Adapun bagi brahmana-brahmana yang lemah pendiriannya, mereka memilih mencari jalan selamat dengan mengakui kedewaan sang raja. Mereka membenarkan segala tindak-tanduk sang raja. Ada pula yang memilih jalan selamat meski tidak terang-terangan. Mereka mengakui kedewaan raja, meski hati sanubari tidak berkenan.
Kediri di bawah Prabu Dandang Gendis menjadi tempat yang menyeramkan bagi para Brahmana. Para Brahmana yang lurus pendiriannya mengungsi ke tempat-tempat yang aman, jauh dari jangkauan tentara Kediri.
Saat raja memaksa rakyat untuk menyembahnya, kaum Brahmana di berbagai pelosok justru menyebarkan kesesatan rajanya. Salah satunya yakni moyang Ken Dedes yakni Mpu Purwanatha. Ia pindah dari Kediri ke Desa Panawijan wilayah Tumapel karena merasa terhina oleh Prabu Dandang Gendis. Semua wilayah Kediri adalah ancaman nyata bagi para Brahmana, kecuali Tumapel. Tumapel adalah satu-satunya wilayah di Kediri yang membangkang.
Setelah kematian penuh kontoversi Akuwu Tumapel Tunggul Ametung, pembangkangan Tumapel terhadap Kediri semakin nyata. Tumapel diambil alih oleh Ken Arok. Ken Arok sendiri awalnya adalah pengawal yang dipilih Tunggul Ametung. Tunggul Ametung tertarik dengan kehebatan ilmu kanuragannya. Selain itu Ken Arok sendiri adalah murid dari Pendeta Lohgawe. Seorang pendeta dari India yang amat dihormati.
Atas saran pendeta Lohgawe, Tunggul Ametung menjadikan Ken Arok menjadi pengawalnya.
Tumapel di bawah Ken Arok memilih untuk melepaskan diri dari Kediri. Ia menegaskan bahwa Tumapel adalah wilayah yang merdeka. Tumapel di bawah kekuasaanya menerima dengan tangan terbuka kepada seluruh pendeta yang ditindas oleh Prabu Dandang Gendis.
Para Brahmana mengungsi ke Tumapel
Para Brahmana dari berbagai pelosok Kediri berkumpul di Tumapel. Mereka meminta perlindungan kepada Ken Arok. Ken Arok menerima permintaan para Brahmana dengan senang hati. Dirinya berjanji akan menaklukan Kediri dan menghukum Prabu Dandang Gendis. Ia juga berjanji akan memuliakan para pemuka agama.
Namun untuk mengalahkan Kediri, bukanlah perkara yang mudah. Ken Arok meminta bantuan para Brahmana agar mengajak rakyat mendukung cita-citanya. Bagai gayung bersambut, kaum Brahmana menerima cita-cita itu. Dalam kitab Negarakertagama, kaum Brahmana memberikan gelar Bhatara Siwa kepada Ken Arok. Gelar yang diberikan kaum Brahmana kepada Ken Arok bukanlah tanpa maksud. Prabu Dandang Gendis sesumbar bahwa yang bisa mengalahkannya hanyalah Bhatara Siwa. Para Brahmana mengajak rakyat untuk bahu-membahu mewujudkan cita-cita Ken Arok.
Bagi Kediri, Ken Arok adalah duri dalam daging. Gelagatnya sebagai penguasa Tumapel tidak jauh berbeda dengan pendahulunya yakni TunggulAmetung.
Membangkang!. Pembangkangan itu terlihat dari keengganan Tumapel memberikan upeti kepada Kediri. Merampok setiap rombongan dagang yang melewati Tumapel. Ulah Akuwu Tumapel tersebut membuat geram Prabu Dandang Gendis.
Disisi lain Ken Arok jauh-jauh sebelumnya telah memanfaatkan psikologis rakyat yang benci kepada rajanya. Ia secara sabar membangun kekuatan rakyat. Kedatangan kaum Brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok dimanfaatkan dengan baik oleh Ken Arok. Simbiosis mutualisme antara rakyat, kaum Brahmana, adalah modal Ken Arok untuk perang melawan Kediri.
Hingga meletuslah peperangan demi peperangan antara Tumapel dan Kediri. Peperangan itu dimulai sejak tahun 1220 sampai tahun 1222 Masehi. Puncaknya terjadi pada tahun 1222 di Desa Ganter Kediri. Panglima andalan Kediri Mahisa Wulungan dan Gubar Baleman tewas terbunuh oleh pasukan Tumapel. Sedangkan rajanya melarikan diri mencari perlindungan di dalam sebuah candi.