"Aku berpikir, mengapa Tuhan memberiku ujian yang begitu berat? Aku merasa lelah, tak sanggup menahan ujian ini." Air mata kembali menetes dari mata itu.
Kucoba menenangkannya "Sudah segalanya telah dituliskan. Tuhan tahu mana yang lebih baik untuk kita. Dia tidak mungkin memberi cobaan melebihi kemampuan kita dan Dia telah mempersiapkan balasan yang tak pernah kau bayangkan."
Setelah berucap panjang lebar, terdengar suara klakson motor dari depan rumah. Ternyata ojek online yang aku pesan telah sampai. Segera aku berpamitan pada Nana dan keluarganya. Sesampainya di rumah aku terus saja memikirkan ucapan Ellena. Bahkan orang yang sekalipun tak pernah kulihat menangis, orang yang kukira sangat kuat mempertanyakan itu. Ternyata dia tak sekuatt yang kupikirkan. Mungkin karena terbiasa bersedih, dia bisa menutupi itu dari orang di sekelilingnya.
Malam yang dingin telah berlalu, terganti dengan sinar mentari yang menyinariku dengan kejamnya. Namun aku masih saja memikirkaan Nana. "Kenapa dia kemarin? Bagaimana dia? Apa yang dia lakukan? Mungkinkah dia sudah bangun, atau masih terlelap dalam mimpi? Sedang bersama siapa? Kapan dia bisa tersenyum kembali?" Pertanyaan- pertanyaan itu terus saja mengusik diriku.
Kehidupannya memang tak semudah yang kita pikirkan. Walaupun kekayaan sudah terjamin, tapi kebahagiaan belum tentu ada. Begitulah Nana dia sangat pandai menyembunyikan perasaannya hingga akhirnya dia tak sanggup lagi. Dia pernah sekali bercerita padaku, yaitu saat dia belum menjadi  salah satu muridku. Nana menulis dalam lembaran kertas kosong, bahwa keluarganya belum bisa menerima keterbatasan Nana. Tepatnya kedua orang tuanya, sehingga dia dirawat oleh neneknya. Karena itulah dia terlambat belajar bahasa isyarat, bahkan mereka tidak mengijinkan Ellena menikmati pendidikan dan pergi ke luar rumah. Untung saja kakeknya dulu adalah seorang guru sehingga Ellena bisa merasakan dan mendapat ilmu, walau tak sama dengan orang lainnya.
Setelah dia bercerita pada hari itu, aku langsung mengatakan dalam benakku. "Bagaimana ada orang tua seperti itu? Apa mereka pantas disebut ayah dan ibu?" Aku berusaha menahan amarah. Tapi apa yang terjadi ibu Nana menjemput dengan paksa, dia marah- marah tidak karuan. Aku tidak tahan melihat Nana dibatasi, aku berusaha menyadarkan ibu Nana. "Ibu tidak tahu apa yang sedang Nana alami?"
"Tahu apa kamu soal Nana?" Tanya ibu Nana kembali.
"Saya bukan siapa- siapa. Namun saya mungkin lebih tahu Nana dari anda, orang yang Nana panggil Ibu. Pernahkah ibu memperhatikan Nana layaknya seorang anak?" Ibu Nana terdiam dengan perasaan malu.
"Apakah pertanyaan saya sulit? Anda mungkin ibunya tapi anda tidak mengetahui apapun tentang Ellena. Dia merasa kesepian, butuh rasa kasih sayang dari seorang ibu. Tapi apa yang ibu lakukan, ibu bahkan tidak menganggap dia seorang anak. Dia mungkin memiliki kekurangan, tapi dia tetap punya perasaan, tidak seperti ibu. Bukankah anda terlalu kejam. Dia melalui ini seorang diri, bahkan harta yang anda miliki tak akan sanggup membayar deritanya. Apa ibu pernah berpikir sekali saja menjadi dia, merasakan apa yang ia alami?"
Ibu Nana kembali terdiam. Hingga air mata kulihat menetes di ujung matanya. Dia menghampiri Ellena dengan penuh rasa menyesal dan malu atas apa yang beliau perbuat hingga saat ini. "Nana maafkan ibu nak. Ibu mengaku salah, katakan pada ibu. Apa yang harus ibu lakukan untuk menebus kesalahan ibu? Katakan nak, ibu dan ayah benar- benar menyesal."
Nana tak kuat menahan rasa sedihnya. Namun di samping itu dia senang, akhirnya ibunya mengakui keberadaan Ellena. Dia terus menggelengkan kepala, dan mengusap air mata yang mengalir di pipi ibunya. Dan seperti yang saya lihat sekarang mereka telah menjadi keluarga yang utuh. Perlahan mereka mengerti apa yang dirasakan Nana dan mencoba menjalin keluarga yang bahagia.