Mohon tunggu...
anton
anton Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S2 Kajian Sejarah FISIP UNNES, Guru SMA

Suka diskusi dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Fir'aun Jawa" (Kisah Seteru Kaum Brahmana dengan Raja Kertajaya)

23 Januari 2023   18:08 Diperbarui: 29 Januari 2023   20:14 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pbs.twimg.com/media/EpHlhvlUcAEiSH0.jpg

Pada mulanya manusia terlahir dalam keadaan lemah tak berdaya. Ketika fisik dan akal tumbuh berkembang, ia merasa mampu menguasai segalanya. Dengan akalnya, satu persatu mimpinya terwujud. Tantangan demi tantangan mampu ia lewati. Secuil kekuatan pemberian Tuhan itu menjadikannya seolah-olah amat berdaya.

Dalam kondisi berdaya yang kian lama, ia lupa ketidakberdayaannya. Lupa asal-muasalnya dari setetes cairan yang hina. Bayi merah yang lahir ke dunia tanpa membawa apa-apa. Ia berjalan tegak, di muka bumi dengan kesombongannya. 

Dalam sejarah umat manusia, baik Timur maupun Barat, kekuasaan sering kali melenakan. Manusia beranggapan bahwa kekuasaan yang sedang digenggamnya akan abadi tak lekang oleh ruang dan waktu.

Kekuasaan kerap kali membutakan hati dan pikiran. Menjadikan hati tumpul akan nasehat. Pikiran menjadi liar tak terkendali. Kekuasaan membuat manusia berjalan semaunya sendiri. Melahirkan seribu alasan memaksa orang lain membenarkan segala tindak-tanduknya.

Adalah Sri Maharaja Kertajaya seorang Raja Kediri yang terakhir. Ia memerintah pada tahun 1194-1222 Masehi1. Sebagaimana raja-raja terdahulu, ia memiliki gelar sebagai perlambang kebesarannya. Gelar lengkapnya yakni Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa. Kemerlapan harta dan tahta membuatnya lupa daratan.

Beseteru dengan Bramana

Dalam Kitab Pararaton, Raja Kertajaya disebut dengan dengan nama Prabu Dandang Gendis. Pada masanya, Kerajan Kediri mengalami kemunduran. Salah satu sebabnya adalah Ia mengobarkan api perseteruan dengan para pemuka agama.
Prabu Dandang Gendis mengeluarkan kebijakan yang tidak biasa dari pendahulu- pendahulunya. Ia memerintahkan agar para Brahmana menyembahnya. Seluruh Brahmana yang ada di Kediri diundangnya.

Di hadapan para Brahmana, ia memamerkan kesaktiannya. Di atas tombak yang tertancap di tanah ia lompat dan duduk bersila tanpa luka sedikitpun. Sebuah upaya pembuktian agar semua yang melihatnya yakin bahwa dirinya layak disembah.
Para Brahmana tetap menolaknya. Mereka tidak sudi menyembahnya. Bagi mereka, yang pantas disembah adalah Sang Hyang Bhatara Guru. Lagi pula kasta Ksatria tidak lebih tinggi dari Brahmana. Sang Raja kembali menyakinkan bahwa dia adalah penjelmaan Sang Hyang Bhatara Guru.

Penolakan Brahmana atas pengakuannya sebagai dewa membuat Sang Raja Geram. Ia mengambil pedang yang berada di dekatnya, membunuh satu persatu para Brahmana.


Melihat ada bahaya maut di depan mata, para Brahmana lainnya berlarian meninggalkan Paseban. Mereka sekuat tenaga melarikan diri dari kejaran tentara Kediri. Prabu Dandang Gendis memerintahkan pasukan Kediri menyisir seluruh padepokan yang ada. Di bawah Komando Senopati Gubar Baleman dan Mahisa Wulung, penyisiran itu dilaksanakan. Mereka adalah adalah panglima Kediri yang amat disegani oleh raja. Bahkan mereka berada dalam lingkaran utama yang memberikan pandangan-pandangan dalam setiap kebijakan raja.

Tentara Kediri di bawah komandonya, melakukan penyisiran kepada seluruh padepokan yang ada. Mereka datang memaksa para Brahmana mengakui raja sebagai dewa. Para Brahmana dan pengkutnya diberikan pilihan yang amat berat. Jika mengakui, maka mereka akan selamat, tapi jika menolak, maka mereka akan dibunuh dan padepokan akan dibumi haguskan.

Dalam kondisi genting seperti ini tak heran sifat manusia akan nampak aslinya. Brahmana- brahmanayanglurusakanteguhpada pendirianya yakni menolak titah raja. Mereka tidak merasa takut meski jiwa-raga menjadi taruhannya.

Adapun bagi brahmana-brahmana yang lemah pendiriannya, mereka memilih mencari jalan selamat dengan mengakui kedewaan sang raja. Mereka membenarkan segala tindak-tanduk sang raja. Ada pula yang memilih jalan selamat meski tidak terang-terangan. Mereka mengakui kedewaan raja, meski hati sanubari tidak berkenan.

Kediri di bawah Prabu Dandang Gendis menjadi tempat yang menyeramkan bagi para Brahmana. Para Brahmana yang lurus pendiriannya mengungsi ke tempat-tempat yang aman, jauh dari jangkauan tentara Kediri.

Saat raja memaksa rakyat untuk menyembahnya, kaum Brahmana di berbagai pelosok justru menyebarkan kesesatan rajanya. Salah satunya yakni moyang Ken Dedes yakni Mpu Purwanatha. Ia pindah dari Kediri ke Desa Panawijan wilayah Tumapel karena merasa terhina oleh Prabu Dandang Gendis. Semua wilayah Kediri adalah ancaman nyata bagi para Brahmana, kecuali Tumapel. Tumapel adalah satu-satunya wilayah di Kediri yang membangkang.

Setelah kematian penuh kontoversi Akuwu Tumapel Tunggul Ametung, pembangkangan Tumapel terhadap Kediri semakin nyata. Tumapel diambil alih oleh Ken Arok. Ken Arok sendiri awalnya adalah pengawal yang dipilih Tunggul Ametung. Tunggul Ametung tertarik dengan kehebatan ilmu kanuragannya. Selain itu Ken Arok sendiri adalah murid dari Pendeta Lohgawe. Seorang pendeta dari India yang amat dihormati.

Atas saran pendeta Lohgawe, Tunggul Ametung menjadikan Ken Arok menjadi pengawalnya.
Tumapel di bawah Ken Arok memilih untuk melepaskan diri dari Kediri. Ia menegaskan bahwa Tumapel adalah wilayah yang merdeka. Tumapel di bawah kekuasaanya menerima dengan tangan terbuka kepada seluruh pendeta yang ditindas oleh Prabu Dandang Gendis.

Para Brahmana mengungsi ke Tumapel
Para Brahmana dari berbagai pelosok Kediri berkumpul di Tumapel. Mereka meminta perlindungan kepada Ken Arok. Ken Arok menerima permintaan para Brahmana dengan senang hati. Dirinya berjanji akan menaklukan Kediri dan menghukum Prabu Dandang Gendis. Ia juga berjanji akan memuliakan para pemuka agama.


Namun untuk mengalahkan Kediri, bukanlah perkara yang mudah. Ken Arok meminta bantuan para Brahmana agar mengajak rakyat mendukung cita-citanya. Bagai gayung bersambut, kaum Brahmana menerima cita-cita itu. Dalam kitab Negarakertagama, kaum Brahmana memberikan gelar Bhatara Siwa kepada Ken Arok. Gelar yang diberikan kaum Brahmana kepada Ken Arok bukanlah tanpa maksud. Prabu Dandang Gendis sesumbar bahwa yang bisa mengalahkannya hanyalah Bhatara Siwa. Para Brahmana mengajak rakyat untuk bahu-membahu mewujudkan cita-cita Ken Arok.

Bagi Kediri, Ken Arok adalah duri dalam daging. Gelagatnya sebagai penguasa Tumapel tidak jauh berbeda dengan pendahulunya yakni TunggulAmetung.

Membangkang!. Pembangkangan itu terlihat dari keengganan Tumapel memberikan upeti kepada Kediri. Merampok setiap rombongan dagang yang melewati Tumapel. Ulah Akuwu Tumapel tersebut membuat geram Prabu Dandang Gendis.

Disisi lain Ken Arok jauh-jauh sebelumnya telah memanfaatkan psikologis rakyat yang benci kepada rajanya. Ia secara sabar membangun kekuatan rakyat. Kedatangan kaum Brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok dimanfaatkan dengan baik oleh Ken Arok. Simbiosis mutualisme antara rakyat, kaum Brahmana, adalah modal Ken Arok untuk perang melawan Kediri.

Hingga meletuslah peperangan demi peperangan antara Tumapel dan Kediri. Peperangan itu dimulai sejak tahun 1220 sampai tahun 1222 Masehi. Puncaknya terjadi pada tahun 1222 di Desa Ganter Kediri. Panglima andalan Kediri Mahisa Wulungan dan Gubar Baleman tewas terbunuh oleh pasukan Tumapel. Sedangkan rajanya melarikan diri mencari perlindungan di dalam sebuah candi.

Setelah Ken Arok berhasil mengalahkan Kediri, Ia mengubah nama Kediri menjadi Singasari. Ia memerintah sebagai raja pertama dengan gelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwhabhumi. Sejak tahun 1222 Kediri berubah menjadi bawahan Singasari.

Tidak serta-merta membumi hanguskan Kediri dengan membunuh seluruh keturunan Kertajaya, Ken Arok memberikan ampunan kepada putra Prabu Sri Kertajaya. Putanya Jayasabha diangkat Ken arok sebagai bupati Kediri.

Demikianlah akhir dari laku penguasa yang melampaui batas. Kekuasaan sering kali membuat manusia terbuai. Demi sebuah ambisi, manusia bisa melakukan apa saja, menghalalkan segala cara. Membenarkan segala tindak-tanduknya.

Manusia semacam itu tidak membutuhkan nasehat. Yang dibutuhkannya adalah pembenaran. Hatinya tertutup dari kebenaran. Manusia yang tidak menaru hormat kepada pemuka agama dan rakyatnya.

Bagitulah kekuasaan, karenanya manusia mewaspadainya. Menggunakan kekuasaan yang ada ditangannya demi kebaikan sesama. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari kisah ini, sehingga bisa mngantisipasi terjerumus ke lubang yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun