Ada peraturan baru pada waktu itu yang mengharuskan semua keturunan asing di Kekaisaran Ming untuk mengganti nama dalam aliran Tionghoa, layak keturunan Tionghoa memakai nama aliran Indonesia sejak era Order Baru, karena itu bagi yang bernama seperti Muhammed, Achmad, Mansoor, Mahmud dan sebagainya, pada umumnya menjadi marga Ma yaitu marga Bhe di Indonesia, tidak semua Ma berarti Muhammed, dan Mahmud Sham ed-Din / Shamsudin diberi nama baru: Ma He / Bhe Ho.
Sewaktu juragan Pangeran Zhu Di mengadakan kampanye kudeta untuk merebut tahta kaisar Ming, Zhu Di terkepung dan hampir terbunuh oleh pasukan Ming musuhnya disuatu pertempuran terletak di Bendungan Dusun Cheng (Zheng-cun-ba) disebelah timur Beijing, pada saat itu Ma He yang telah menjadi kasim pengawal pribadi Zhu Di memberanikan diri untuk membela dan mengamankannya, sehingga Zhu Di berhasil lolos dan menyelamatkan diri dari pertempuran yang naas tersebut. Setelah Zhu Di berhasil merebut tahta sebagai Kaisar Ming Yongle di Nanjing, untuk menghargai kenekadan tersebut, Ma He dianugrahi kehormatan ganti nama Zheng untuk memperingati tempat dalam pertempuran tersebut, maka Ma He menjadi yang kita kenal sekarang, Zheng He atau Cheng Ho.
Patung Cheng Ho di Museum Maritim Quanzhou Hokkian.(foto: AH Tjio).
Nama kecil beliau adalah Sampo, itu adalah nama kanak-kanak Muslim yang umum di Yunnan, artinya anak ketiga dan bungsu kesayangan, kemudian nama itu pun menjadi juga nama kehormatan beliau Sam Po Kong yang maksudnya Yang Mulia Sam Po, dan oleh kalangan Hoakiaw makna Sam Po tersebut juga telah di-interpretasikan sebagai “trisakti” atau “tiga pusaka” dan lain-lain, demi memuliakannya.
Di Jawa Tengah ada sebutan Dampo Awang, itu tidak lain lafal Jawa dari sebutan dialek Hokkian “Sam-po Tua-lang” yang artinya Bapak Pembesar Sam Po. Namun yang disebut Dampo Awang itu adalah Cheng Ho atau Ong Khing Hong, meskipun apakah Cheng Ho memang pernah turun di Semarang, masih perlu diteliti lebih lanjut. Ong Khing Hong adalah wakil laksamana dan juru mudi, merupakan tangan kanan Cheng Ho yang melanjutkan pelayaran armada setelah Cheng Ho meninggal dunia di tahun 1433, dia juga mempunyai nama kecil Sam Po yang sama, dia yang achirnya tinggal dan menetap dan juga kemudian dikebumikan di Gedung Batu Simongan dekat Semarang. Satu lagi, Sam Po Swie Ho adalah pembantu rumah tangga Cheng Ho yang memperistri Ronggeng Sitiwati dan makamnya di Ancol Jakarta.Tentu masih ada banyak Sampo lainnya yang tidak sampai tercatat dalam sejarah. Hampir dari separuh hidupnya Cheng Ho berlayar menyelimuti perairan Nusantara dan Lautan Hindia, memimpin armada yang terdiri dari puluhan kapal bersama ribuan awak kapal serta pasukan pengawalnya. Dimasa tanpa teknologi canggih seperti GPS, beliau mendahului orang Barat berani memimpin misi explorasi raksasa, diantaranya meratakan rintangan perompak di Riau, mendamaikan persengketaan dan perang saudara di Jawa, dan dengan misi damai mengemukakan perniagaan antar negara, mendatangkan dan mengantar pulang duta-duta tidak kurang dari 35 negara disepanjang Jalur Sutra Maritim untuk mengenal Tiongkok. Namun Cheng Ho tidak menyelesaikan pelayaran ketujuhnya, karena pada pelayaran yang terachir ditahun 1431-1433 tersebut, keadaan kesehatan beliau telah memburuk, dan sewaktu dipantai Malabar dekat Kalkuta India, dalam pelayaran kembalinya beliau meninggal dunia. Menurut peraturan dalam pelayaran, dengan peradatan Islam jenazahnya segera diturunkan dilaut. Dua makam prasasti adat Muslim kemudian juga didirikan di Tiongkok.