Kalau judul cerita yang tertulis di atas juga menjadi pertanyaan teman-teman maka kita sama. Pertanyaan itu sudah ada di kepala saya sejak proses pendaftaran hingga diterima kerja bahkan sampai sekarang. Ini benar-benar mewakili kebingungan saya, hal-hal seperti "mata kuliah apa yang bisa saya ampuh, apakah nanti saya mampu dan tidak kesulitan, dan memangnya ada kaitan antara permainan bola besar dan sistem pencernaan?"
Tercatat sejak Maret 2021 hingga Juli 2024 menjadi guru penjas di SMP Negeri 1 Lewolema Kabupaten Flores Timur dan kini menjadi dosen pada Program Studi (Prodi) Pendidikan Biologi Universitas Timor (Unimor) Kabupaten Timor Tengah (TTU) adalah perjalanan karir yang cukup unik buat saya pribadi. Seharusnya karena sudah di tingkat menengah pertama/SMP maka ke Sekolah Menengah Atas (SMA) dulu sebelum ke Perguruan Tinggi. Biar urutannya sesuai. Bukan begitu juga yah.
Saya mengiktui tes cpns Kemdikbud tahun 2023 untuk formasi dosen dan memang formasi yang terpilih sesuai latar belakang pendidikan. Formasi sesuai ijasah, S2 Pendidikan Jasmani penempatan di Prodi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unimor.
Sepertinya memang dua "iklim" yang berbeda. Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Biologi. Bagaimana rasanya, apakah memang benar ada hubungan permainan bola besar dan sistem pencernaan sehingga butuh tenaga pengajar lulusan pendidikan jasmani? Tapi ini urusan kampus ya, pasti ada perencanaan yang lebih jauh ke depan. saya mau cerita saja bagaimana perbedaan yang saya rasakan antara pekerjaan dulu dan sekarang.
Setelah menjadi dosen membuat saya merasa menjadi lebih tua. Bukan beban kerja yang berat, tetapi karena belum terbiasa disapa dengan sebutan "bapa". Aneh saja rasanya. Apalagi kalau disapa "bapa dosen". Dulu bocah-bocah cilik di SMP dengan santai panggil saja "Pak, Pak eh," sekarang "bapa".
Begitu juga ketika mendapat pesan whatsapp (wa) dari siswa dan mahasiswa juga berbeda. Anak -- anak SMP dulu biasanya kalau wa pesannya kira kira seperti ini "Mlm pa, besok senam kah" Sesederhana itu. Kalau mahasiswa topiknya lebih berat. Paling sering masuk di wa seperti ini
"Selamat siang bapa dosen. Mohon maaf menganggu waktunya saya atas nama Bartolomeus Laurensius Miten, NPM 329078XX hari ini tidak sempat mengikuti kuliah karena sakit (Bisul). Terima kasih bapa"
Pesan dengan kalimat yang sama tapi identitas berbeda biasanya muncul 30 menit sebelum perkuliahan.
Suasana pembelajaran di kelas tentu berbeda, dulu biasanya anak -- anak lebih aktif dan nakal, lompat sana sini, ganggu temanya, belum lagi masa puber yang membuat mereka banyak menarik perhatian dengan tingkah yang aneh -- aneh. Sekarang suasana di kelas lebih tenang, kalem. Bahkan kalau kita salah kelolah kelas, bisa langsung bermeditasi di tengah kuliah, saking senyapnya.
Mata pelajarannya ternyata beda. Tidak ada memang hubungan bola besar dan pencernaan. Kalau dulu satu orang guru tanggung jawab satu mata pelajaran, sekarang dominan kita mengajar tim, satu mata kuliah dua dosen. Masuk kelasnya bergantian. Masing-masing bertanggung jawab delapan pertemuan. Saya mendapat jatah matakuliah lebih umum pada bidang pendidikan, karena kalau ke arah biologi tentunya sangat sulit bagi kita yang hobi lari, lompat, lempar. Bisa-bisa mahasiswanya ikut tersesat karena kita salah ngajar.
Bagian yang paling nikmat menjadi dosen adalah waktu kerja yang lebih fleksibel. Selamat tinggal tugas piket masuk 06.30 tiap pagi. Biasanya kalau sedang tidak mengajar atau sedang tidak ada tugas yang lain maka minimal jarak absen cek in dan cek out di kampus adalah 4 jam. Waktu perkuliahan dari jam 07.00 pagi hingga 20.00 malam.
Waktu kerja fleksibel ternyata punya dampak buruk. Niat saya adalah bangun pagi lalu sepedaan satu jam, atau jalan pagi. Namun ternyata begitu sulitnya wujudkan itu. Niat keren, praktek zonk. Karena tidak ada tuntutan bangun pagi, malah jadi malas bangun pagi, jadi kurang produktif.
Apa sulitnya menjadi dosen? Ternyata banyak juga tuntutan administrasi dosen. Penelitian yang dulu menjadi hal yang terasa berat ketika kita menjadi mahasiswa ternyata itu adalah kewajiban dalam pekerjaan ini. Adalagi kewajiban pengabdian sesuai tuntutan Tri dharma perguruan tinggi.
Kami yang masih baru terlihat masih bingung harus memulai dari mana, namun terlihat pada bapak ibu yang sudah lebih dari 3 tahun di sini sepertinya santai-santai saja menjalani semua tuntutan itu. Asyk dan menikmati. Mungkin sudah menemukan pola yang sesuai.
Kira -- kira begitu, pengalaman receh yang bisa saya bagikan, dari pengalaman yang unik bagi saya. Semoga ada inspirasi tipis-tipis dari cerita ini. Tapi sepertinya tidak ada yah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI