Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hokkian, Tanglang dan Dialek Min-nan

22 Desember 2017   19:02 Diperbarui: 22 Desember 2017   20:19 5276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suku asal Hokkian memetik daun teh. (dokumen pribadi)

Kebanyakan kita memang keturunan orang Tanglang, yang berarti kedatangan eyang kita dari Hokkian. Mereka diaspora Tionghoa yang disebut Hoakiao berbicara dalam dialek Min-nan, diwaktunya itu, bahasa Hokkian ini yang menjadikan lingua franca dalam perniagaan di Nusantara, sehingga tidak mengherankan bila nama kelahiran keturunan Tionghoa pun pada umumnya disebutkan dalam perkataan Hokkian. Namun kita tidak begitu mengerti di mana sebetulnya tanah leluhur Hokkian itu, mengapa disebut Hokkian, mengapa kita menyebut diri kita orang Tanglang, dan dari mana asal mulanya dialek Min-nan tersebut.

Hoakiao  berarti diaspora Tionghoa (hoa) yang hijrah di seberang lautan (kiao). Sejauh di abad 10 Masehi dalam zaman Tionghoa Song, pelopor yang merupakan pedagang mengikuti pelayaran saudagar Arab Yaman secara sistematik dari Teluk Zaitun di Quanzhou Hokkian berdatangan di Nusantara. Mereka sudah menyebar di pesisir Sumatra dan Jawa di waktu Sriwijaya hingga Majapahit, yang kemudian di abad 15, merintis Armada Ming Sampo Cheng Ho, beserta juga tidak terhitungkan banyaknya Muslim Tionghoa, dari Hokkian untuk bersinggah dan hijrah di Nusantara.

Pada umumnya Hoakiao pulang lagi ke Hokkian, kecuali meninggalkan istri nyai dan peranakan mereka untuk terus berkembang di Nusantara, maka sudah sejauh itu, bersama mereka mendatangkan kebiasaan hidup dan bahasa pembicaraannya secara Hokkian di Nusantara.

Dialek Min-nan:

Ada kata-kata pasaran seperti gua, lu, beca, bakia, loteng, toko, gudang, gang, bakmi, tempeh, kue, nyai, nyonyadan sebagainya yang sehari-hari mendengung di masyarakat kita, itu dari bahasa Hokkian alias dialek Min-nan.

Dalam kenyataan, dialek Min-nan itu adalah bahasa tulen orang Tionghoa, yang dibicarakan sejak terbentuknya bangsa Tionghoa lebih dari 3000 tahun lalu di Tiongkok Semula (China Proper). Maka kita mulai dari fosil hidup Tionghoa ini mencerahkan Hokkian dan Tanglang.

Melalui seleksi survival for the fittest, lebih dari 5000 tahun lalu, sudah ada suku-suku bangsa asal Mesopotamia di sekarang Persia yang dari Kazakhstan, via Siberia bagian timur, berhasil mencapai Timur Jauh di sekitar Sungai Yellow River, disana mendatangkan kebudayaan mereka dari Persia ke Tiongkok purba kala.

Suatu ketika 3000 tahun lalu, dari mereka yang terus menerus berdatangan, ada suku bangsa Ji yang berkulit putih berhasil mendirikan dinasti kerajaan Tionghoa yang ke-3 di daerah Henan, maka begitulah dari Dinasti Zhou (1046-256 BC) yang didirikan oleh bangsa Ji di Henan ini terbentuklah bangsa Tionghoa.

Tionghoa Zhou berkembang di dataran yang terletak diselatannya Sungai Yellow River, dan dipertengahan wilayah negerinya juga dilintasi Sungai Luo. Di daerah yang merupakan Mesopotamia di Timur Jauh itu terus disebut Daerah Pusat Administrasi (Zhong-zhou) atau Dataran Sentral (Zhongyuan) yaitu sekarang Henan, disana Tionghoa bermula.

Mereka mendirikan ibukota yang berdasarkan peraturan Ying dan Yang di tebing Sungai Luo itu, dimana yangberarti positip, kanan atau utara dan ying sebaliknya, maka satu kota de novo diletakkan disisi utara Sungai Luo dan dinamakan Luo-yang, disanalah Tiongkok bermula.

Sejak purba kala, setiap suku manusia tentunya mempunyai bahasanya masing-masing, dan yang diperkatakan oleh bangsa Zhou itu menjadi bahasa kerajaannya di Tiongkok Semula (China Proper) di sekarang Henan, karena negeri mereka di wilayah antara Sungai Yellow River, Huang-he, dan Sungai Luo, Luo-shui, maka bahasa dari Tionghoa semula itu dikemudian harinya dijuluki sebagai Bahasa He-luo, yang dalam dialek aslinya, he-luo itu berbunyi Ho-lo, merupakan singkatan dari nama ke-dua sungai Huang-he dan Luo-shui tersebut.

Ribuan tahun Bahasa Holo ini menerus menjadi bahasa Tionghoa, melintasi Dinasti Han (206 BC-220 AD), Zaman Sam Kok (220-280 AD) dan melanjut hingga Dinasti Jin yang menyatukan Tionghoa dari perpecahan masa Sam Kok di abad 3-4 AD. Meski dari masa ke masa ada evolusi dalam bahasa Holo tersebut, selama itu masih tidak banyak berbeda dari semulanya. Sampai setelah Dinasti Tang dan Song di abad 8-12, bahasa percakapan pemerintahan Tionghoa baru mengalih menjadi lafal ala Beijing yang disebut orang Portugis sebagai bahasa biadab, Mandarin, hingga sekarang.

Ada peristiwa besar yang terjadi di abad 4 Masehi, dimana ada pegusuran masal bangsa Tionghoa dari Dataran Sentral yang di utaranya Sungai Yangtze ke selatan, maka dari migrasi raksasa yang untuk pertama kalinya dalam sejarah Tionghoa ini, juga terbawalah bahasa Holo ke Hokkian.

Ceritanya begini, kita kembali dulu ke abad 2 Sebelum Masehi dizaman Dinasti Tionghoa Han. Diwaktu Han itu Tionghoa sudah berkembang maju dan makmur selama seribu tahunan di Dataran Sentral, Henan.

Han merupakan kerajaan yang perkasa dari Tiongkok Semula, dari sini terus memperluas wilayahnya sampai Laut China di timur, dan ke selatan membentuk Champa di Vietnam, sehingga sampai sekarang Tionghoa membanggakannya dan menyebut dirinya bangsa Han, tetapi terus menerus membendung bangsa-bangsa asing, yang seperti eyang Tionghoa Han sendiri yang asalnya dari Persia di barat dan Barbar Mongol dari utara, untuk sekarang memasuki Dataran Sentral, karena mereka tidak berkehabisan berdatangan dengan kehendak merebut kemakmuran dan kemajuan budaya Han di Dataran Sentral ini.

Demikianlah Tionghoa beratusan tahun terus tersangkut dalam peperangan untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya, dan dalam masa kalut Sam Kok mengalami perang saudara untuk mempertahankan keutuhan Tionghoa, maupun setelah Tionghoa dipersatukan kembali dalam Dinasti Jin (265-420 AD), serangan dari luar juga tidak mereda, Tionghoa akhirnya kehabisan tenaga dan melemah, tiba saatnya terancam kemusnahannya diwaktu Jin ini.

Sekitar 304 AD, ada 5 suku bangsa Barbar yang dari utara serentak menyerbu Jin dan menduduki Dataran Sentral sampai diperbatasan utara Sungai Yangtze, ini memaksa orang Tionghoa Jin mengikuti kerajaannya mengungsi ke jurusan selatan, setelah mereka menyeberang Sungai Yangtze, akhirnya di Nanjing mereka mendirikan Kerajaan Jin Timur di tahun 317 AD.

Tiongkok dilintasi 2 sungai besar yang mengalir dari pegunungan di barat menuju ke Laut China di timur. Sungai yang di utara adalah Sungai Yellow River dan yang di selatan adalah Yangtze River, dengan demikian membagi Tiongkok menjadi 3 bagian: Di utara Yellow River adalah wilayah Barbar, Dataran Sentral terletak diantara kedua sungai itu, dan di selatan Yangtze River adalah daerah perkembangan bangsa Nam Viet, yaitu kebangsaan Tionghoa Selatan yang dari sekitar 4000 tahun lalu sudah menyebar dan berbiak di Nusantara.

Sudah selama 500 tahun daerah Nam Viet di selatan Sungai Yangtze itu dicakup Tionghoa Han, hanya di zaman Jin ini, baru untuk pertama kalinya Tionghoa dari Tiongkok Semula mendirikan kerajaan di wilayah Nam Viet. Dari orang Jin yang berbondong-bondong merantau ke selatan itu, baru sekarang membawakan dan menyebarkan kebudayaan dari Dataran Sentral kesana.

Boleh dikata dalam masa Jin Timur di Nanjing itu, Tionghoa baru mendapatkan kehidupan sejahtera dan merasakan ketentraman, sehingga pesat memajukan industri kerajinan tangan, kesenian dan budaya. Di zaman inilah tercipta legenda Sam Pek Eng Tai yang merupakan Romeo dan Juliet versi Tionghoa, semestinya juga ditayangkan dalam bahasa Holo.

Selama 40 tahun dimasa Jin Timur itu, perantauan Tionghoa menerus. Sekelompok perantau orang Jin asal Luoyang dizaman itu meneruskan petaulangannya, dengan menelusuri sebuah sungai yang mengalir dari Gunung Wuyi, akhirnya sampai tiba di muara yang terletak di pesisir Tiongkok Tenggara. Disana menemukan delta yang subur dan tentram untuk dihuni, disitulah sejak abad 4 AD mereka menetap dan berkembang biak disekarang Quanzhou yaitu Cuanciu di Hokkian Selatan.

Untuk memperingati negara Jin asal mereka yang tadinya di utara, maka Tionghoa Jin tersebut menamakan delta pemukiman baru mereka itu Jin-an, yang maknanya, disinilah kita orang Jin sekarang dapat kehidupan yang aman dan tentram. Kemudian untuk mengikuti ibukota kerajaan Jin Timur di Nanjing yang dinamakan Jian-kang, yang maknanya, disinilah kita membangun kemakmuran, maka dari Jin-an tadi diganti namakan Jian-an yang maknanya, disinilah kita membangun dalam ketentraman. Diingatilah kata "Jian" ini.

Jian-an adalah Kota Quanzhou sekarang. Sedangkan sungai yang mengalir disitu itu sampai sekarang masih namanya Jin-jiang, sungai kerajaan Jin, dari sungai itu terjadilah Hokkian, dan dari muara sungai itu Tanglang Hoakiao seperti Gan Eng Cu, Tan Kiem Han (eyang Gus Dur), sebagian Sunan Wali Songo dan tak terhitungnya Muslim Tionghoa meninggalkan tanah airnya di Tiongkok.

Tionghoa Jin yang seperti didalam dongeng Sam Pek Eng Tai itulah yang membawakan bahasa asli mereka ke delta Jin-jiang sana, dan bahasa Holo tersebut tetap dibicarakan sampai sekarang. Bahasa ini bisa dipertahankan karena Hokkian merupakan wilayah yang terkepung oleh pegunungan, yang berabad-abad mengisolasi diri dari pengaruh dan serangan luar, sehingga dialek Min-nan sebagai bahasa Hokkian menjadi fosil hidup dari Tiongkok Semula, yaitu bahasa yang dipakai keturunan Tanglang diseluruh dunia.

Tanglang:

Mengapa tanah air baru Tionghoa Jin sekarang dinamakan Hokkian, bahasa Holo disebut dialek Min-nan, dan orang Hokkian disebut Tanglang? Ceritanya melanjut sebagai berikut.

Dalam nada ejaan Baba Jawa yang agak berat dan yang kurang mendalam pengertian etimologi, Tanglang disuarakan "t'nglang".

Tang artinya zaman dinasti Tang, sedangkan ejaan "t'ng" dalam Holo artinya panjang. Lang adalah orang. Makna Tanglang adalah keturunan orang zaman Tang dari abad 7-10 Masehi.

Kita kembali sekali lagi ke zaman Dinasti Han pada abad 2 Sebelum Masehi, Han memperluas wilayah kerajaannya dengan mencakup Nam Viet, dan bangsa Han menyebar di selatan Sungai Yangtze, sejauh mereka menyebar sampai menjadi Cina Cham di Indo-cina yang menjadi Vietnam. Penjajah Prancis yang mengubah nama Nam Viet menjadi Vietnam.

Sewaktu Maharaja Han Wu-di ekspansi wilayah kerajaannya ke selatan itu, pada tahun 110 BC pasukan Han menemukan satu sungai besar di Tiongkok Tenggara, yang disitu banyak ular boa yang dalam bahasa Holo mereka menyebutnya Min, maka sungai tersebut dinamakan saja Sungai Min-jiang. Sungai ini menjadi patokan wilayah baru kerajaan Han diselatan, maka sejak itu ada pendudukan Tionghoa Han di bumi Nam Viet bagian Tiongkok Tenggara ini, dan di muara Sungai Min tersebut dibangun kota yang dinamakan Fuzhou. Diingatilah kata "Fu" ini.

Kemudian di abad 4 Masehi, ada migrasi Tionghoa Han di zaman Jin yang menetap di muara Sungai Jin, karena terletak diselatannya Sungai Min itu, maka wilayah Jin tersebut dinamakan saja "diselatannya Min" yang mereka menyebutnya Min-nan, sehingga bahasa Holo mereka yang dibicarakan sampai zaman sekarang ini pun menjadi dialek Min-nan.

Sementara memang ada gembungan penduduk Tionghoa Han yang bermigrasi dari Dataran Sentral ke wilayah Nam Viet di zaman Jin, namun sampai zaman Dinasti Tang di abad 8, jumlah keberadaan mereka ditengah suku bangsa semula She di wilayah Nam Viet itu sangat minim, sehingga sering terjadi pergesekan budaya dan persengketaan wilayah antar bangsa disana, yang akhirnya onar meletus sehingga mendapat perhatian Kaisaryah Tang untuk segera menekan dan mengamankannya, maka Maharaja Tang Gao-zong perlu seketika mengirimkan pasukan Tang ke selatan sana.

Saat itu, Tang masih tersangkut dalam peperangan ekspansi di Xinjiang dan tidak ada sisa tentara kerajaan yang bisa dikirimkan ke selatan. Kebetulan masih ada Garison Marga Tan yang berada disudut tenggara Henan, yang ini merupakan sisa sistem garison kekeluargaan dari peninggalan Dinasti Shui yang tidak lama itu sudah ditumpas oleh Tang, maka dikirim Garison Marga Tan dari kabupaten Gushi itu untuk kampanye pengamanan wilayah di selatan. Ternyata dari gara-gara expedisi militer ini, dari abad 8 sampai 10 Masehi, menjadikan transmigrasi Tionghoa Utara ke selatan yang kedua kalinya dalam sejarah.

Bergelombang pasukan Tang dari garison Gushi itu menuju ke tujuannya, itu merupakan perjalanan yang panjang dan sulit untuk mencapai ke daerah dimana ada kegaduhan di Min-nan, sepanjang jalan tidak kurang ada yang jatuh sakit dan meninggal dunia dari malaria, ini termasuk panglimanya sendiri Jendral Tan Ceng (Chen Zhen).

Dalam gelombang pertama yang dikirimkan pada tahun 670 AD itu, terdiri dari 3600 orang dari sebanyak 58 marga Tionghoa, karena panglimanya mendadak meninggal dunia, lalu disusul dengan gelombang kedua yang lebih besar, sebanyak 7000 orang dari 90 marga, yang ini dipimpin oleh Jendral Tan Wan Kong (Chen Yuan Guang) anaknya Tan Ceng yang masih jejaka, beserta neneknya, mantan putri bangsawan Dinasti Shui yang berpendidikan militer, untuk membimbing jejaka jendral Tan Wan Kong ke Min-nan.

Ekspedisi untuk menumpas huru hara di Min-nan itu juga unik, mungkin selain untuk menenangkan keadaan kegaduhan, juga untuk menanam lebih banyak Tionghoa Han yang kuat disana. Dengan demikian, selain terdiri dari prajurit yang masih jejaka, banyak yang sudah berkeluarga, sekalian keluarganya boleh dibawa kesana untuk kemudian menetap di Min-nan.

Setiba Pasukan Tang tersebut di Min-nan, mereka terus mendirikan benteng tangsi dipegunungan diutaranya Xiamen yang mendekati wilayah suku She diselatannya. Tangsi Tang mereka itu berupa bangunan tembok benteng tanah liat yang melingkar dalam bentuk persegi dan juga ada yang bulat, itu merupakan desain benteng tangsi untuk pertahanan dari serangan Barbar sejak zaman Han yang sudah turun temurun ribuan tahun berada di Tiongkok Semula. Dibangunan yang sekarang disebut Bangunan Tanah (Tu-lou) itu, sehari-harinya mereka berkehidupan sebagai petani yang menggarap tanah sambil bersiaga sebagai tentara.

Kegaduhan suku She itu ternyata bisa disirepkan secara diplomatik oleh Jendral Tan Wan Kong. Setelahnya terjadi kehidupan harmonis diantara mayoritas suku She dan minoritas Tionghoa Tang disana.

Sebagian orang Tang asal Gushi Henan itu kembali ke utara, tetapi para jejaka dan kebanyakan keluarga yang menemukan daerah di Min-nan itu, lebih subur dan lebih hangat dari keadaan di Dataran Sentral sana, mereka terus berbaur dengan suku She dan menetap sebagai orang Min-nan.

Ini terus membuka jalan lebar bagi migrasi orang dari Gushi Henan ke Min-nan, terutama sewaktu keakhiran Dinasti Tang di abad 9 Masehi, dimana terjadi pemberontakan jendral-jendral yang berkenaan dengan Pergolakan Huang Chao, terjadilah transmigrasi massal kedua dalam sejarah yang berlasung sampai abad 10.

Sejak itu terjadilah secara merata pembauran antar suku She dan Tionghoa Tang di Min-nan, dari generasi ke generasi keturunannya tetap memperingatkan diri mereka dengan identitas orang Tang, maka terjadi Tanglang yang merupakan orang Hokkian, dimana dalam diri mereka mengalir darah dari ibu She dan ayah Tang.

Itulah Tanglang, yaitu orang Hokkian keturunan Tionghoa Tang yang akarnya di Gushi Henan, yang sekarang sudah menyebar mewakili Hoakiao kebangsaan Tionghoa dimana saja.

Dibawah pimpinan Jendral Tan Ceng dan Tan Wan Kong, prajurit dari Garison Marga Tan itu juga kebanyakan bermarga Tan, sehingga kebanyakan Tanglang sekarang bermarga Tan yang menjadikan penduduk terbanyak di Hokkian.

Benteng tangsi pasukan Tang tadi itu masih berada disana, setelah beberapa ratus tahun ditinggalkan dan diterlantarkan oleh orang Tanglang, dikemudian harinya tangsi Tulou itu diambil alih orang Hakka yang merantau dari Jiangxi sewaktu Song Selatan, mereka menemukannya maka digunakan untuk berteduh dan menjaga diri mereka disana, kemudian juga diperkembangkannya sampai menjadi pemukiman Hakka di Hokkian yang seolah-olah menjadi ciptaannya sampai sekarang. Suatu ketika diwaktu Perang Dingin diabad lalu, kompleks Tulou ciptaan orang Tanglang tersebut disalah kirakan bangunan silo rudal balistik Tiongkok.

Hokkian:

Hokkian adalah lafal Holo dari propinsi Fujian di Tiongkok Tenggara, salah satu dari 23 propinsi Tiongkok yang bertatap muka dengan Pulau Taiwan.

Hokkian ini diperoleh Han, dibesarkan Jin dan dijayakan Tang.

Dalam kenyataan Hokkian ini wilayah Min yang dicakup Tionghoa Han semenjak 2000 tahun lalu dari Nam Viet, yang kemudian dizaman Dinasti Tang diabad 8 Masehi dibentuk oleh Marga Tan yang berkampanye militer disana.

Di Tiongkok sendiri, Hokkian masih selalu disebut Min, sehingga kampung halaman Tanglang adalah Min-nan, dan bahasa Holo yang merupakan bahasa Tionghoa semula masih dibicarakan sebagai dialek Hokkian, juga disebut dialek Min-nan.

Pemimpin Garison Marga Tan yang berasalkan Gushi Henan, Jendral Tan Wan Kong, setelah beliau tidak saja berhasil menentramkan huru hara bentrokan antar suku, juga terus menggarap wilayah pemerintahannya di Zangzhou, disana mengajikan keadatan Tang dan memakmurkan penghidupan rakyatnya yang semula primitip, sehingga menjadi kebangsaan Tionghoa yang rukun berbaur, upaya tersebut mendapatkan penghargaan tinggi dari Maharatu Wu Ze-tian, maka dianugrahi gelar Pangeran Pendiri Zhangzhou di Min-nan.

Setelahnya, beliau mengajukan petisi kepada Maharaja Tang Xuan-zong untuk penamaan Min-nan tersebut menjadi Propinsi Fu-jian, nama yang diambil untuk menyatukan daerah yang meliputi kota Fuzhou di muara Sungai Min di utara sampai wilayah Min-nan di kota Jian-an di muara Sungai Jin di selatan, maka Fujian terbentuk dari singkatan nama 2 kota, Fu dan Jian tadi itu, dari itulah menjadi Hokkian ditahun 733 Masehi.

Bila sekarang menanya orang Tionghoa di perantauan atau Hoakiao, siapa mereka? Serentak jawabannya: "Tanglang", yang dalam ejaan Kanton di Hong Kong adalah Dong Yan, maka Pecinan simbol pemukiman Tanglang dimana saja juga disebut Dong Yan Gai atau Tang Ren Jie, artinya Straat Cina yang dalam Inggris-nya disebut Chinatown, di situ, Tionghoa menandakan keberadaan mereka.

Hokkian merupakan kampung halaman Tanglang, yang Hoakiao di perantauan mengingatinya sebagai Bumi Tang, Tangshoa, namum Tanglang pun mengingatkan diri dari mana akar mereka, dari Gushi Henan.

Meskipun berketurunan di perantauan dari Sabang sampai Merauke, Tanglang juga masih mempertahankan yang mereka sebut Tanghong, yaitu Budaya Tionghoa disepanjang masa.

Nama Tanglang kita masih dalam dialek Min-nan, fosil hidup bahasa Tionghoa semula. Dituturkan oleh Tanglang Tjio Hock Tong.

Monterey Park, CA. 21 Desember 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun