Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Laksamana Muslim Mahmud Shamsudin Cheng Ho

28 Juni 2014   00:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:32 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
China's Great Armada Map

Ada peraturan baru pada waktu itu yang mengharuskan semua keturunan asing di Kekaisaran Ming untuk mengganti nama dalam aliran Tionghoa, layak keturunan Tionghoa memakai nama aliran Indonesia sejak era Order Baru, karena itu bagi yang bernama seperti Muhammed, Achmad, Mansoor, Mahmud dan sebagainya, pada umumnya menjadi marga Ma yaitu marga Bhe di Indonesia, tidak semua Ma berarti Muhammed, dan Mahmud Sham ed-Din / Shamsudin diberi nama baru: Ma He / Bhe Ho.

Sewaktu juragan Pangeran Zhu Di mengadakan kampanye kudeta untuk merebut tahta kaisar Ming, Zhu Di terkepung dan hampir terbunuh oleh pasukan Ming musuhnya disuatu pertempuran terletak di Bendungan Dusun Cheng (Zheng-cun-ba) disebelah timur Beijing, pada saat itu Ma He yang telah menjadi kasim pengawal pribadi Zhu Di memberanikan diri untuk membela dan mengamankannya, sehingga Zhu Di berhasil lolos dan menyelamatkan diri dari pertempuran yang naas tersebut. Setelah Zhu Di berhasil merebut tahta sebagai Kaisar Ming Yongle di Nanjing, untuk menghargai kenekadan tersebut, Ma He dianugrahi kehormatan ganti nama Zheng untuk memperingati tempat dalam pertempuran tersebut, maka Ma He menjadi yang kita kenal sekarang, Zheng He atau Cheng Ho.

Patung Cheng Ho di Museum Maritim Quanzhou Hokkian.(foto: AH Tjio).

Nama kecil beliau adalah Sampo, itu adalah nama kanak-kanak Muslim yang umum di Yunnan, artinya anak ketiga dan bungsu kesayangan, kemudian nama itu pun menjadi juga nama kehormatan beliau Sam Po Kong yang maksudnya Yang Mulia Sam Po, dan oleh kalangan Hoakiaw makna Sam Po tersebut juga telah di-interpretasikan sebagai “trisakti” atau “tiga pusaka” dan lain-lain, demi memuliakannya.

Di Jawa Tengah ada sebutan Dampo Awang, itu tidak lain lafal Jawa dari sebutan dialek Hokkian “Sam-po Tua-lang” yang artinya Bapak Pembesar Sam Po. Namun yang disebut Dampo Awang itu adalah Cheng Ho atau Ong Khing Hong, meskipun apakah Cheng Ho memang pernah turun di Semarang, masih perlu diteliti lebih lanjut. Ong Khing Hong adalah wakil laksamana dan juru mudi, merupakan tangan kanan Cheng Ho yang melanjutkan pelayaran armada setelah Cheng Ho meninggal dunia di tahun 1433, dia juga mempunyai nama kecil Sam Po yang sama, dia yang achirnya tinggal dan menetap dan juga kemudian dikebumikan di Gedung Batu Simongan dekat Semarang. Satu lagi, Sam Po Swie Ho adalah pembantu rumah tangga Cheng Ho yang memperistri Ronggeng Sitiwati dan makamnya di Ancol Jakarta.Tentu masih ada banyak Sampo lainnya yang tidak sampai tercatat dalam sejarah. Hampir dari separuh hidupnya Cheng Ho berlayar menyelimuti perairan Nusantara dan Lautan Hindia, memimpin armada yang terdiri dari puluhan kapal bersama ribuan awak kapal serta pasukan pengawalnya. Dimasa tanpa teknologi canggih seperti GPS, beliau mendahului orang Barat berani memimpin misi explorasi raksasa, diantaranya meratakan rintangan perompak di Riau, mendamaikan persengketaan dan perang saudara di Jawa, dan dengan misi damai mengemukakan perniagaan antar negara, mendatangkan dan mengantar pulang duta-duta tidak kurang dari 35 negara disepanjang Jalur Sutra Maritim untuk mengenal Tiongkok. Namun Cheng Ho tidak menyelesaikan pelayaran ketujuhnya, karena pada pelayaran yang terachir ditahun 1431-1433 tersebut, keadaan kesehatan beliau telah memburuk, dan sewaktu dipantai Malabar dekat Kalkuta India, dalam pelayaran kembalinya beliau meninggal dunia. Menurut peraturan dalam pelayaran, dengan peradatan Islam jenazahnya segera diturunkan dilaut. Dua makam prasasti adat Muslim kemudian juga didirikan di Tiongkok.

China's Great Armada Map
China's Great Armada Map
Peta pelayaran Cheng Ho. (Gambar dari National Geography). Setelah Cheng Ho meninggal dunia dalam pelayaran ketujuh kalinya pada tahun 1433, armada Cheng Ho yang sekarang jatuh ditangan-kanannya yaitu Ong Khing Hong masih berlayar sekali lagi dengan misi perdagangan ke Nusantara. Setelahnya, seluruh armada untuk terachir kalinya dibubarkan sekembalinya di Tiongkok. Akibatnya melemahkan wibawa Ming diarena maritim, menyebabkan perompak Samurai berbadaian menyerang pesisir Laut Timur Tiongkok termasuk Teluk Zaitun Hokkian, sehingga Kaisar Ming mengeluarkan perintah penyegelan pantai yang selanjutnya melarang pelayaran keluar masuk Tiongkok, ini berlangsung selama tiga abad. Dengan demikian tamatlah riwayat Jalur Sutra Maritim yang berabad-abad telah mendatangkan kemakmuran antara Teluk Zaitun dan Teluk Persia, yang juga mengakibatkan runtuhnya perekonomian di Kerajaan Champa yang selama itu merupakan titik persinggahan dipertengahan Vietnam sekarang. Maka dari itu puluhan bahkan ratusan ribu keturunan diaspora Muslim Tionghoa, yang semula mengungsi dari Teluk Zaitun Hokkian maupun dari Dali Yunnan dan telah bermukim di Champa sejak jatuhnya Tartar Mongol seabad sebelumnya itu, untuk mereka bergerak melanjutkan hijrah ke Malaya, Sumatra dan pesisir utara Jawa, disepanjang Jalur Rempah yang dipelopori oleh armada Cheng Ho. Hal ini yang memungkinkan pedagang pengembara Muslim Tionghoa asal dari Hokkian dan Yunnan menjadikan Hindhu Majapahit mualaf Islam dikemudian harinya. Dari kecil Cheng Ho jadi kasim pengabdi istana, maka juga tidak tinggi berpendidikan, selalu dikelilingi sedikit-dikitnya lima juru tulis dan ahli bahasa (Urdu), maupun anak kapalnya kebanyakan adalah Muslim Tionghoa keturunan Persia, juga ribuan pasukan pengawalnya adalah dari Garison Persia Shao-wu Hokkian yang dulunya memusnahkan pasukan ayahnya di Yunnan. Seumur hidupnya beliau seorang yang pendiam dan penyendiri yang achirnya juga ditinggalkan di samudra sebagaimana layaknya seorang pelaut. Namun jasanya tidak pernah dihargai oleh negaranya sendiri, maupun berabad-abad harus dilupakan oleh bangsanya. Cheng Ho mengabdi jiwa pleuralisme dan solidaritas masyarakat tanpa mengemukakan sesuatu agama, selain dimana-mana memperbaiki keadaan perkampungan Muslim yang disinggahi, meskipun dirinya Islam, beliau juga tidak segan membantu membangun kuil Buddha dan memperbaiki beberapa kuil Dewi Laut Macu, dengan maksud menghormati maupun menghargai kepercayaan masyarakat setempat meski berbeda sama dirinya. Sekarang telah didirikan banyak Masjid Cheng Ho, memang selayaknyalah diperingati jasa-jasa beliau yang telah memicu Islamisasi Nusantara. Dalam pesan terachir kepada anak buahnya, mengatakan bahwa dirinya “cuma manusia biasa, supaya tidak di-dewa-kan”. Sebagai Muslim sejati, Cheng Ho berbudi prihatin dan toleran pada perbedaan kepercayaan dan juga dengan hati damai beliau menerima keserba-ragaman bangsa, sampai achir hayatnya. (Memperingati pelayaran perdana Cheng Ho pada tanggal 11 Juli 1405). Monterey Park, 26 Juni 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun