Mohon tunggu...
Anto Medan
Anto Medan Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Ayuk.......

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mantan Mendag vs Mendag; Lokal vs Impor

16 November 2015   12:01 Diperbarui: 16 November 2015   22:43 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk kategori 2, kita perlu belajar dari RRT. RRT ketika mulai membuka tirai bambu, mereka mempersilakan rakyatnya membuka tambang dan pemerintah membantu teknologi pemrosesan bahan tambang. Di Indonesia, usaha tambang sempat mengalami booming pada periode 2007 sd 2012, tetapi sesudahnya mengalami mati suri. Kebijakan pemerintah dengan dikeluarkannya UU minerba, bertujuan baik, tetapi membunuh usaha-usaha kecil pertambangan. Akibatnya, tetap tidak ada solusi untuk kemandirian dalam besi dan logam dasar non besi.

Untuk kategori 3, pemerintah mencanangkan 35.000 MW. Yang perlu diperhatikan adalah kemudahan perizinan. Apabila ada tempat yang memang tidak boleh dibangun bendungan atau apa pun, maka informasi harus diberikan seawal mungkin. Permudah masuknya segala keperluan pembangkit listrik dan pembangunan infrastukturnya.

Masalah timbul ketika produk-produk dalam kategori 1 dan 2, belum dapat dipenuhi secara mandiri, maka mau tidak mau kita harus melakukan importasi. Maka produk-produk ini perlu selalu diawasi oleh BPS, supaya pemerintah mendapatkan data yang akurat. Sambil diusahakan pembangunan infrastuktur yang dapat meningkatkan produk-produk dalam dua kategori tersebut.

Dengan mengurangi ketergantungan impor atas produk-produk di atas itu, maka kita bisa disebut negara yang mulai berdaulat.

Dengan keahlian dalam industri hilir dari produk-produk di atas, kita dapat disebut negara yang cukup berdaulat.

Dalam hal adil dan makmur, maka yang perlu diperhatikan adalah berapa harga produk itu ketika akan dibeli oleh rakyat? Kita memang tidak menginginkan industri nasional kolaps. Tetapi, sungguh tidak adil, ketika rakyat Malaysia dapat membeli gula setara dengan Rp.9000,- sedangkan kita harus membeli Rp. 11.000,- per kg nya. Adalah hal yang paling ideal, apabila kita memproduksi gula sendiri dengan modal dasar Rp. 6.000,- dan menjualnya dengan harga Rp.9000,-. Tetapi, kenapa harga gula kita sampai Rp.11.000,- per kg?

Apakah ada swasta yang tertarik membuka perkebunan tebu dan industri gula? Atau, secara ekstrimnya, apakah PTPN yang menanam tebu dan memproduksi gula dijual atau dikontrakkan saja ke swasta yang lebih mumpuni? Dari tahun ke tahun, masalah gula ini tidak pernah selesai. Maka, karena sudah kronis, maka sebaiknya dilakukan lelang atau kontrak ke swasta saja, daripada kita harus terus menerus impor? Perlu tindakan ektrim menyelesaikan  masalah kronis seperti ini.

Keadilan baru akan terjadi, ketika kita, rakyat Indonesia, dapat menikmati kekayaan kita secara bersama-sama, yaitu dengan pengelolaan negara yang baik. Itu selain BPJS dan program lainnya, juga menyangkut hal tata niaga, baik produk strategis maupun non strategis.

Kemakmuran baru akan terjadi, ketika orang yang mau jujur dan bekerja keras, diberikan kesempatan sebesar-besarnya. Maka, orang tidak lagi perlu berkongkalikong dengan oknum pejabat untuk dapat bekerja tanpa masalah. Mungkin perlu juga diperjelas dalam UU KPK dan Tipikor, pihak yang diperas dan pihak yang memberikan gratifikasi. Banyak pengusaha yang terpaksa memberi demi kelancaran usahanya.

Kunci dari kebijakan Mendag, harusnya, selain mempertimbangkan industri nasional, juga melihat data yang sebenar-benarnya. Terkadang, angka-angka diangkat bombastis sehingga seakan-akan industri lokal pasti akan kolaps kalau keran impor dibuka. Faktanya, apabila produk lokal mahal dan bukan merupakan produksi strategis, maka sebaiknya importasi tidak dibatasi. Dengan memaksa rakyat membeli produk lokal dengan harga mahal, juga akan mengurangi daya saing kita di dunia perdagangan internasional. Selain itu, juga memboroskan GDP.

Lalu untuk produk-produk yang tidak termasuk dalam kategori di atas, apa yang harus dilakukan? Menurut pendapat saya, apabila ada industri tertentu yang memproduksi produk tertentu, dalam jumlah yang banyak, maka boleh saja dibatasi impornya oleh pemerintah, demi kepentingan orang banyak. Tetapi, itu bukan berarti mempersulit impornya. Umpamanya, untuk industri tekstil. Hal yang perlu dicermati adalah berapa modal dasar dari pabrik dan importasi. Berapa margin yang diharapkan importir dan industri tekstil?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun