Sekitar 10 tahun lalu mampir di Kota Malang mencari lukisan pemandangang nostalgia "tempo doeloe", setempo di masa muda kita. Kata sepupuh kebetulan ada. Sore hari itu juga, diantarnya ke perumahan dekat Penjara Malang, rumah makelar ini kecil, di situ menemukan lukisan selera yang dicari.
Bagaikan karya Van Gogh di Indonesia. "Jembatan Merah Surabaya", karya pelukis muda asal Mojosari, Joni Ramlan.
Satu lukisan yang besar, panjangnya 2 meter, pantas untuk menayangkan kemegahan panorama Jembatan Merah Surabaya yang panjangnya sampai 40 meter itu.
Pemakaian warna tidak menyorak, biru langit dan cerminannya di permukaan air mendominer, mengepit warna kopi-susu yang menggambarkan panorama jembatan dan air Kalimas yang keruh. Di sana-sini dibumbuhi coretan warna yang memeriahkan kehidupan di atas jembatan, juga teralis besi yang sudah karatan.
Sungguh satu lukisan pusaka yang mengumpulkan segala elemen, baik sejarah, tanda-kota, satu era zaman, dan karya agung.
Lukisan yang Setara Karya Agung Impresionis.
Di pertengahan abad ke-19 di Paris, Prancis, muncullah berapa pelukis yang dipelopori Claude Monet, Pierre-Aguste Renoir dan kawan-kawan memamerkan lukisan bergaya baru, yang terlepas dari kepompong subyek legenda religi.Â
Mereka mengutamakan melukis cepat jadi, menggunakan kuas cat halus dengan coretan kasar dan berwarna warni, untuk merekam ketepatan pemandangan sesaat tertangkap didepan mata, bagaikan seni fotografi.Â
Ketuanya Monet, memamerkan lukisannya "Impression Sunrise", dari situ golongan pelukis cepat jadi ini mendapatkan julukan Impresionis. Semenjak itu, karya mereka sudah menjadi karya agung, master pieces.
Joni Ramlan mengusung para master impresionis yang terpilih untuk mengesankan Jembatan Merah di Surabaya. Seakan-akan menitipkan rasa sayangnya melihat keadaan keterlantaran obyek tujuan turisme di saat dia melukiskan gambaran itu.
 Lukisan yang Merupakan Peninggalan Satu Era Zaman.
Satu lukisan berwarna biru yang melancholic seperti irama lagu keroncongnya Gesang walaupun merdu, begitulah kesan pertama sewaktu memandangnya.
Kapankah pernah kelihatan langit Surabaya biru? Di kanvas Joni Ramlan ini.
Entah pelukis Joni Ramlan pernah berguru dimana dan pada siapa, pemakaian warna cerulean blue yang mendominer di langit dan pantulan cerminnya di permukaan Kalimas, sangat powerful dan effective.
Bagaikan secelah sinar matahari yang menerobos kegelapan langit yang sedang mendung, diutarakan dengan warna kopi-susu, menggambarkan jembatan dan gedung di latar belakang yang terang, memberikan secupit harapan di waktu kehidupan yang kusam. Everything is going to be alright.
Kesederhanaan 2 warna saja, Joni Ramlan berhasil mengutarakan lukisan yang bersinar harapan. Pemakaian warna begini bisa mengingatkan aliran seniman dari Soviet Uni, pada era sebelum runtuhnya Dinding Berlin.
Lukisan Tanda Kota yang Penuh Gairah.
Di atas jembatan yang berukuran 40 meter ini penuh keramaian, merupakan  penerusan Jalan Kembang Jepun dari sebelah timur, yang dari semula sudah menjadi kawasan perniagaan golongan bangsa-bangsa Timur, orang Arab, Tionghoa, dan Melayu sejak zaman Belanda.
Di sepanjang jembatan ada hiasan ornamen yang menggantung dari atas dan umbul umbul runcing rokok kretek jantan di sisi kanan dan kiri, kerasa jembatan menjadi sesak, bukan dari banyaknya orang yang berjalan di situ, tetapi karena sudah menjadi tempat parkir becak untuk pengemudinya beristirahat, belum lagi sepeda sepeda yang dikelelerkan, juga pedagang pikulan dan bibi jajan yang menyuguhkan bubur pasar di atas trotoar sana.
Dalam lukisan, Joni Ramlan merekam semua kegiatan sehari-hari sebagaimana adanya diatas jembatan. Inilah Surabaya.
Bila kia-kia di Surabaya, jangan lupa mampir ke Jembatan Merah, walau banyak yang kecewa, tidak segagah dan indah dalam lagu Gesang, tetapi kesitu kita tapak tilas kisah kepahlawanan yang melambangkan kepatriotisan Arek Suraboyo.
Lukisan yang Menceritakan Sejarah Monumen Kota Surabaya.
Lokasi Jembatan Merah yang merentang dari tepi timur ke barat Sungai Kalimas ini, pernah menjadi titik akhir pelayaran perahu pengangkutan dari jalur perniagaan maritim antara China, Champa, dan Kerajaan Mataram Islam di Jawa Timur.
Orang Jepang pun sudah berdatangan di Pecinan sebelum VOC, mereka merupakan golongan petani dari Champa, juga ada yang berusaha perhotelan, dan membawakan bunga sakura disini, sehingga kawasan mereka menjadi Kembang Jepun.Â
Mereka membangun satu jembatan kayu di ujung Jalan Kembang Jepun untuk menyeberangi Kalimas menuju ke sawah-sawah mereka. Belanda menyebut Jembatan Jepang itu Roode Brug. Tidak ada penjelasannya.Â
Mengenai penamaan jembatan merah tersebut, semestinya karena jembatan kayu itu dicat warna merah sebagaimana khasnya jembatan di Jepang.
Mengapa tidak ada catatan itu? Belanda meremehkan bagian dari sejarah Jembatan Roode Brug yang bukan rekayasa mereka ini, dan waktu itu juga belum ada Sin Po.
Sudah ada Jembatan Merah sejauh di waktu sebelum kedatangan VOC di Surabaya. Tetapi asal usul penamaannya, yang lazim dikaitkan dengan Perang Kemerdekaan 10 Nopember 1945, yang terjadi pertumpah darahan Arek Soroboyo di jarak setengah kilometer di selatannya Jembatan Merah.
Joni Ramlah tidak lagi menciptakan karya corak impresionis sebagaimana lukisan masa mudanya. Sekarang gayanya menjurus aliran bebas, sebagaimana setiap seniman yang hendak mengecapkan stempelnya sendiri.Â
Lukisannya sudah masuk pasaran lelang, dan menjadi simpanan pribadi dikalangan kolektor mancanegara.
Jembatan Merah diatas kanvas Joni Ramlan ini sudah berada di Los Angeles. Kelak, bila tiba waktunya, Jembatan Merah ini patut disumbangkan ke sesuatu museum, biar lukisan laureate asal Mojosari juga bisa berjajaran di dinding museum dengan para master impresionis. Monet, Van Gogh, Ramlan...
Oleh: Anthony Hocktong Tjio.
Monterey Park, 20 Februari 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H