Ketika hati merasa sepi, butuh sosok yang setia menemani. Kini ruang di hati mulai terasa hampa. Tak ada satupun pendamping yang dapat mengisi kekosongan ini. Harus dengan apa kuungkapkan rasa ini? Kuteriak sekencang mungkin, tapi tetap Tuhan tak menurunkan sesosok bidadari surga- Nya. Aku hanya dapat berharap cahaya datang menyinari hidupku yang kelam.
Aku seorang manusia biasa, penuh salah. Inilah aku, Genta. Orang- orang mengenalku sebagai seorang guru disebuah SLB (Sekolah Luar Biasa), namun selain itu aku juga membuka sebuah kursus bahasa isyarat. Aku tertarik pada mereka para disabilitas, karena ibuku dulu juga seorang disabilitas.
Ibu, hingga kini tak bisa kulupakan senyum yang tersirat di pipinya. Matanya yang sipit dan tatapan penuh kasih sayang. Walau dia memiliki keterbatasan, namun hatinya yang lembut tak bisa terganti dengan hal paling mahal di dunia. Kini kurasa tak ada satupun wanita di dunia ini yang cintanya setulus dia, sesetia dan tak pernah kulupa. Dia orang yang paling kusayangi telah pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Sebelumnya aku tak pernah merasa senyaman ini. Hingga pada suatu hari aku bertemu dengan dia Ellena. Gadis cantik yang selalu tersenyum pada apa yang dia alami. Ellena adalah salah satu murid yang selalu datang untuk kursus bahasa isyarat, walaupun terlambat. Dia seorang penyandang disabilitas tepatnya tuna wicara. Ellena selalu bercerita bila dia ingin sekali bisa mengungkapkan perasaannya pada orang yang dia cinta suatu hari nanti. Wajar saja dia sering curhat padaku, alasannya kita hampir seumurun hanya berjarak 1 bulan lebih 1 hari, aku lebih tua. Dengan begitu kami merasa akrab dan tidak perlu panggilan formal.
15 Juli 2019, Ellena tepat berumur 21 tahun. Dia mengadakan sebuah pesta kecil dengan penyandang disabilitas lain. Aku turut diundang dalam pesta itu. Kebahagiaan terlihat di ujung bibir mungilnya. Matanya berkaca- kaca diiringi tetesan air yang mengalir deras di mata bulat itu. Kukira dia sekuat baja, bahkan segala macam terpaan bisa dia tangkas. Namun aku kali ini salah. Baja bahkan bisa dikalahkan oleh kehendak Tuhan, tidak ada yang tahu bagaimana baja itu bisa terkalahkan, semua itu rahasianya.
"Selamat ulang tahun Nana," ucapku dengan senyum dalam benakku.
Ellena atau yang biasa kupanggil Nana menjawab dengan bahasa tangannya. Dia menaruh kelima jarinya di atas alis (hormat). Tanda bahwa dia siap atau suka hal itu. Hari indah ini tak ingin kulewatkan. Hari dimana Nana tersenyum dalam setetes tangisannya. Pesta berakhir, teman Nana satu persatu berpamitan pulang. Aku tetap berada di rumahnya sambil menunngu ojek online yang aku pesan. Tak ada satupun orang sekarang, hanya ada aku dan dia. Rumah ini kembali terasa sunyi, tak ada suara- suara merdu dan keriuhan yang kudengar.
Dia berbincang denganku dengan menggunakan bahasa isyarat "aku senang dengan pesta kali ini."
"Jika kamu senang aku ikut rasa juga kok. Aku tahu kamu bahkan tersenyum dalam tetes air mata yang menjatuhi pipimu," ucapku menggoda Nana.
"Apa yang kamu bicarakan? Kita harus mengatakan hal menyenangkan, bukankah begitu?" ucap Nana dengan nada bicara menaik.
"Cerita padaku apa yang kamu pikirkan, hingga air mata kau biarkan menghiasi senyum manismu?" ucapku dengan bahasa isyarat.