Aku duduk di pelataran dalam temaramnya remang lampu. Wajahku kuarahkan ke langit, yang sebenarnya langit itu indah penuh lukisan bergerombol bintang gemintang. Namun, aku tak tertarik. Kali ini yang terlintas adalah … akan lukisan, bahkan kenyataan. Layar lebar menampilkan kejadian berurutan, lambat laun merembes menghasilkan tetes-tetes kecil menuruni pipi-pipiku. Wajahku memang menatap langit yang bertebaran bintang-gemintang, tapi bukanlah bintang itu yang aku saksikan.
“Sudah berulang kali, berulang kali!” Jangan kau nikahi dia. Sampai kapanpun, Mak lebih bahagia jika kau tidak memilihnya. Mak tidak sudi mempunyai menantu semacam dia!
Mak yang pucat bertambah pucat dan keriput kemudian tertunduk.
“Bujangku, Mak memang tidak pernah bersekolah. Mak sudah tak punya Ayah, sudah pula tak mengenal Ibu sedari kecil.” Namun, Mak hanya ingin melihatmu bahagia.
“Tapi Mak?” Aku sudah teramat mencintainya.
“Mak ini, bahkan tak pernah tau kapan Mak ini lahir. Mak hanya tahu kalau Mak lahir sebelum lebat-lebatnya turun hujan.”
“Mak merasa cukup terhina melihat perlakuan Maknya Gendis itu”
“Kau, sang bungsu yang sangat Mak harapkan”
“Mak tak ingin kejadian kedua terulang lagi”
“Bujangku, pokoknya jauhi dia!, kau boleh cari wanita lain. Tapi jangan dia!
Entah kenapa, seperti tak kontras malam itu. Indahnya sajian langit, nuansa tenang alam, malah makin membuatku puas terbasahkan wajahku oleh rinai air mataku sendiri.