Sedemikian kontroversialnya status dekonstruksi, sehingga ada yang mencercanya sebagai nihilisme yang kaya pernak-pernik politis, ada juga yang menyebut sebagai pilihan dan pembedaan atau peragaman radikal dari filsafat, dan ironisnya tak satu pun upaya pendefinisian tersebut  yang memuaskan.Â
Namun, setiap kontroversi yang ditimbulkannya, pada akhirnya, berhasil mengungkapkan sesuatu yang layak  dipertaruhkan dalam filsafat kontemporer. Ragam cara untuk memberi cap atau stempel atau bahkan kritikan pada upaya kontroversialnya itu (dekonstruksionisme) antara lain:
- Cara baru berfilsafat; cara membaca teks teoritis tidak sebagaimana yang terpikirkan; piranti positif untuk memunculkan persoalan pada cara terbaru teori sastra; balas-dendam sastra pada filsafat; tanggapan traumatik pada setiap kepastian filsafat, resistensi (penentangan) pada pertanyaan yang diawali dengan "What is...?", bahaya neo-Heideggerianisme, repetisi (pengulang-ulangan) tema-tema tak berujung (mentok) dalam idealisme Jerman, kuasi transendentalisme, tanggapan etis terhadap komplasensi (kepuasan diri) yang mendasarkan diri pada segala yang bercirikan konsep, "hermeticism" Â (kecenderungan asketisme?) yang "sembrono" dan karenanya kurang diperlukan; Â sesat era "jadul" terhadap skeptis-isme dan irasionalisme; pembantaian berkesinambungan pada tradisi filsafat Barat.
Kritik Derrida untuk filsafat bukanlah kritik standar (baku) karena nyaris tidak bersentuhan dengan terma-terma pada umumnya. Derrida tidak berpatok pada posisi yang "fixed" (mungkin istilah sundanya, "keukeuh" atau tetapan) di antara ragam tradisi yang saling bersaing adu pengaruh. Ia tidak sekedar "mendukung" atau "menolak" Â salah satu atau dua dari banyak tradisi tersebut.Â
Celakanya pula, ia tidak mengajukan teori, konsep, metoda atau proyek lintas batas hasil karya pribadinya; karena tulisan beliau nyaris tidak mungkin untuk diringkas; jelasnya, tidak ada konsep atau metoda "dasar" yang dapat digunakan sebagai pembatas dan penjelas ajarannya, namun serentak , secara singkat, Â selalu menyinggung pemikiran ala Barat dengan strategi yang juga nyaris "kusut".Â
Pendekatannya melawan prosedur - yang biasanya diawali dengan permulaan atau awalan, Â paparan eksposisi (penguraian), memajukan proposisi, dan berlanjut ke simpulan, dst.Â
Benar apa yang dituduhkan oleh sebagian besar guru (besar) di Cambridge yang menunjukkan keberatan, Â bahwa tulisan beliau rumit dan sukar serta mendekati subversif. Tulisannya sangat ketat dan logis, tapi dari tatanan yang juga sangat asing. Adakah salah satu cara untuk dapat memulai atau cara yang berperan sebagai titik-tolak pembacaan hasil karya tulisnya?
Ada cerita menarik, terkait keberatan para guru besar di Cambridge ketika harus menentukan Derrida sebagai sosok yang layak untuk menerima gelar kehormatan dari universitas besar itu (21Maret 1992); meskipun pada akhirnya diputuskan beliau-lah si jenius yang terlayak.Â
Namun prosesnya penuh liku pertentangan, karena terutama alasan bahwa pendukung Derrida kebanyakan dari kalangan sastrawan, sedangkan beliau sendiri berlatar-belakang pendidikan filsafat. Cilakanya lagi, kebanyakan tokoh filsafat menolak atau keberatan dengan kritik filsafatnya yang terlampau cemerlang sekaligus asing.Â
Singkatnya, gegeran dan konflik di seputar pra anugerah gelar kebesaran itu, universitas Cambridge bisa dibilang terbelah! Bahkan, hasil akhir penganugerahan itu pun masih diberi semacam "embel-embel" atau memo bahwa beliau satu-satunya penerima anugerah kebesaran dengan catatan atau peringatan pada kontribusinya yang tidak kalah besar.Â
Jadi, kebesaran kontribusinya bergandengan tangan dengan peringatan besar akan bahaya sampingannya:"...To use mystification as a defensive weapon or as a cheap way of appearing "deep" is still bad form. For all the intellectual brilliance of Derrida and others, their intellectual style corrupts and evidence of its corruption is to be seen in Anglo-Saxon academic life where post-structuralism and postmodernism have taken root. (Prof.R.A.Sharpe ., Dept of Philosophy University of Wales)