Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jembatan Merah di Atas Kanvas Joni Ramlan

26 Februari 2020   06:07 Diperbarui: 26 Februari 2020   15:50 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar lukisan milik pribadi (AH Tjio)

Sekitar 10 tahun lalu mampir di Kota Malang mencari lukisan pemandangang nostalgia "tempo doeloe", setempo di masa muda kita. Kata sepupuh kebetulan ada. Sore hari itu juga, diantarnya ke perumahan dekat Penjara Malang, rumah makelar ini kecil, di situ menemukan lukisan selera yang dicari.

Bagaikan karya Van Gogh di Indonesia. "Jembatan Merah Surabaya", karya pelukis muda asal Mojosari, Joni Ramlan.

Satu lukisan yang besar, panjangnya 2 meter, pantas untuk menayangkan kemegahan panorama Jembatan Merah Surabaya yang panjangnya sampai 40 meter itu.

Pemakaian warna tidak menyorak, biru langit dan cerminannya di permukaan air mendominer, mengepit warna kopi-susu yang menggambarkan panorama jembatan dan air Kalimas yang keruh. Di sana-sini dibumbuhi coretan warna yang memeriahkan kehidupan di atas jembatan, juga teralis besi yang sudah karatan.

Sungguh satu lukisan pusaka yang mengumpulkan segala elemen, baik sejarah, tanda-kota, satu era zaman, dan karya agung.

Lukisan yang Setara Karya Agung Impresionis.

Di pertengahan abad ke-19 di Paris, Prancis, muncullah berapa pelukis yang dipelopori Claude Monet, Pierre-Aguste Renoir dan kawan-kawan memamerkan lukisan bergaya baru, yang terlepas dari kepompong subyek legenda religi. 

Mereka mengutamakan melukis cepat jadi, menggunakan kuas cat halus dengan coretan kasar dan berwarna warni, untuk merekam ketepatan pemandangan sesaat tertangkap didepan mata, bagaikan seni fotografi. 

Ketuanya Monet, memamerkan lukisannya "Impression Sunrise", dari situ golongan pelukis cepat jadi ini mendapatkan julukan Impresionis. Semenjak itu, karya mereka sudah menjadi karya agung, master pieces.

Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Joni Ramlan meletakkan Van Gogh di langit Kota Surabaya. Van Gogh terkenal dengan lukisan biru langit waktu malam berbintang.

Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Sudut Claude Monet yang terkenal dengan lukisan kolam teratai rumahnya yang terletak di dusun Giverny, Prancis, sebagai sarana menggambarkan terbatasnya tetumbuhan di sekitar jembatan.

Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Seberang kali dari sudut Monet diatas, tampak kehalusan warna pastel yang khas dalam lukisan-lukisan romantis Pierre-Aguste Renoir. Seperti pakar impresionis, Joni Ramlan menggambarkan seadanya, coretan liar di dinding, juga seorang yang sedang berkemih di samping grobak.

Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Tidak ketinggalan permainan cahaya dan bayangan dari maestro Rembrandt van Rijn di balok beton penunjang jembatan, sambil menampilkan kekeruhan air dan ketidak-terpeliharanya kebersihan kali dan jembatannya.

Joni Ramlan mengusung para master impresionis yang terpilih untuk mengesankan Jembatan Merah di Surabaya. Seakan-akan menitipkan rasa sayangnya melihat keadaan keterlantaran obyek tujuan turisme di saat dia melukiskan gambaran itu.

 Lukisan yang Merupakan Peninggalan Satu Era Zaman.

Lukisan milik pribadi. (AH Tjio)
Lukisan milik pribadi. (AH Tjio)
Ini lukisan bersinar harapan.

Satu lukisan berwarna biru yang melancholic seperti irama lagu keroncongnya Gesang walaupun merdu, begitulah kesan pertama sewaktu memandangnya.

Kapankah pernah kelihatan langit Surabaya biru? Di kanvas Joni Ramlan ini.

Entah pelukis Joni Ramlan pernah berguru dimana dan pada siapa, pemakaian warna cerulean blue yang mendominer di langit dan pantulan cerminnya di permukaan Kalimas, sangat powerful dan effective.

Bagaikan secelah sinar matahari yang menerobos kegelapan langit yang sedang mendung, diutarakan dengan warna kopi-susu, menggambarkan jembatan dan gedung di latar belakang yang terang, memberikan secupit harapan di waktu kehidupan yang kusam. Everything is going to be alright.

Kesederhanaan 2 warna saja, Joni Ramlan berhasil mengutarakan lukisan yang bersinar harapan. Pemakaian warna begini bisa mengingatkan aliran seniman dari Soviet Uni, pada era sebelum runtuhnya Dinding Berlin.

Lukisan Tanda Kota yang Penuh Gairah.

Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Gambar milik pribadi. (AH Tjio)
Masih merupakan jembatan yang fungsionil dan dibiarkan sebagaimana asalnya, sekarang ini sudah generasi ke-3 atau ke-4, sejak dibangunnya di sana.

Di atas jembatan yang berukuran 40 meter ini penuh keramaian, merupakan  penerusan Jalan Kembang Jepun dari sebelah timur, yang dari semula sudah menjadi kawasan perniagaan golongan bangsa-bangsa Timur, orang Arab, Tionghoa, dan Melayu sejak zaman Belanda.

Di sepanjang jembatan ada hiasan ornamen yang menggantung dari atas dan umbul umbul runcing rokok kretek jantan di sisi kanan dan kiri, kerasa jembatan menjadi sesak, bukan dari banyaknya orang yang berjalan di situ, tetapi karena sudah menjadi tempat parkir becak untuk pengemudinya beristirahat, belum lagi sepeda sepeda yang dikelelerkan, juga pedagang pikulan dan bibi jajan yang menyuguhkan bubur pasar di atas trotoar sana.

Gambar Erick ireng/Antara Foto
Gambar Erick ireng/Antara Foto
Namun bila memilih berjalan kaki menyeberanginya dari Kembang Jepun ke jurusan Jembatan Merah Plaza, ada baiknya, bisa sambil meneliti kemegahan deretan gedung-gedung peninggalan kolonial, yang memagari tepi barat Kalimas. Gedung Cerutu, Gedung Internatio, Gedung Singa yang kita masih kenal.

Dalam lukisan, Joni Ramlan merekam semua kegiatan sehari-hari sebagaimana adanya diatas jembatan. Inilah Surabaya.

Bila kia-kia di Surabaya, jangan lupa mampir ke Jembatan Merah, walau banyak yang kecewa, tidak segagah dan indah dalam lagu Gesang, tetapi kesitu kita tapak tilas kisah kepahlawanan yang melambangkan kepatriotisan Arek Suraboyo.

Lukisan yang Menceritakan Sejarah Monumen Kota Surabaya.

Lokasi Jembatan Merah yang merentang dari tepi timur ke barat Sungai Kalimas ini, pernah menjadi titik akhir pelayaran perahu pengangkutan dari jalur perniagaan maritim antara China, Champa, dan Kerajaan Mataram Islam di Jawa Timur.

Jembatan Merah circa 1890. (Gambar dari dveseluputenis.lv.id)
Jembatan Merah circa 1890. (Gambar dari dveseluputenis.lv.id)
Menurut penuturan orang tua di Pecinan tempo dulu, Jembatan Merah ini bangunan orang Jepang yang di Kembang Jepun jauh sebelum zaman Belanda, bukan tentara Jepang sewaktu Perang Dunia Ke-2, yang kemudian bisa menghubungkan Kembang Jepun ke kawasan pemerintahan daerah, Kantor Karesidenan yang didirikan VOC di seberangnya.

Orang Jepang pun sudah berdatangan di Pecinan sebelum VOC, mereka merupakan golongan petani dari Champa, juga ada yang berusaha perhotelan, dan membawakan bunga sakura disini, sehingga kawasan mereka menjadi Kembang Jepun. 

Mereka membangun satu jembatan kayu di ujung Jalan Kembang Jepun untuk menyeberangi Kalimas menuju ke sawah-sawah mereka. Belanda menyebut Jembatan Jepang itu Roode Brug. Tidak ada penjelasannya. 

Mengenai penamaan jembatan merah tersebut, semestinya karena jembatan kayu itu dicat warna merah sebagaimana khasnya jembatan di Jepang.

Mengapa tidak ada catatan itu? Belanda meremehkan bagian dari sejarah Jembatan Roode Brug yang bukan rekayasa mereka ini, dan waktu itu juga belum ada Sin Po.

Jembatan New Otani di Tokyo. (gambar dari depositphotos)
Jembatan New Otani di Tokyo. (gambar dari depositphotos)
Sudah dilestarikan berkali-kali, tetapi tetap namanya Roode Brug, Belanda-nya Jembatan Merah.

Sudah ada Jembatan Merah sejauh di waktu sebelum kedatangan VOC di Surabaya. Tetapi asal usul penamaannya, yang lazim dikaitkan dengan Perang Kemerdekaan 10 Nopember 1945, yang terjadi pertumpah darahan Arek Soroboyo di jarak setengah kilometer di selatannya Jembatan Merah.

(Gambar dari KITLV)
(Gambar dari KITLV)
Kembang Jepun dipandang dari Jembatan Merah setelah diganti gelagar besi di tahun 1890. Terlihat ada sebuah klenteng kecil di samping kiri ujung jembatan. Masih mempertahankan corak teralis jembatan kayu yang mekar di ujung-ujungnya, khas jembatan Jepang. (Gambar KITLV)

Joni Ramlah tidak lagi menciptakan karya corak impresionis sebagaimana lukisan masa mudanya. Sekarang gayanya menjurus aliran bebas, sebagaimana setiap seniman yang hendak mengecapkan stempelnya sendiri. 

Lukisannya sudah masuk pasaran lelang, dan menjadi simpanan pribadi dikalangan kolektor mancanegara.

Jembatan Merah diatas kanvas Joni Ramlan ini sudah berada di Los Angeles. Kelak, bila tiba waktunya, Jembatan Merah ini patut disumbangkan ke sesuatu museum, biar lukisan laureate asal Mojosari juga bisa berjajaran di dinding museum dengan para master impresionis. Monet, Van Gogh, Ramlan...

Oleh: Anthony Hocktong Tjio.
Monterey Park, 20 Februari 2020.

Referensi: [1] [2]  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun