Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Upgrade Kurikulum dan Visi Pandemik!

27 Agustus 2020   06:53 Diperbarui: 27 Agustus 2020   06:50 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

UPGRADE KURIKULUM DAN VISI PANDEMIK

Entah sumber KBBI penulis yang kelas "kacangan" atau karena kurang kepo-nya penulis, yang jelas penulis cukup kelimpungan dengan terjemahan kata upgrade ini ke dalam bahasa Indonesia. 

Semoga pembaca maklum bila kemudian kata upgrade tetap penulis pertahankan dalam artikel ini. Makna inti dari kata "upgrade", sepenangkapan penulis, adalah peningkatan kelas ke kelas yang lebih disempurnakan karena daya dorong kemajuan yang ingin menyerasikan gerak langkah pada sektor-sektor lain dalam lingkungan yang senantiasa dinamis.

Dengan demikian, menurut hemat penulis, ada dua kata kunci dari pilihan atau keputusan terkait upgrade, yakni kecanggihan dan keserasian gerak.

Dalam kondisi pandemik covid ini, pada saat semua bidang kehidupan terpaksa menutup atau membatasi kerapatan fisik, ada satu hal yang menarik minat penulis, yaitu naluri untuk tetap bersaling-hubungan dengan rupa cara yang bagaimanapun. 

Upaya untuk tetap "interconnected" yang tahan-banting ini jadi menarik perhatian, karena dapat kita jadikan modal atau patok atau tameng alat tempur. 

Naluri interconnected ini merupakan salah satu aspek utama dari "human nature" yang harus kita perhitungkan dalam rencana lompatan atau "bajakan" terkait revolusi pandemik (meskipun sejatinya pandemik ini hanyalah faktor pemicu arus perubahan cepat yang sudah berjalan jauh lebih dahulu).

Bertolak dari patok naluri interconnected ini, kita mulai mempertanyakan sterilitas kehidupan dunia akademik yang selama ini masih kita pegang "keukeuh" sebagai bagian dari budaya akademik. 

Platform budaya sterilitas ini mulai kita ragukan efektivitasnya, manakala gaya hidup informasi digital yang berpatok pada platform interconnected mulai merambah dan mendominasi nyaris semua sektor kehidupan. Siapa yang berkuasa, dan siapa yang diakui dan dipatuhi kebenarannya mulai bergeser dari patok perspektif tunggal ke patok perspektif ganda yang lintas disiplin dan lintas koneksi. 

Bahkan, bila proyeksi ini kian kita regangkan jauh ke depan, sampai batas ketika udara kehidupan mulai tercemar dan jadi ancaman, bisa jadi sterilitas rumah sakit atau fasilitas kesehatan pun mulai menghadapi era keusangan. 

Seberapa bersih dan sterilnya lingkungan, bila udara yang jadi momok-nya maka hanya ada satu cara survivalitas, yakni kemampuan dan kemauan untuk bermain dengan piranti oksigen. 

Bila sudah sampai pada taraf ini, maka apakah daya kenyal naluri interconnected kita semakin dibatasi atau kian tertantang dan termunikan? Yang jelas keseluruhan kuasa manusiawi kita mulai berkurang secara drastis, kesetaraan jender mencuat dan berkibar (orang mulai berpikir sepuluh kali lipat untuk memperalat orang lain, karena hidupnya sendiri sudah diujung tanduk), nilai-nilai keseksian berubah total (mana ada filem porno dengan piranti oksigen? 

Pornografi yang pake masker pun sudah banyak mereduksi erotisme), mungkin nafas-nafas hasrat libido hanya kita peroleh di dalam ruang berfasilitas oksigen; mungkin ketelanjangan yang selama ini masih kita tabukan, sudah jadi usang dan orang tidak lagi heran dengan nudis bermasker oksigen (nilai estetis busana bergeser atau digeser ke nilai fungsionalitas atau estetisnya piranti oksigen; mungkin karena libido selalu bergandengan tangan dengan faktor pemicu kesekaratan yaitu masker oksigen itu sendiri). Dan seterusnya, kok penulis malah ngelantur?!

Kembali ke masalah upgrade yang mencakup arti kecanggihan dan keserasian langkah; maka dengan kondisi yang mulai menonjolkan aspek interconnectedness ini kita mulai pula harus mempertanyakan, misalnya, nilai-nilai dasar demokrasi; seperti, apakah di era yang sudah multi platform dan serba terkoneksi ini nilai-nilai demokrasi tidak mengalami pergeseran? 

Masih relevankah apa yang selama ini kita kenal dengan gerakan moral? Bila tetap bersikukuh pada eksistensi gerakan moral, pertanyaannya, mengapa tidak melalui platform yang sudah tersedia luas dan beragam, misal, platform agama, platform parpol, platform media massa daring atau luribg. 

Moral macam apakah yang belum tercakup dalam platform yang ada? Atau karena alasan internal "perverse" yang selalu tidak mengalami keserasian dengan semua platform tersedia? Itulah pertanyaannya, jadi bukan masalah bebas atau tidaknya mengemukakan pendapat, melainkan masalah relevansi gerakan moral itu sendiri. 

Aneh sekali, justru di saat pandemik yang amat kritis, dan di era serba terkoneksi ini, tanpa protes dan tawaran alternatif, tiba-tiba berteriak "cerai dan selamatkan! Atau tunggu waktunya...??"

Itu contoh yang menyangkut demokrasi, contoh lain, adalah fakta bahwa interkoneksi ke semua sektor yang kian mendesak karena pandemik juga mengimplikasikan kian dekat atau rentannya kita dengan yang namanya keterancaman, keterancaman dari segala bidang, dari yang ideologis hingga ke yang fisik. 

Interkoneksi ini juga mulai membuka mata kita pada realitas pengaruh kekuatan aktor-aktor di kancah global dan posisi kekuatan dan kelemahan kita yang harus mulai disadari oleh semua anak bangsa. 

Semua fenomena ini mengantarkan kita pada pemahaman organik yang tidak hanya berpatok pada satu atau dua prinsip dasar, melainkan pada segenap keterkaitan yang terjelma dari banyak prinsip dasar, dan semua prinsip dasar ini bersifat fatal atau mematikan.

Dulu, di jaman jadul kita cukup puas dengan penjelasan metafisik atau relijius; lalu berkembang mulai menuntut penjelasan yang fenomenologis, yang muncul di kesadaran saja; lalu berkembang lagi mulai menuntut penjelasan yang hanya dapat disistematisasi atau terstruktur; lalu berkembang lagi, dan mulai menuntut penjelasan yang mencakup segala hal di luar pakem ideologi dan struktur, inilah era teknologi informasi atau era serba keterkaitan. 

Diharapkan, pada era serba berkaitan ini tidak ada lagi institusi yang berlindung di balik dinding ideologi sterilisasi. Semua institusi harus saling terbuka dan saling bekerjasama, tidak terkecuali institusi pendidikan dan militer.

Terkait kurikulum pendidikan, penulis hanya ingin meneropong celah yang masih dapat disederhanakan dan lebih diamankan melalui iklim interkoneksi. Pertanyaan kritisnya adalah, apakah satuan mata pendidikan tidak dapat diberi penilaian akhir dalam bentuk rumpun mata pendidikan? 

Dengan adanya rumpun mata pendidikan ini, penulis berharap akan terjalin kerjasama antar pendidik dan pembelajar dalam satu rumpun mata pelajaran atau pendidikan. 

Misalnya, rumpun mata pelajaran ilmu sosial, seperti mata pelajaran sejarah, budaya, sosiologi, kewarganegaraan (politik), agama (filsafat?) cukup diwakili dengan satu nilai saja.

 Rumpun mata pendidikan ini pun akan mereduksi kecenderungan totaliter dalam diri masing-masing pengajar karena mereka harus bekerja sama dan saling terkoneksi dengan pengajar lain yang serumpun, setidaknya dalam kasus dimana nilai siswa terletak di luar nilai norma kelasnya, bila nilai siswa masih dalam ranah norma kelas, masing-masing pengajar cukup memberikan nilai versi masing-masing kemudian di reratakan. 

Namun bila nilai siswa ada di bawah atau di atas norma kelas, maka guru serumpun wajib membahas dan memberi keputusan berdasarkan pertimbangan akhir dari para guru serumpun. 

Mungkin saja siswa yang lemah di mata pelajaran sejarah akan terbantu dengan mata pelajaran agama yang paling diminati, begitupun sebaliknya. Dengan demikian, resiko munculnya gelar guru killer semakin dapat dihindari, dan pendekatan rumpun ini akan kian positif bila didasarkan pada patok rumpun kecerdasan jamak.

Dengan kian eratnya keterkoneksian di antara guru (dan siswa) serumpun, selain akan menyederhanakan jumlah nilai rapor, juga akan mengurangi rijiditas pola pikir si pengajar serta pembelajar. 

Mereka (siswa) dapat memilih bab tertentu dalam pelajaran tertentu yang diminati dan terpantau pula oleh si pengajar melalui keterkoneksian dengan guru lain serumpun. Misalnya, siswa yang berminat besar pada bab terkait relasi sosial dapat dipantau tidak hanya dari satu mata pelajaran, melainkan dari beberapa mata pelajaran serumpun.

Demikianlah sekelumit pemikiran santai dari penulis, terima-kasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun