Hari bertambah siang, namun aku tetap saja masih memikirkan Ellena. Entah karena apa, perasaanku tak tenang, resah, gundah dan serasa akan menangis. Apa yang aku rasakan ini? Aku menghempas perasaan tak karuan yang memenuhi lubuk hatiku. Malam harinya aku tetap memikirkan Nana. Jangan bilang aku memiliki rasa lebih pada Nana. Lebih dari seorang guru, teman, atau bahkan lebih dari rasa seorang kakak pada adik perempuannya. Aku berusaha tidur dengan ketenangan, namun setiap menutup mata bayangan Nana terasa datang di sampingku.
Aku bisa berbicara normal bahkan bisa menggunakan bahasa isyarat. Namun kenapa aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku pada Ellena. Setelah kupikir dengan begitu dalam, aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku kepada Nana. Aku tunggu dia datang di kursusku, karena hari ini jugalah jadwal kursus Ellena. Tapi apa, Nana tidak datang, bahkan setelah aku menelpon ibunya.
Aku bergegas mengunjungi Nana, sebenarnya apa yang terjadi hingga Nana tidak datang hari ini. Pertanyaan itu terus saja memenuhi ruang di kepalaku. Sampailah aku di rumahnya. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat kini. Orang- orang berdatangan ke rumah Nana. Semua orang bersedih dengan meneteskan air mata mereka. Mereka semua mengenakan baju berwarna hitam. Otakku mulai berpikir, "ada acara apa? Mengapa semua orang mengenakan baju dengan warna hitam? Mengapa mereka tampak sedih?"
Aku berusaha tidak memikirkan suatu hal yang buruk tentang Nana. Namun apa yang aku lihat. Nana terbujur kaku dengan muka yang pucat dan terasa asing raut wajah itu. Aku tetap mendekat, "tak salah ini Nana. Apa yang Nana lakukan mengapa dia terlentang di sini, bahkan banyak orang menangis di kanan kirinya. Mengapa dia tidak bergerak sedikitpun?"
"Apa benar Nana telah tiada? Tidak mungkin." Aku menghampiri ibu Nana. Sambil bertanya, "bu apa yang terjadi pada Nana?"
"Ikhlaskan dia ya nak. Biarkan Nana pergi dengan senang dan menghadap Ilahi tanpa sedikitpun merasa terbebani."
Aku berusaha untuk tegar. Kematian bukanlah akhir, namun awal dari kehidupan yang abadi. Tapi mengapa air mata tak bisa kuhapuskan. Waktu telah menunjukkan pukul 12.00 WIB, pemakaman sudah harus dilaksanakan. Kuangkat tandu yang menopang tubuh kaku Nana. Air mata tak kuijinkan menetes di pipiku, aku harus senang Ellena bisa menghadap Tuhan dengan kebaikan hatinya.
TPU berangsur- angsur mulai terasa sepi. Tinggal aku dan makam Nana yang kurasa adanya. Kutatap makam Nana dengan hati yang masih terasa berat aku menaruh setangkai bunga mawar biru di makam itu. "Bunga mawar biru memang kesukaanmu, bukan begitu Nana? Sekarang kamu dimana? Apa disana kamu senang? Kuharap kamu bisa jaga diri, tentang keluargamu aku akan berusaha membuat mereka kembali bahagia. Kamu ingat janjiku, aku akan membuat orang lain bisa tersenyum sepertimu. Bahkan membuat mereka tersenyum dalam tetesan air mata."
Kulihat sekali lagi batu nisan yang tertera tulisan nama Ellena. Aku pergi meninggalkan makam Nana. Nana mungkin dirimu tak bisa lagi hadir di sampingku. Tapi perasaanku kepadamu tak akan pernah hilang, bahkan aku bisa hidup seorang diri untuk buktikan bahwa rasaku tak akan pernah berubah. Maafkan aku tak bisa ungkapkan apa yang kurasa padamu saat kau ada di dunia ini. Maaf belum bisa membahagiakan dirimu. Satu pesanku, tunggu aku di sana. Aku yakin, jika kita jodoh kita akan dipertemukan walau bukan lagi di dunia. Namun dalam keabadian, Tuhan tahu apa yang terbaik untuk kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H