permasalahan berkaitan dengan social distancing tidak hanya hal tersebut saja.
Permasalahan lain yang terjadi ialah, Social distancing menyebabkan masyarakat memberikan "jarak" terhadap orang yang diduga terkena Covid-19. David Good dalam The Cambridge Dictionary of Sociology menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang membuat satu kelompok masyarakat memiliki jarak terhadap masyarakat lain.Â
Menggunakan istilah jarak sosial yang dikembangkan oleh Georg Simmel, ia melihat ada sebab-sebab yang membuat masyarakat memiliki jarak sosial dengan salah satu individu atau kelompok lain, baik dengan adanya perbedaan secara fisik, kondisi sosial, serta hal yang mempengaruhi seseorang seperti kondisi pekerjaan, kondisi psikis serta kondisi kesehatannya (Turner, 2006: 573-574). Jarak sosial sendiri bisa bermakna positif maupun negatif.
Kemudian, yang terjadi di Indonesia ialah jarak sosial yang terbentuk di beberapa masyarakat justru cenderung berjarak secara negatif. Sejak diumumkan kasus pertama covid-19 di Indonesia, mulai muncul berbagai stigma dari masyarakat bagi penderita. Seketika, pasien pertama yang terjangkit covid-19 menjadi bahan pembicaraan seluruh masyarakat.Â
Muncul berbagai informasi, baik dari media massa maupun broadcast yang menyebar di berbagai media sosial. Permasalahannya, banyak dari informasi tersebut terkesan memberikan penghakiman dan kesan bahwa pasien terjangkit merupakan kelompok masyarakat yang harus dijauhi secara sosial. Selain itu, banyak pula pengucilan dari masyarakat yang dilakukan terhadap orang yang diduga terjangkit, baik ODP maupun PDP.
Berbagai faktor mengiringi sebab banyaknya anggapan negatif terhadap orang-orang yang diduga maupun positif terjangkit Covid-19. Salah satu diantaranya ialah pemberitaan media massa yang cukup banyak menyudutkan pasien. Media massa yang merupakan penyedia informasi pada dasarnya memberikan informasi pada masyarakat mengenai berbagai peristiwa yang terjadi. Tetapi, media massa juga memiliki etika tersendiri dalam memproduksi informasi.Â
Setiap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa merepresentasikan banyak hal: penggambaran situasi, ide atau gagasan yang akan disampaikan, maupun eksistensi media itu sendiri. Setiap kabar yang diproduksi memberikan suatu konstruksi terhadap masyarakat mengenai apa yang disampaikan (Burton, 2005: 296).Â
Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa media memberikan informasi yang terkait kasus Covid-19 pertama di Indonesia, memberikan gambaran bahwa pasien pertama seperti pihak yang bersalah dan harus dikucilkan. Informasi pribadi pasien bocor sehingga menimbulkan kepanikan yang terjadi di masyarakat. Kepanikan tersebut mengundang masyarakat untuk menjauhi pasien bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam tataran sosial masyarakat.
Selain itu, munculnya informasi-informasi yang tidak jelas menambah kepanikan dan stigma negatif di masyarakat. Berbagai informasi yang belum jelas kebenarannya banyak tersebar di masyarakat.Â
Kabar seperti dua pasien positif pertama yang berdansa dengan orang Jepang, atau kabar lainnya disebarkan oleh orang yang bertanggung jawab.
Celakanya, beberapa media massa mengangkat hal tersebut ke permukaan hingga menimbulkan apa yang disebut oleh Graeme Burton sebagai Moral Panic. Hal tersebut menyebabkan banyaknya stigma negatif dari masyarakat terhadap pasien-pasien lain.Â
Banyak mengaitkan dengan informasi yang tidak benar, ataupun membocorkan identitas pasien tanpa izin yang bersangkutan ataupun pihak-pihak terkait.Â
Efek dari hal tersebut ialah banyak diantara pasien yang tertekan, bahkan hingga menangis dalam masa isolasi. Padahal WHO sendiri sudah mengaskan bahwa para pasien yang positif terkena Covid-19 harus diberikan dukungan secara mental. Tidak boleh ada istilah "korban Covid-19", "orang yang terkena Covid-19" ketika mereka sudah sembuh, sehingga dapat mengurangi stigma dan pengucilan.
Usaha memerangi Covid-19 ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Bukan hanya mengikuti anjuran pemerintah serta menjaga kesehatan, tetapi juga menjaga agar kondisi sosial masyarakat juga tetap terjaga.Â
Perhatikan etika media massa ketika memberikan informasi, serta bersikap selektif terhadap berbagai informasi yang didapat dari berbagai sumber. Agar situasi di masyarakat lebih kondusif dan terkendali.Â
Nampaknya, penggantian istilah Social Distancing menjadi Physical Distancing oleh WHO bisa lebih efektif untuk mengurangi aktivitas fisik tanpa mengurangi sikap sosial masyarakat. Sehingga, anjuran ini efektif untuk menghalau perkembangan virus yang semakin besar serta tidak ada lagi Social Distance dan stigma-stigma buruk terhadap pasien maupun orang yang diduga terkena Covid-19.
Sumber:
Burton, Graeme. 2005. Media and Society: Critical Perspectives. Berkshire: Open University Press
Center of Disease Control and Prevention. Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Cases in the US, (diakses pada 28 Maret 2020 pada 09:27)
Santa Clara Valley Health & Hospital System. 2020. Information About Social Distancing. Public Health Departement, Santa Clara Valley Health & Hospital System.
Turner, Bryan S. 2006. The Cambridge Dictionary of Sociology. New York: Cambridge University Press.
WHO. Mental Health and Psychosocial Consideration During Covid-19 Outbreak dalam Country and Technical Guidance -- Coronavirus Disease (Covid-19),  (diakses pada 16 Maret 2020 pukul 11:33)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H