Mohon tunggu...
Anto Medan
Anto Medan Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Ayuk.......

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mantan Mendag vs Mendag; Lokal vs Impor

16 November 2015   12:01 Diperbarui: 16 November 2015   22:43 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - bongkar muat peti kemas di pelabuhan (KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN)

Betapa bangganya hidup di negara yang kuat dan berdaulat. Rakyat adil dan makmur, penuh kebahagiaan.

Pada pagi hari yang mendung dan diisi dengan hujan rintik-rintik ini, agak mengusik membaca tentang mantan Mendag Gobel. Beliau protes atas dilonggarkannya peraturan impor, menurut beliau proses impor itu harus dibuat tidak mudah. Proses impor harus diperketat bukan dipermudah, begitulah pendapat beliau.

Beberapa minggu lalu, ada juga kabar kalau asosiasi pengusaha lokal menghadap ke menteri Perdagangan, mengadu tentang permendag yang telah dikeluarkan. Mereka komplain, kalau usaha mereka akan terganggu dengan dikeluarkannya permendag-permendag terbaru.

Tentu saja, kita bingung, sebentar pemerintah mengeluarkan kemudahan untuk proses impor, sebentar lagi mau direvisi (isunya). Saya sarankan kepada pemerintah, untuk semua kebingungan ini, kita kembalikan ke kepentingan paling besar, yaitu rakyat dan UUD 45. Itu saja yang menjadi prioritas pertimbangan. Jangan gara-gara ada yang complain, lalu diakomodir.

Dalam pembukaan UUD 45, tertulis di alinea kedua: "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

Dan dalam alinea keempat adalah meliputi prinsip-prinsip pokok kenegaraan, yaitu :
“.., untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah negara Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.

Maka kita lihat bahwa fungsi pemerintah adalah membawa rakyat Indonesia menjadi merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Dalam hal pembahasan ini, tentu lebih tepat kalau kita sederhanakan kalimat, yaitu pemerintah wajib melindungi rakyat serta menciptakan keadilan dan kemakmuran serta memajukan kesejahteraan umum.

Berkaitan dengan pembahasan kita mengenai produk impor atau produk lokal, maka yang terpenting kita lihat adalah dalam mencapai negara yang berdaulat, maka ada yang disebut produk strategis, yaitu:

  1. Bahan makanan pokok. Beras, gula, jagung, tepung terigu, minyak goreng, daging (sapi, ayam, ikan), susu, telur dan air bersih.
  2. Bahan pembangunan fisik. Semen, Besi dan logam dasar non besi utama (Aluminium, tembaga, timbal, nikel, timah dan seng). Untuk pembangungan, kebutuhan besi dan Logam dasar non besi adalah hal yang sangat penting. Inilah yang menjadi struktur utama dari semua jenis pembangungan infrastruktur, mesin industri dan non industri, serta teknologi.
  3. Sumber energi, minyak bumi dan gas, serta energi alternatif lainnya dalam keadaan siap dipakai.

Secara idealnya, apabila ketiga kategori produk di atas dapat diproduksi secara mencukupi, maka kita bisa disebut negara yang kuat dan bisa saja hidup menyendiri tanpa ketergantungan pada negara lain. Tetapi, tidak ada negara di dunia yang bisa hidup tanpa ketergantungan dengan negara lain. Maka, secara logika, pemerintah wajib menguatkan segala jenis usaha domestik yang dapat membantu negara mengurangi impor dari produk-produk di atas. Dan apabila belum mencukupi produksi nasional, maka harus impor demi kebutuhan domestik, pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan hidup sebagai bangsa.

Untuk kategori 1, pemerintah tidak boleh lagi dibatasi dengan peraturan masa lalu, tentang pertanian tradisional, tetapi biarkan terjadinya modernisasi pertanian. Jangan takut ekses negatif, tetapi difasilitasi supaya petani-petani kecil bisa menjadi besar. Juga dibangun industri-industri agrobisnis. Supaya kelebihan pasokan panen dapat ditampung di industri-industri pengolahan pangan. Kebijakan Presiden Jokowi untuk membuka lahan baru dan membangun bendungan adalah kebijakan yang luar biasa baik. Mudah-mudahan berhasil.

Untuk kategori 2, kita perlu belajar dari RRT. RRT ketika mulai membuka tirai bambu, mereka mempersilakan rakyatnya membuka tambang dan pemerintah membantu teknologi pemrosesan bahan tambang. Di Indonesia, usaha tambang sempat mengalami booming pada periode 2007 sd 2012, tetapi sesudahnya mengalami mati suri. Kebijakan pemerintah dengan dikeluarkannya UU minerba, bertujuan baik, tetapi membunuh usaha-usaha kecil pertambangan. Akibatnya, tetap tidak ada solusi untuk kemandirian dalam besi dan logam dasar non besi.

Untuk kategori 3, pemerintah mencanangkan 35.000 MW. Yang perlu diperhatikan adalah kemudahan perizinan. Apabila ada tempat yang memang tidak boleh dibangun bendungan atau apa pun, maka informasi harus diberikan seawal mungkin. Permudah masuknya segala keperluan pembangkit listrik dan pembangunan infrastukturnya.

Masalah timbul ketika produk-produk dalam kategori 1 dan 2, belum dapat dipenuhi secara mandiri, maka mau tidak mau kita harus melakukan importasi. Maka produk-produk ini perlu selalu diawasi oleh BPS, supaya pemerintah mendapatkan data yang akurat. Sambil diusahakan pembangunan infrastuktur yang dapat meningkatkan produk-produk dalam dua kategori tersebut.

Dengan mengurangi ketergantungan impor atas produk-produk di atas itu, maka kita bisa disebut negara yang mulai berdaulat.

Dengan keahlian dalam industri hilir dari produk-produk di atas, kita dapat disebut negara yang cukup berdaulat.

Dalam hal adil dan makmur, maka yang perlu diperhatikan adalah berapa harga produk itu ketika akan dibeli oleh rakyat? Kita memang tidak menginginkan industri nasional kolaps. Tetapi, sungguh tidak adil, ketika rakyat Malaysia dapat membeli gula setara dengan Rp.9000,- sedangkan kita harus membeli Rp. 11.000,- per kg nya. Adalah hal yang paling ideal, apabila kita memproduksi gula sendiri dengan modal dasar Rp. 6.000,- dan menjualnya dengan harga Rp.9000,-. Tetapi, kenapa harga gula kita sampai Rp.11.000,- per kg?

Apakah ada swasta yang tertarik membuka perkebunan tebu dan industri gula? Atau, secara ekstrimnya, apakah PTPN yang menanam tebu dan memproduksi gula dijual atau dikontrakkan saja ke swasta yang lebih mumpuni? Dari tahun ke tahun, masalah gula ini tidak pernah selesai. Maka, karena sudah kronis, maka sebaiknya dilakukan lelang atau kontrak ke swasta saja, daripada kita harus terus menerus impor? Perlu tindakan ektrim menyelesaikan  masalah kronis seperti ini.

Keadilan baru akan terjadi, ketika kita, rakyat Indonesia, dapat menikmati kekayaan kita secara bersama-sama, yaitu dengan pengelolaan negara yang baik. Itu selain BPJS dan program lainnya, juga menyangkut hal tata niaga, baik produk strategis maupun non strategis.

Kemakmuran baru akan terjadi, ketika orang yang mau jujur dan bekerja keras, diberikan kesempatan sebesar-besarnya. Maka, orang tidak lagi perlu berkongkalikong dengan oknum pejabat untuk dapat bekerja tanpa masalah. Mungkin perlu juga diperjelas dalam UU KPK dan Tipikor, pihak yang diperas dan pihak yang memberikan gratifikasi. Banyak pengusaha yang terpaksa memberi demi kelancaran usahanya.

Kunci dari kebijakan Mendag, harusnya, selain mempertimbangkan industri nasional, juga melihat data yang sebenar-benarnya. Terkadang, angka-angka diangkat bombastis sehingga seakan-akan industri lokal pasti akan kolaps kalau keran impor dibuka. Faktanya, apabila produk lokal mahal dan bukan merupakan produksi strategis, maka sebaiknya importasi tidak dibatasi. Dengan memaksa rakyat membeli produk lokal dengan harga mahal, juga akan mengurangi daya saing kita di dunia perdagangan internasional. Selain itu, juga memboroskan GDP.

Lalu untuk produk-produk yang tidak termasuk dalam kategori di atas, apa yang harus dilakukan? Menurut pendapat saya, apabila ada industri tertentu yang memproduksi produk tertentu, dalam jumlah yang banyak, maka boleh saja dibatasi impornya oleh pemerintah, demi kepentingan orang banyak. Tetapi, itu bukan berarti mempersulit impornya. Umpamanya, untuk industri tekstil. Hal yang perlu dicermati adalah berapa modal dasar dari pabrik dan importasi. Berapa margin yang diharapkan importir dan industri tekstil?

Apabila harga jual tekstil lokal dengan kualitas sama, jauh di atas tekstil impor, maka pemerintah harus melakukan konsultasi dengan industri tekstil untuk mengurangi biaya produksi tekstil. Dan tentang kuantiti impornya. Apakah produk lokal sudah mencukupi kebutuhan nasional? Kalau belum, maka impor tidak boleh ditutup, kalau mencukupi di atas 50%, maka produk tersebut wajib diawasi dan dibatasi, tetapi kalau produksi lokal hanya 30%, maka hanya perlu diawasi saja.

Pemerintah tidaklah boleh memanjakan pengusaha domestik. Kenapa? Karena mereka akan kehilangan daya saing, akan  menjadi lemah. Mau tidak mau, maka batas-batas negara akan semakin pudar seiring dengan kemajuan jaman. Dengan kesepakatan FTA, maka pengusaha asing akan dapat dengan mudahnya masuk ke Indonesia untuk berusaha. Saya berpendapat, bahwa menempatkan semua pada proporsi nya adalah kebijakan terbaik.

Memang disayangkan, bahwa GINSI tidak bersuara. Bukankah GINSI harus membela kepentingan importir? Atau GINSI hanya menjadi badan yang membantu Pelindo dan Kadin dalam memberikan stempel legal atas kebijakan di bidang impor? (Apakah pengurus GINSI benar-benar importir?)

Dan yang lebih penting lagi, pemerintah perlu mengaktifkan kembali Pusat Pelatihan dan Promosi Ekspor Daerah. Dan apabila diperlukan, pekerjakanlah para usahawan yang telah pensiun sebagai relawan? Di JICA, banyak tenga ahi diangkat dari pejabat2 perusahaan swasta yang terkenal seperti Mitsubishi ataupun Marubeni, sebagai contoh. Jangan diangkat pejabat struktur perdagangan yang tidak mengerti perdagangan.

Lakukan penataan ulang BPS. Tanpa data, kita tidak dapat berbuat maksimal. Di sini dibutuhkan orang yang kuat dan konsisten serta memiliki pemahaman yang kuat dari sisi keilmuan tentang data dan statistik. Selama ini, data dari BPS masih dipertanyakan keabsahannya.

Pendek kata, untuk mencapai rakyat adil dan makmur, kita tidak boleh lagi memakai kacamata sempit. Seakan-akan kalau kita bela industri lokal, maka kita pasti akan adil dan makmur. Tidak. Malahan bisa saja malah menjadi bumerang bagi kita. Dengan mau dikuranginya Dwelling Time, berarti Presiden sudah melihat pentingnya biaya rendah dalam ekspor dan impor. Tidak ada negara yang maju dan kuat, mempersulit proses importasi. Kalau dilihat, maka sarat kepentingan dari pihak-pihak tertentu, yang tetap ingin mempersulit impor. Maka, tindakan pembatasan API adalah peraturan yang sangat kontra produktif. Yang malahan akan melemahkan kekuatan kemampuan pengusaha kita dalam praktik perdagangan internasional dan melemahkan negara secara tidak langsung.

Saya percaya pengusaha di Indonesia adalah pengusaha yang ulet dan kuat. Dan kita semua harus mempersiapkan diri untuk menyambut perdagangan internasional yang semakin terbuka. Maka, ayuk kita maju terus.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun