Mohon tunggu...
Anugerah Waty
Anugerah Waty Mohon Tunggu... -

Saya hanya Perempuan Biasa-biasa saja, punya mimpi yang luar biasa. Dan, sangat menyukai bau tanah kering yang basah karena hujan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pertemuan Terakhir

21 Oktober 2010   06:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:14 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku selalu tahu dari apa yang tidak kau ketahui sekalipun. Kamu sama saja seperti mereka. Kamu tahu? Aku datang dari pulau seberang untuk menemuimu. Sungguh, hanya untuk kamu...

Kita berjanji untuk bertemu di tempat ini. Pemandangan yang indah. Aku jarang menemukan tempat seperti ini sebelumnya, pun tidak di kotaku. Angin dingin menampar-nampar wajahku sedari tadi, membuat kulit pipiku terasa menebal.

Aku menunggumu sejam yang lalu. Menunggu itu tidak mengenakkan. Kata orang, seperti menunggu jerawat besar dan bernanah di pipimu yang kian membesar dan akhirnya meletus. Yeahh...meletus seperti ban pecah tertusuk paku. Kamu tahu? Aku sangat tidak bisa melihat keterlambatan. Itu akan membuatku naik pitam. Kuteguk perlahan-lahan Cappuchino yang sedari tadi setia menemaniku. Dua gelas sudah kuhabiskan, hanya untuk menunggumu.

********

Kulihat kamu berjalan memasuki pintu café ini. Tubuh tegap, dada bidang dan senyumanmu itu, seketika menghapus kesalku padamu karena menunggu. Sekian lama akhirnya kita bertemu. Hanya situs-situs jejaring itu yang selama ini menghubungkan kasih kita. Hasrat kita, cinta kita yang kian membara.

Aku berdiri dan menyambutmu. Kubentangkan kedua lenganku yang menggantung di udara. Kamu berlari kecil menghampiriku. Kamupun menyambut bentangan tanganku. Kita berpelukan, erat. Kulingkarkan lenganku memeluk tubuhmu yang kokoh. Kulekatkan pipiku di dadamu yang luas itu. Kucium wangi tubuhmu, wangi sabun yang selalu saja kurindukan dari tubuhmu. Kamu pasti baru saja mandi sebelum menemuiku. Aku tahu, kamu membasuh tubuhmu untuk menghilangkan wangi lain.

"apa kabar hun?" tanyamu melepaskan pelukan, akupun melepaskan lingkaran lenganku di tubuhmu.

Pasti wajahku memerah. Kulit putihku tidak dapat menutupi warnah merah itu. Darahku berdesir, dari ubun-ubun hingga ke pangkal kaki. Aku sangat merindukan suara itu. Suaramu yang selalu membuatku melayang. Suaramu yang agak serak, selalu saja membuatku mabuk. Suaramu seperti candu, bercampur dengan aliran darahku.

"kabarku baik" kataku berusaha menyembunyikan wajahku yang tersipu. Aku hanya rindu.

Kita kemudian saling menatap. Pandangan kita menyatu. Kuselami bening kedua bola matamu yang hitam pekat. Dan akupun tahu, kamu pasti sedang mengagumi bola mataku yang berwarna coklat muda ini. Katamu, mataku tak dapat membuatmu tidur. Kamu tidak akan pernah beranjak tidur sebelum menikmati fotoku yang kutitipkan di hampir seluruh social media. Kamu tidak pernah bosan menikmati setiap garis senyumku yang berbeda-beda di tiap fotoku. Ah...jujur, Aku memang gampang percaya dengan seseorang. Apalagi kalau kamu yang mengatakannya. Aku tidak pernah memfilternya.

"Hun...sebelumnya Aku minta maaf. Waktuku tak banyak. Andai saja kamu datang sejam lebih awal. Kita akan bisa berbincang lebih lama. Tapi Aku harus berangkat ke bandara setengah jam lagi. Aku sengaja datang ke sini untuk menemuimu dan menyerahkan hadiah ini langsung ke kamu. Happy birthday ya hun. Seluruh doa untukmu, semoga kamu bahagia selalu."

Aku meraih tangan kekasihku. Kutatap wajahnya, kutelusuri setiap garis wajahnya, mata, alis, hidung, bibir, dan dagunya. Aku selalu memimpikan semua itu. Aku selalu menyimpan asa untuk memilikinya, hanya milikku. Nyatanya, Aku hanya bisa memilikimu dalam anganku. Seseorang telah memilikimu. Sesak rasanya, bila mengingat itu. Sekian lama aku belajar untuk melepaskan rasa itu. Tapi aku tak mampu. Kulirik jam di pergelangan kiriku, jam tangan hadiah ulang tahunku darimu setahun lalu. Lima belas menit lagi, tepat pukul tujuh belas.

"hun...Aku harus pergi. Aku tidak bisa berlama-lama di sini" kataku merapikan tas ransel hitamku.

"tapi hun, kita kan baru saja bertemu. Aku masih kangen kamu" katamu sambil memegangku menahan gerakanku.

Aku menatapmu. Mencari-cari kerinduan di setiap lekuk garis wajahmu. Tidak ada. Tak kutemui rindu itu, hanya menemukan bayangan wajah perempuan lain di sana. Aku tahu, seseorang menunggumu dengan cemas di suatu tempat. Kamu tidak pernah tahu kan? Aku bisa membaca sesuatu yang kamu sembunyikan. Aku sangat tahu, kamu tergesa-gesa ke tempat ini menemuiku, terburu-buru mandi, menyiram tubuhmu agar keringat dan aroma tubuh perempuanmu yang menempel di kulitmu hilang tak berbekas.

Tapi Aku sangat tahu apa yang kamu lakukan. Tidak ada kerinduan di matamu, di setiap ucapanmu. Kamu tidak pernah tahu, aku selalu bisa membaca apa yang ada di kepalamu. Dan sekian lama, aku membenamkan diri dalam kepahitan ini. Merasakan sendiri dukaku. Menelan asin air mataku. Aku tahu, setiap hari apa dan jam berapa kalian melakukan hubungan itu. Aku tahu semuanya.

Oke...

Aku tidak akan menangis. Sudah cukup. Aku harus pergi. Mungkin, ini yang terakhir kalinya kita bertemu. Kuserahkan sebuah kotak yang telah kubungkus rapi, berwarna biru laut. Warna kesukaan kita. Warna laut yang nyinyir. Aku bergegas meninggalkan tempat itu. Tidak kuhiraukan lagi teriakanmu yang memanggilku. Aku bergegas mencari taksi.

Lima menit lagi.

Air mataku mengalir deras. Kuraba jantungku. Sakit. Sesak nafasku. Aku tak mampu lagi menahan bendungan air mata yang sedari tadi kutahan.

Dua menit lagi...

Aku menghitung dalam hati...

Satu menit lagi...

Lima
Empat
Tiga
Dua
Satu
Dan................

Duarrrrrr....!!!
Duaaarrrrrr...!!!


Aku tersenyum. Kuhapus wajahku yang dibanjiri air mata dengan tissue. Aku tahu, Kamu tidak akan pernah berubah. Andai saja, kamu datang sejam lebih awal. Ini tidak akan terjadi. Andai saja rasa penasaranmu tidak begitu besar. Hadiah itu, akan kamu buka di rumah bersama istrimu. Hadiah itu, sebenarnya untuk kalian berdua. Apa daya, rasa penasaranmu membunuhmu. Sangat menyedihkan, kamu pergi hanya seorang diri.

Kamu selalu saja mempercayaiku ketulusanku. Mempercayai kebesaran hatiku, melihat dan mengetahui kemesraan kalian. Kamu salah sayang, hadiah itu telah kupersiapkan setahun lalu, setelah kamu memberikan jam tangan ini. Kamu tahu? Aku juga ingin dicintai sepenuh hati. Sama seperti perempuanmu itu. Meskipun aku perempuan yang terlambat menemukan hatimu. Tapi, seharusnya kamu tahu. Semuanya telah kuberikan untukmu. Hati ini....!

Sayang...

Biar adil, Aku tidak akan pernah memilikimu lagi, tidak juga dia.

Selamat Jalan...!

Makassar, 18.10.10

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun