Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Derrida dan Indonesia: "Wonderful!"

20 Agustus 2020   06:47 Diperbarui: 20 Agustus 2020   06:47 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan prosesi penalaran di atas, Derrida juga mengubah patok dasar ucapan (yang muwakili budaya mitos) ke tulisan. Pada awalnya karya tulisan dianggap lebih rendah dari ucapan karena karya tulisan tidak dapat langsung menanggapi atau menjawab setiap tanggapan, tulisan juga melemahkan memori alami karena manusia beralih ke daya eksternal pengingat dan jadi pelupa, karya tulisan juga dapat meracuni generasi penerus karena mengandung kecenderungan untuk lebih menonjolkan aspek permukaan atau tampilan alih-alih realitas yang terkandung di dalamnya. 

Mereka akan jauh lebih cepat menerima secara berlimpah dan segera dari yang diajarkan ; mereka akan tampak sebagai orang yang  berpengetahuan meskipun sebenarnya "dangkal"; dan generasi seperti ini akan sukar dididik - mereka terlanjur mewarisi kepalsuan yang menjadi kulit permukaan kebijakan atau kebajikan alih-alih menjadi sungguh bijak atau bajik (kok terdengar aneh ya? bajik). 

Seperti potongan gambar foto atau lukisan, tulisan itu tak dapat menjawab si penanggap dan tersebarnya relatif lebih cepat di antara orang yang benar memahami juga di antara orang yang tidak punya urusan dengan tulisan atau gambar tersebut. Karena itu lah media gambar atau tulisan membutuhkan pendamping, sosok dewasa yang lebih matang.

Lalu bagaimana cara Derrida membalikkan keadaan kebijakan dari yang menonjolkan  keunggulan bicara kepada penonjolan karya tulisan? Bahkan setelah kita mafhum bahwa : "Writing is a poison". Writing adalah UDS yang mengacaukan semua oposisi, tulisan melampaui baik dan buruk, melampaui  sifat menyembuhkan atau mencederai.Tulisan bukan sekedar menybuhkan atau bukan sekedar meracuni. 

Meskipun tulisan merupakan ingatan eksternal, tapi ia berperan sebagai pelengkap (supplement) dan karakter tulisan akan menghuni interior ingatan. Karya tulis menyangkal untuk tetap tinggal diam dalam status sebagai  " tampilan" dari pengetahuan sejati. Bahkan Plato mengakui pentingnya tulisan sebagai pengetahuan sejati dan supplement ingatan yang akan memenuhi interior memory.

Beliau, Plato, berujar:"Hanya omongan (speech) yang bernilai dan layak untuk diperhatikan yang akan masuk kepikiran dan layak untuk diajarkan, omongan atau ucapan seperti inilah yang akan tertulis tebal dalam jiwa."

Tulisan sebagai supplemen ucapan, sebanding dengan pangeran sebagai supplemen untuk raja. Supplemen adalah pelengkap, dan ucapan atau raja tak akan pernah utuh tanpa suplemen tulisan dan pangeran. Supplemen tulisan dan pangeran adalah pengganti ucapan atau raja dalam bentuk lain, karena tulisan dan pangeran senantiasa akan meluas atau mengembangkan dirinya dan tak nyaman dengan tetap tinggal diam sebagai faktor eksternal.

Lalu apa makna semua yang beraroma Derrida dengan Indonesia kekinian? Indonesia, bagi penulis tidak kalah kompleks, rumit dan kontroversial sekaligus indah bahkan "wonderful" dari sang maestro keunikan Derrida. 

Fenomena Indonesia yang kaya ragam sumberdaya ini menuntut kelapangan dan kebesaran jiwa yang lebih besar dari para guru besar universiras Cambridge;  dan tuntutan kebesaran dan kelapangan jiwa tersebut terutama terjelma dalam bentuk sikap keterbukaan pada segala hal yang potensial dan asing,  meskipun yang potensial dan asing itu sangat kontroversial dan bersifat menyangkal aturan adat kebiasaan. 

Contoh lebih praktis, kita dapat membayangkan, apa bakal jadinya negeri yang kaya ragam sumberdaya ini bila dipenuhi oleh para elit yang tidak mau atau enggan berpikir kritis dan dalam, sebagai syarat keterbukaan sikap juga  kelapangan dada? 

Bagaimana nasib bangsa besar kita yang beragam beda, dan sedang sakit pandemik ini, bila para elitnya hanya senang membesar-besarkan persoalan permukaan yang populis tanpa mau memperhitungkan (apalagi memikirkan) konteks keseluruhan yang lebih luas dan menyangkal entitas permasalahan yang bersifat laksana zombie? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun