MEMBAHASRITUALBAKARTONGKANGBAGAN SIAPI-API
Oleh: Anthony Hocktong Tjio / Diaspora Indonesia.
Perayaan pembakaran kapal tongkang telah merupakan atraksi wisata unggulan di Kecamatan Bangko, Kabupaten Rokan Hilir, Kota Bagan Siapi-api, Riau, ini merupakan ritual keturunan Tionghoa Hokkian setempat yang sudah berlangsung lebih dari seratus tahun disana. Setelah mengalami hiatus sekitar 30 tahunan semasa Orde Baru, sejak tahun 2000 mulai diselenggarakan lagi sehingga tambah membara setiap tahunnya.
Konon hampir 2 abad lalu ada sekelompok Tang-lang (Tionghoa keturunan Hokkian) yang mendarat diwilayah yang sekarang Kota Bagan Siapi-api. Ceritanya mereka semula adalah perantau yang berlayar dari Hokkian ke Laut Selatan untuk mencari hidup yang lebih layak di Nanyang, dan telah tiba di Songkhia, Thailand ditahun 1825, tetapi kemudian terpaksa melarikan diri untuk menghindari musibah yang sedang melanda disana. Kaum pengungsi tersebut menggunakan 3 tongkang, yaitu perahu yang dasarnya rata untuk mengangkut pasir atau hasil tambang yang biasa dipergunakan dipertambangan di Malaysia dan sekitarnya, 2 tongkang diantaranya tenggelam dilanda badai, tetapi satu tongkang terachir berhasil menemukan daratan dan berlandas dengan selamat disuatu pantai yang penuh kunang-kunang dimalam hari. Kelompok warga yang aman mendarat itu terdiri dari 18 lelaki dan wanita dari Marga Ang asal Kabupaten Tong-an didaerah Xiamen. Mereka mulai menggarap tanah tersebut untuk menetap disana, dan mereka temukan juga diperairan sana pun kaya dengan sari laut, karenanya patut mereka juga meneruskan pecarian hidup mereka sebagai nelayan.
Mengingat ada dua arca dewa-dewa Tuan Raja (Ong Ya) yang menyertai dalam perantauan mereka, Tai Sun Ong Ya dan Kie Ong Ya, yang dianggap telah menyelamatkan mereka itu, maka didirikan klenteng Taoisme Ing Hok Kiong demi tetap mendapatkan perlingdungan keselamatan dan kemakmuran warga mereka disepanjang masa, sehingga mereka telah menemukan penghidupan baru yang bahagia disana. Kuala Sungai Rokan yang penuh kunang-kunang dimalam hari yang ditemukan pada tanggal 16 bulan 5 Imlik ditahun 1826 Masehi tersebut, kemudian menjadi Kota Bagan Siapi-api.
Dengan ketekadan untuk menetap ditanah-air baru ini, mereka tidak lagi akan meninggalkannya maupun kembali ke Tiongkok, maka dibakarlah tongkang semula yang pernah mengangkut mereka itu.
Begitulah hikayat pembakaran tongkang oleh pendatang Tanglang dipedusunan nelayan Rokan Hilir waktu dulu itu. Sekarang bisa timbul 3 pertanyaan yang bersangkutan dengan ritual Bakar Tongkang yang dirayakan di Bagan Siapi-api jaman ini.
1.Apakah pembakaran “tongkang semula” merupakan dasar yang menjadi tradisi Bagan Siapi-api sekarang ini?
2.Apakah benar Bakar Tongkang Bagan Siapi-api merupakan tradisi yang unik hanya satu-satunya di dunia?
3.Apakah sebenarnya makna ritual Bakar Tongkang itu?
PERTAMA:
Warga Ang membakar tongkang yang pernah mengangkut mereka dengan selamat, bisa jadi ini disebabkan mereka dibawah pimpinan tau-ke Ang Mie Kui (Ang Nie Kie) bersemangat tetap berjuang terus ditempat ini setelah tongkang dibakar, karena mereka berketetapan hati untuk tidak akan pindah dari Bagan setelah berhasil hidup makmur dalam usaha penangkapan ikan disana. Tetapi hal pembakaran kapal itu juga serupa dengan tradisi yang sudah ada didaerah Tong-an Xiamen di Hokkian ratusan tahun sebelumnya, disana disebut upacara “Sang Ong Chun” (Mengantar Kapal Raja), dan kebetulan semua 18 warga Ang tersebut juga berasal dari sana. Hanya saja bakar kapal tidak dilanjutkan sampai setengah abad setelahnya.
Karena disana berlimpahan sumber perikanan sehingga juga mendatangkan lebih banyak nelayan-nelayan dari Hokkian di Bagan pada achir abad 19 dan permulaan abad 20, dan mereka ini yang membawa tradisi “Sang Ong Chun” dari Xiamen, maka bisa jadi pembakaran tongkang oleh warga Ang semula telah memberi inspirasi pendatang baru, yang dikemudian hari Bagan telah merupakan kota yang makmur sebagai penghasil ikan yang besar, untuk mereka melanjutkan adat leluhur ritual bakar kapal sebagaimana di Tong-an Xiamen, dan ditayangkan sebagai Bakar Tongkang “Sio Ong Chun” Bagan Siapi-api sekarang ini. Hanya saja perayaannya disesuaikan dengan peringatan hari tibanya ke-18 warga Ang semula pada tanggal 16 bulan 5 Imlik yaitu Goh-cap-lak setiap tahunnya.
KEDUA:
Selain di Bangko juga ada perayaan Bakar Tongkang Hok Tek KiongPanipahan di Rokan Hilir, bahkan jauh sebelumnya, di Taiwan pun sudah ada. Maka Bakar Tongkang Bagan Siapi-api bukanlah satu-satunya didunia yang seperti pernah dinyatakan.
Taiwan merupakan negara pulau yang terletak diseberang selat dari Hokkian, sedikit-dikitnya ada 5 kawasan secara tradisi menyelenggarakan upacara “Ong Chun Ki” (Sembahyang Kapal Raja) disana, terutama yang di Klenteng Tong Liong Kiong, Kecamatan Donggang Kota Pingdong yang membuat kapal sangat mewah untuk dibakar.
Kapal Raja yang mewah sedang diarak didepan Tong Liong Kiong di- Taiwan.
Penyelengaraannya berlainan dengan Bakar Tongkang Bagan Siapi-api, di Taiwan diselenggarakan setiap 3 tahunan, yaitu pada tahun-tahun Sapi, Liong, Kambing dan Anjing. Bukannya pada Goh-cap-lak, tetapi pada bulan 9 Imlik yang tanggalnya ditentukan dengan melemparkan 2 keping kayu, yang berbentuk kacang mente warna merah, didepan altar dewa-dewa untuk menanyakan hari baiknya “Ong Chun Ki” tersebut.
Setelah ditetapkan hari baiknya, mulai mengumpulkan sumbangan dana dari masyarakat, dan secara gotong royong sebuah kapal kayu mewah dibuat ditempat pabrik kapal raja yang tertentu. Perayaan bakar kapal tersebut akan berlangsung selama 7 hari. Hari pertama dikatakan hari penyambutan Dewa Tuan Raja, dari hari kedua selama 4 hari berturut-turut akan mengarak-arakkan Dewa Tuan Raja keliling kota untuk masyarakat sepanjang jalan bersembahyang minta diberkati selamat, pada hari keenam kapal diperdiamkan dihalaman depan klenteng, dan pada hari ketujuh diarak kepantai untuk ditaburi kertas sembahyang mas (kim) yang biasanya menumpuk seperti bukit mengitarinya, dan pada petang hari yang telah ditetapkan itu diadakan upacara mengantar Dewa Tuan Raja yaitu pembakaran kapal secara meriah sebagaimana suasana di Bagan Siapi-api.
KETIGA:
Ritual bakar kapal adalah perayaan menghormati Ong Ya, sedangkan asal muasal legenda dewa raja-raja Ong Ya tersebut ternyata juga masih membingungkan, diantara beberapa versi yang telah bermunculan, hanya satu ini yang bisa dipercaya dan masih beredar dimasyarakat sekitar Xiamen dan Taiwan.
Menurut kepercayaan bahwa Dewa Tuan Raja, Ong Ya, semulanya adalah mahasiswa-mahasiswa jaman Dinasti Tang, maka mereka adalah orang Tang yaitu Tang-lang. Konon pada suatu pertempuran, Kaisar Tang Tai-zong Li Shi-min (598-649 AD) terkepung dalam kebahayaan, ada pengawalnya yang bernama Oen Hong memimpin 35 sesama mahasiswa lainnya menekadkan diri meraka untuk menolong sehingga Kaisar diamankan. Setelahnya, ke-36 mahasiswa tersebut masing-masing diberi gelar raja yaitu Ong Ya (layak sultan) dan mereka ditugaskan sebagai jaksa untuk berkeliling mengamati keamanan diwilayah negeri Tang. Pada suatu ketika sedang melakukan tugasnya diperairan Hokkian Selatan, kapal yang ditumpanginya tenggelam dalam kecelakaan sehingga semua Ong Ya tersebut tewas bersama. Pada saat itu dikatakan ada yang menyaksikan suatu cahaya cerah dari permukaan laut yang menuju kelangit, maka dianggap bahwa ke-36 Ong Ya telah menjadi dewa-dewa. Setelah Kaisar menerima kabar naas tersebut segera mengabadikan ke-36 Ong Ya tersebut masing-masing sebagai Dewa Tuan Raja, dan memerintahkan membuat satu kapal besar bernama “Oen Ong Chun” (kapal raja Oen) untuk memuat arca-arca mereka, gunanya untuk tetap mewakili Kaisar keliling mengamati keselamatan rakyatnya dan memburu kejahatan, “Tee Tian Sun Siu”. Selain itu diperintahkan bahwa pemerintah daerah dan rakyat setempat harus memberi sesajian dan hormat kepada para Dewa Tuan Raja dimana saja tibanya kapal tersebut.
Dari dasar cerita inilah dipercaya tempat kelahiran ritual Bakar Kapal Raja adalah didaerah Xiamen, di Hokkian Selatan kira-kira 500 tahun lalu, disana dilaksanakan setiap 4 tahun yang terpaksa terputus selama kurang lebih 40 tahun gara-gara Revolusi Budaya, sekarang masih ada tiga dusun yang mulai menyelenggarakannya lagi sejak tahun 2006. Bakar Kapal Raja di Xiamen ini dinamakan “Sang Ong Chun” (Mengantar Kapal Raja) yang tata prosesi penyelanggaraannya selama 7 hari sebagaimana yang telah disebarkan ke Taiwan dan menjadi “Ong Chun Ki” itu.
Dari semula “Oen Ong Chun” dijaman Dinasti Tang, lalu digelarkan sebagai bakar kapal yang disebut “Sang Ong Chun” di Xiamen dan “Ong Chun Ki” di Taiwan sejak jaman Dinasti Ming, sampai “Sio Ong Chun” di Bagan Siapi-api sejak 1878, adalah ritual sembahyang pada Dewa Tuan Raja, yang dalam kepercayaan bahwa dewa raja-raja seperti Tai Sun Ong Ya dan Ki Ong Ya yang dibawa ke Bagan waktu dulu itu adalah Wali Kaisar jaman dulu yang masih berkeliling untuk menjaga tertib keamanan dan memburu kejahatan didaerah (Tee Tian Sun Siu), maka dewa-dewa raja diundang datang dan dikelilingkan dikota untuk dihormati oleh rakyat disekitarnya, lalu diantar kembali dengan kapal bersama tumpukan bukit sesajian kertas mas yang dibakar, itu semuanya merupakan suatu ritual rakyat jelata Tanglang yang menyandarkan rohani mereka kepada dewa-dewa Taoisme demi keselamatan mereka diperantauan.
Pendatang semula 18 orang warga Ang adalah berasal dari Tong-an Xiamen dan mereka membawa dua arca Ong Ya, semestinya mereka sadar adanya ritual bakar kapal yang memang berasal dari tempat asal mereka di Tong-an itu juga. Sedangkan apakah pembakaran tongkang semula yang dilakukan mereka itu sekedar unjuk rasa tekad untuk tidak akan pindah keluar dari Bagan, ataukah karena mereka berasa sukur kepada para Ong Ya yang telah menyelamatkan mereka hidup di Bagan, lalu mereka menyelenggarakan Bakar Kapal Raja dengan caranya sendiri, entahlah sekarang, namun tradisi bakar kapal tidak diteruskan oleh mereka sebelum adanya pendatang Tanglang lainnya dan keturuan mereka yang dikemudian hari memulai melaksanakan ritual Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api, dan sekarang menjadikan Goh-cap-lak sebagai fosil hidup ritual Hokkian disana.
Tahun ini Go-cap-lak jatuh pada tanggal 13 Juni 2014.
‘Utlub il ‘ilma wa law fis-Sin. “Strive for knowledge even as far as China”.
Monterey Park, 30 Mei 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H