Di Kediri, Jawa Timur ada semarga keturunan Tionghoa Djie yang silsilahnya jelas berasalkan Xiamen, Hokkian yang ke Nusantara, pada saat ini mereka juga sudah menyebar ke mana-mana.
Sangat menarik bila menelusuri asal muasalnya marga ini yang di Tiongkok. Lain daripada kebanyakan hikayat marga-marga Tionghoa yang bermuluk-muluk diceritakan sebagai keturunan dari ketiga raja-raja Huang-di, Yan-di atau Chi-you yang dipercaya merupakan pemula kebangsaan Tionghoa di jaman purba kala, Marga Djie yang Mandarin-nya Xu ini jelas bisa ditelusuri asal usulnya sejauh 3000 tahun, dan juga tidak berkecampuran dengan marga lain yang menggabung kedalamnya, sehingga dari sebanyak 22,000 shemarga Tionghoa yang pernah ada, boleh dikatakan Djie itu adalah salah satu she yang tertua, bisa diurut ketulenannya dan bisa dipercaya riwayat terbetuknya.
Alkisah sejauh 4000 tahun lalu, sudah ada perantauan bangsa-bangsa berasalkan dari Iran dan Irag tiba di Bumi Timur Jauh yang mendirikan kerajaan Xia, Shang dan Zhou, 3 dinasti terdini yang membuka Tiongkok Semula di Henan. Terus menerus ada kedatangannya bangsa-bangsa dari Asia Tengah tersebut, yang juga membawakan kebudayaan mereka, sehingga pada suatu ketika terbentuklah kebangsaan Tionghoa sekarang ini.
Ada sekelompok bangsa Qin yang merupakan sisa suku Menasseh dari Israeli kuna. Israeli kuna bukan Yahudi, mereka seeyang dengan bangsa Arab, yang pernah diperbudakan oleh Assyria di Babilon, juga tiba di daerah Gansu di barat Kaisariah Zhou (1046-256 BC). Mereka membawa kuda yang sebelumnya tidak ada di Tiongkok Semula, dan menjadi penyuplai kebutuhan pasukan Kaisaryah Zhou, lama kelamaan pimpinan bangsa Qin yang bermarga Ying itu mulai mendirikan kerajaan kecil Qin diluar Kaisaryah Zhou.
Keturunan marga Ying dari Kerajaan Qin yang di Barat ini mulai menyabang kebagian timur dari Kaisaryah Zhou, dan juga mendirikan beberapa kerajaan kecil Marga Ying lainnya, seperti Negeri Xu , Tan , Lv (lu) , dan sebagainya.
Konon, Negeri Xu yang di sekarang Kabupaten Sihong, Jiangsu situ menduduki tanah subur yang bisa disebut "bakul nasi" di sekitar danau besar Hongze dan kali besar Huai-he. Sewaktu Dinasti Zhou dibawah kuasa Raja Mu-wang dari tahun 976 hingga 922 BC, Negeri Xu ini sudah menjadi sangat makmur di "Laut Timur" Tiongkok dibawah pimpinan Pangeran Ying Yan.
Pangeran Ying Yan sangat cakap mengatur negerinya dengan mengajukan industri kerajinan tangan, pertenunan sutra dan pertanian beras, sampai berkelebihan yang bisa diekspor ke negeri disekelilingnya.
Negerinya menjadi makmur dan sangat tenteram, yang ini sampai mengagumkan banyak negeri adipati Kerajaan Zhou yang mengitarinya untuk datang berdagang dengannya. Ternyata Negeri Tjio yang di Henan juga ikut membeli bahan sandang pangan dari Xu dizaman itu. Menjadikan Negeri Xu ini pusat perniagaan dibagian timur Tiongkok sewaktu itu.
Suatu ketika, Pangeran Ying Yan yang sudah menjadi cukong didaerah Laut Timur Tiongkok ini berambisi mau mencaplok kerajaan Zhou, yang pada saat itu sudah kelihatannya merosot dan terpecah-belah menjadi ratusan negeri adipati.
Atas bujukan Perdana Mentri Tao You, bahwa sudah tiba pada waktunya, karena ada isyarat dari Tuhan yang berkali-kali dipertunjukkan padanya. Yaitu, sewaktu Sang Pangeran menjuruskan kedua tangannya keatas langit pada suatu upacara pengucapan sukur buat panen baik dalam tahun itu, sekonyong-konyong ada petir melintas diatasnya, dan diatas langit Danau Hongze pun segera menjadi merah. Sekali lagi, sewaktu Pangeran membawa anak-anak dan menterinya pergi meninjau proyek saluran air, melihat 30,000 buruh sedang membanting tulang menggali saluran disana, dia juga ikut turun tangan memacul tanah, tak tersangka bisa tergali sebuah panah berwarna merah yang terpendam disitu. Kedua kejadian ini dianggap isyarat tepat untuk menggantikan Imperial Zhou dengan dirinya.
Juga datanglah saatnya, ketika Raja Zhou Mu-wang yang sedang terbenam dalam kemesraan percintaan dengan seorang ratu cantik, yang bernama Jiang Huan dari kesukuan Persia Danau Yao-chi di Gunung Kunlun, terletak di Heavenly Lake Tian-chi dekat Urumqi, Xinjiang yang berkejauhan dari wilayah hunian kerajaannya di Luoyang, Henan.
Zhou Mu-wang menyangka Ratu Jiang Huan ini sang Dewi Abadi dari Surga Barat, yaitu Xi-mu Niang-niang dalam kepercayaan Taoisme, maka dengan mengendarai kereta kencana 8 daya kuda berpelesiran kesana, dan berbulan-bulan tidak pedulikan masalah kerajaannya lagi.
Raja Mu-wang segera terbangun dari impian manisnya dan kembali memimpin pasukannya. Dia memerintahkan negeri adipati Chu di selatan yang besar untuk bergabung dengan semua negeri adipati yang biasanya berniaga disekeliling Xu, supaya serentak mengepung dan dalam sekejab mata memusnahkan pasukan negeri Xu. Begitupun Pangeran Ying Yan terbangun dari lamunan menggantikan Mu-wang sebagai raja, terkalahkan dan negerinya juga hancur lebur.
Memaksa Pangeran Ying Yan membawa putra sulungnya melarikan diri ke pegunungan tembaga Tongshan yang terletak disebelah utara negeri asalnya, dan mengungsi di Negeri Peng. Dia mengutus putranya yang kedua Ying Zong supaya memimpin rakyatnya menyerah pada Raja Mu-wang.
Putra Ying Zong jadinya menyelamatkan seluruh rakyatnya bebas dari pembantaian setelah menyerah, lagi pula Raja Mu-wang malah menganugrahi gelar adipati untuk meneruskan posisi ayahnya untuk memimpin Negeri Xu yang sekarang dicakup ke dalam kerajaan Zhou.
Marga Ying yang keseluruhannya telah berlangsung 900 tahun mendirikan Negeri Xu di daerah Laut Timur (Dong Hai), disekarang propensi Jiangsu dan Shandong ini, akhirnya juga dimusnahkan secara total oleh Raja Zhou Jing-wang pada masa keakhiran Dinasti Zhou ditahun 512 BC. Sehingga bangsawan Xu yang berasal dari Pengcheng / Xuzhou itu harus mengungsi kedaerah Henan di barat, tetapi kebanyakannya hanya pindah di kedekatan timurnya saja, ke bekas Negeri Tan di Tancheng, Linyi, Shandong.
Mereka harus meninggalkan nama marga Ying, dari Ying ini terus digantikan Marga Xu saja, untuk memperingati kejayaan Negeri Xu yang pernah jaya di Laut Timur Tiongkok tadi.
Sedangkan untuk keturunan mereka yang telah menyebar dimana saja, bisa mengenal satu dengan yang lain di kemudian hari, mereka mengidentitas dirinya sebagai "Keluarga Besar Dong Hai", yang artinya marga Laut Timur Tiongkok. Maka terbentuklah Marga Dong Hai Xu itu sejak jaman Dinasti Zhou tahun 215 BC.
Di Tancheng situ terlahirlah keturunan yang bernama Xu Bao, dialah yang dikemudian hari menjadi eyang dari seluruh "Dong Hai Tang" Marga Xu, Hsu, Tsui, Djie, Chee, Seo, dan Jo diatas bumi ini. Makam Xu Bao terletak di Bao-gong-dun, Tancheng, Linyi, Shandong yang disana pada permulaan bulan April setiap tahunnya masih diadakan upacara Ceng Beng Marga Xu sedunia.
Pangeran Takihito, saudara kandungnya Kaisar Hirohito, pada abad lalu menyatakan bahwa beliau dan keluarga kerajaan Jepang adalah keturunan dari Jo Fuku, yaitu Xu Fu atau Djie Hok asal dari Tiongkok. Keterangan ini tidak bisa disangsikan karena pangeran tersebut memang seorang sejarahwan kebangsaan dan penata silsilah famili kerajaan Jepang yang bonafide.
Dua kali Qin Shihuangdi mentah-mentah ditipu oleh Xu Fu ini, untuk mencarikan eliksir umur panjang di Lautan Timur, akhirnya dia membawa semua harta karun pemberian Kaisar Qin, bersama 6000 orang gadis dan jejaka, seniman, tukang kerajinan tangan, tabib, dan pengawalnya lenyap tidak kembali lagi, karena sekitar 2200 tahun lalu mereka telah mendarat di Jepang.
Menurut catatan dari "Konjaku Monogatarishu" (Kumpulan Cerita Hal-hal Kuna dan Sekarang), buku sejarah karangan seorang bangsawan Jepang Minamoto no Takakuni ditahun 1004, bahwa Jo Fuku dan rombongannya mendarat di Pantai Bubai daerah Kota Saga, mereka yang menjadikan eyang bangsa Jepang dikemudian hari, dan Jo Fuku sendiri adalah Maha Kaisar Jinmu Tenno, kaisar Jepang yang pertama.
Jo Fuku menetap di Kabupaten Wakayama-ken, Kota Shingu-shi, di Semenanjung Kii-hanto, Pulau Honshu sampai akhir hidupnya. Pada tahun 1736 kuburannya pernah dilestarikan oleh Shogun Tokugawa Yorinobu sewaktu beliau berkunjung di Kuil Asuka dan sekarang disana dijadikan Taman Xu Fu.
Selama 8 tahun dari 1938 sampai 1945, daerah sekitar bekas Negeri Xu dan tempat asalnya Xu Fu di Laut Timur itu tetap tidak terganggu dalam rangka agresi fasis Jepang yang membumi hanguskan Tiongkok. Mereka sekedar menghancurkan Tionghoa untuk kehendakan mengambil kembali tanah leluhur yang pernah ditinggalkan kaisar pertamanya itu, namun akhirnya seperti Xu Fu sendiri yang mendapatkan ketentraman dalam jalan hidupnya hanya menetap di seberang Laut Timur. Dua negara sebangsa dan seketuruan, Jepang dan Tiongkok, semestinya harus hidup berdampingan dalam perdamaian dan kesejahteraan bersama.
Oleh: Anthony Hocktong Tjio.
Monterey Park, CA. 10 Oktober 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H