Di atas jembatan yang berukuran 40 meter ini penuh keramaian, merupakan  penerusan Jalan Kembang Jepun dari sebelah timur, yang dari semula sudah menjadi kawasan perniagaan golongan bangsa-bangsa Timur, orang Arab, Tionghoa, dan Melayu sejak zaman Belanda.
Di sepanjang jembatan ada hiasan ornamen yang menggantung dari atas dan umbul umbul runcing rokok kretek jantan di sisi kanan dan kiri, kerasa jembatan menjadi sesak, bukan dari banyaknya orang yang berjalan di situ, tetapi karena sudah menjadi tempat parkir becak untuk pengemudinya beristirahat, belum lagi sepeda sepeda yang dikelelerkan, juga pedagang pikulan dan bibi jajan yang menyuguhkan bubur pasar di atas trotoar sana.
Dalam lukisan, Joni Ramlan merekam semua kegiatan sehari-hari sebagaimana adanya diatas jembatan. Inilah Surabaya.
Bila kia-kia di Surabaya, jangan lupa mampir ke Jembatan Merah, walau banyak yang kecewa, tidak segagah dan indah dalam lagu Gesang, tetapi kesitu kita tapak tilas kisah kepahlawanan yang melambangkan kepatriotisan Arek Suraboyo.
Lukisan yang Menceritakan Sejarah Monumen Kota Surabaya.
Lokasi Jembatan Merah yang merentang dari tepi timur ke barat Sungai Kalimas ini, pernah menjadi titik akhir pelayaran perahu pengangkutan dari jalur perniagaan maritim antara China, Champa, dan Kerajaan Mataram Islam di Jawa Timur.
Orang Jepang pun sudah berdatangan di Pecinan sebelum VOC, mereka merupakan golongan petani dari Champa, juga ada yang berusaha perhotelan, dan membawakan bunga sakura disini, sehingga kawasan mereka menjadi Kembang Jepun.Â
Mereka membangun satu jembatan kayu di ujung Jalan Kembang Jepun untuk menyeberangi Kalimas menuju ke sawah-sawah mereka. Belanda menyebut Jembatan Jepang itu Roode Brug. Tidak ada penjelasannya.Â
Mengenai penamaan jembatan merah tersebut, semestinya karena jembatan kayu itu dicat warna merah sebagaimana khasnya jembatan di Jepang.