Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Laksamana Muslim Mahmud Shamsudin Cheng Ho

28 Juni 2014   00:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:32 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

LAKSAMANAMUSLIMMAHMUDSHAMSUDINCHENG HO

Oleh:Anthony Hocktong Tjio / Diaspora Indonesia.

Lebih dari 600 tahun lalu, seorang Muslim kelahiran Tionghoa memimpin armada raksasa menelusuri Jalur Perniagaan Sutra, dari Hokkian di Teluk Zaitun sampai Hormuz di Teluk Persia, dalam misi damai untuk menyebarkan wibawa Kekaisaran Ming. Dalam tujuh kali pelayarannya, armada tersebut selalu mampir juga di Nusantara, diantaranya singgah di Kerajaan Lambri Aceh, Kerajaan Srivijaya Palembang dan Kerajaan Majapahit Trowulan, dengan demikian secara langsung telah membawakan adat Muslim Tionghoa di Nusantara, dan karena terbukanya Jalur Rempah olehnya, secara tidak langsung dikemudian hari mendatangkan diaspora Muslim Tionghoa dari Champa, diantaranya beberapa Sunan Wali Songo, untuk hijrah dan menyebarkan ajaran Islam ditanah Jawa, sehingga meruntuhkan Hindhu Majapahit dan membangkitkan Kerajaan Islam diabad 15 AD. Seperti yang kita kenal, laksamana tersebut bernama Cheng Ho.

Cheng Ho berasal dari Tiongkok, beliau adalah warga Tionghoa keturunan umat Islam Persia yang terlahir pada 1371. Anak bungsu dari Haji Ma, dan keturunan ke 6 dari Seyyid Edjell Shams ed-Din Omar al-Bokhari, bangsawan Khwarezmi di Bukhara (sekarang Uzbekistan) yang dilantik oleh Kublai Khan sebagai Gubernur Yunnan dibekas Kerajaan Dali. Seyyid Edjell Shams ed-Din sendiri adalah keturunan ke 26 dari Rasulullah SAW.

Ayah Cheng Ho cuma dikenal bernama Haji Ma, nama tersebut berdasarkan dari aksara Tionghoa yang terukir diatas batu nisannya yang didirikan oleh Cheng Ho sendiri. Sebagai seorang keturunan Asia Tengah selayaknya Haji Ma mempunyai dan memakai nama asli aliran Sogdiana, bisa jadi Cheng Ho yang sejak kecil ditangkap dan dibawa pergi oleh pasukan Muslim Dinasti Ming yang menumpas pasukan Tartar ayahnya sudah tidak lagi bisa mengingat nama lengkap ayahnya, dan sewaktu beliau melawat dikampung kelahirannya untuk memperbaiki makam ayahnya yang telah puluhan tahun terlantar diabad 15, beliau lantas memberikan nama Haji Ma tersebut dibatu nisan yang ditegakkannya. Nama lengkap yang sesungguhnya baru diketahui tidak lama ini, setelah penemuan buku silsilah yang tersembunyi diatas langit-langit disalah satu rumah tua warganya diperdusunan Muslim di Jin-ning Yunnan, dan Haji Ma tercatat bernama Melchin Shams ed-Din yang menikah dengan wanita Tionghoa bermarga Oen. Lebih lanjut, menurut catatan buku silsilah yang ditemukan itu, nama kelahiran Cheng Ho adalah Mahmud Shams ed-Din ( محمود شمس الدين‎ ).

Haji Ma meneruskan ayahnya, Bayan, sebagai pimpinan pasukan Garison Muslim Yunnan dengan gelar Adipati Dian-yang (Yunnan Utara), dibawah Pangeran Mongol Basalawarmi yang masih mempertahankan perlawanan Tartar terhadap Ming di Kunming dan sekitarnya, meskipun Mongol sudah jatuh selama 13 tahun. Pada tahun 1381, Kaisar Ming Hong-wu mengirimkan pasukan besar dibawah pimpinan 3 jendral Muslim Persia (Fu Yu-te/ Po Joe Tek, Lan Yu/Lam Giok dan Mu Ying/Bok Eng) untuk menumpasnya, yang berachir dengan tewasnya Haji Ma dan kakak sulung Mahmud dalam pertempuran tersebut. Sedangkan Mahmud dan kanak-kanak Muslim yang dibawah umur ditangkap sebagai tawanan perang oleh Jendral Mu Ying, mereka diperbudak dan dibawa ke Nanjing, ibukota Ming sebelum pindah ke Beijing. Disana semua tawanan perang dijadikan kasim setelah diadili, lalu dibagikan untuk pelayan diistana Ming, dan Mahmud dibagikan kepada Zhu Di, Pangeran Yan di Beijing. Pada saat itu Mahmud hanya berusia 10 tahun.

Ada peraturan baru pada waktu itu yang mengharuskan semua keturunan asing di Kekaisaran Ming untuk mengganti nama dalam aliran Tionghoa, layak keturunan Tionghoa memakai nama aliran Indonesia sejak era Order Baru, karena itu bagi yang bernama seperti Muhammed, Achmad, Mansoor, Mahmud dan sebagainya, pada umumnya menjadi marga Ma yaitu marga Bhe di Indonesia, tidak semua Ma berarti Muhammed, dan Mahmud Sham ed-Din / Shamsudin diberi nama baru: Ma He / Bhe Ho.

Sewaktu juragan Pangeran Zhu Di mengadakan kampanye kudeta untuk merebut tahta kaisar Ming, Zhu Di terkepung dan hampir terbunuh oleh pasukan Ming musuhnya disuatu pertempuran terletak di Bendungan Dusun Cheng (Zheng-cun-ba) disebelah timur Beijing, pada saat itu Ma He yang telah menjadi kasim pengawal pribadi Zhu Di memberanikan diri untuk membela dan mengamankannya, sehingga Zhu Di berhasil lolos dan menyelamatkan diri dari pertempuran yang naas tersebut. Setelah Zhu Di berhasil merebut tahta sebagai Kaisar Ming Yongle di Nanjing, untuk menghargai kenekadan tersebut, Ma He dianugrahi kehormatan ganti nama Zheng untuk memperingati tempat dalam pertempuran tersebut, maka Ma He menjadi yang kita kenal sekarang, Zheng He atau Cheng Ho.

Patung Cheng Ho di Museum Maritim Quanzhou Hokkian.(foto: AH Tjio).

Nama kecil beliau adalah Sampo, itu adalah nama kanak-kanak Muslim yang umum di Yunnan, artinya anak ketiga dan bungsu kesayangan, kemudian nama itu pun menjadi juga nama kehormatan beliau Sam Po Kong yang maksudnya Yang Mulia Sam Po, dan oleh kalangan Hoakiaw makna Sam Po tersebut juga telah di-interpretasikan sebagai “trisakti” atau “tiga pusaka” dan lain-lain, demi memuliakannya.

Di Jawa Tengah ada sebutan Dampo Awang, itu tidak lain lafal Jawa dari sebutan dialek Hokkian “Sam-po Tua-lang” yang artinya Bapak Pembesar Sam Po. Namun yang disebut Dampo Awang itu adalah Cheng Ho atau Ong Khing Hong, meskipun apakah Cheng Ho memang pernah turun di Semarang, masih perlu diteliti lebih lanjut. Ong Khing Hong adalah wakil laksamana dan juru mudi, merupakan tangan kanan Cheng Ho yang melanjutkan pelayaran armada setelah Cheng Ho meninggal dunia di tahun 1433, dia juga mempunyai nama kecil Sam Po yang sama, dia yang achirnya tinggal dan menetap dan juga kemudian dikebumikan di Gedung Batu Simongan dekat Semarang. Satu lagi, Sam Po Swie Ho adalah pembantu rumah tangga Cheng Ho yang memperistri Ronggeng Sitiwati dan makamnya di Ancol Jakarta.Tentu masih ada banyak Sampo lainnya yang tidak sampai tercatat dalam sejarah. Hampir dari separuh hidupnya Cheng Ho berlayar menyelimuti perairan Nusantara dan Lautan Hindia, memimpin armada yang terdiri dari puluhan kapal bersama ribuan awak kapal serta pasukan pengawalnya. Dimasa tanpa teknologi canggih seperti GPS, beliau mendahului orang Barat berani memimpin misi explorasi raksasa, diantaranya meratakan rintangan perompak di Riau, mendamaikan persengketaan dan perang saudara di Jawa, dan dengan misi damai mengemukakan perniagaan antar negara, mendatangkan dan mengantar pulang duta-duta tidak kurang dari 35 negara disepanjang Jalur Sutra Maritim untuk mengenal Tiongkok. Namun Cheng Ho tidak menyelesaikan pelayaran ketujuhnya, karena pada pelayaran yang terachir ditahun 1431-1433 tersebut, keadaan kesehatan beliau telah memburuk, dan sewaktu dipantai Malabar dekat Kalkuta India, dalam pelayaran kembalinya beliau meninggal dunia. Menurut peraturan dalam pelayaran, dengan peradatan Islam jenazahnya segera diturunkan dilaut. Dua makam prasasti adat Muslim kemudian juga didirikan di Tiongkok.

China's Great Armada Map
China's Great Armada Map
Peta pelayaran Cheng Ho. (Gambar dari National Geography). Setelah Cheng Ho meninggal dunia dalam pelayaran ketujuh kalinya pada tahun 1433, armada Cheng Ho yang sekarang jatuh ditangan-kanannya yaitu Ong Khing Hong masih berlayar sekali lagi dengan misi perdagangan ke Nusantara. Setelahnya, seluruh armada untuk terachir kalinya dibubarkan sekembalinya di Tiongkok. Akibatnya melemahkan wibawa Ming diarena maritim, menyebabkan perompak Samurai berbadaian menyerang pesisir Laut Timur Tiongkok termasuk Teluk Zaitun Hokkian, sehingga Kaisar Ming mengeluarkan perintah penyegelan pantai yang selanjutnya melarang pelayaran keluar masuk Tiongkok, ini berlangsung selama tiga abad. Dengan demikian tamatlah riwayat Jalur Sutra Maritim yang berabad-abad telah mendatangkan kemakmuran antara Teluk Zaitun dan Teluk Persia, yang juga mengakibatkan runtuhnya perekonomian di Kerajaan Champa yang selama itu merupakan titik persinggahan dipertengahan Vietnam sekarang. Maka dari itu puluhan bahkan ratusan ribu keturunan diaspora Muslim Tionghoa, yang semula mengungsi dari Teluk Zaitun Hokkian maupun dari Dali Yunnan dan telah bermukim di Champa sejak jatuhnya Tartar Mongol seabad sebelumnya itu, untuk mereka bergerak melanjutkan hijrah ke Malaya, Sumatra dan pesisir utara Jawa, disepanjang Jalur Rempah yang dipelopori oleh armada Cheng Ho. Hal ini yang memungkinkan pedagang pengembara Muslim Tionghoa asal dari Hokkian dan Yunnan menjadikan Hindhu Majapahit mualaf Islam dikemudian harinya. Dari kecil Cheng Ho jadi kasim pengabdi istana, maka juga tidak tinggi berpendidikan, selalu dikelilingi sedikit-dikitnya lima juru tulis dan ahli bahasa (Urdu), maupun anak kapalnya kebanyakan adalah Muslim Tionghoa keturunan Persia, juga ribuan pasukan pengawalnya adalah dari Garison Persia Shao-wu Hokkian yang dulunya memusnahkan pasukan ayahnya di Yunnan. Seumur hidupnya beliau seorang yang pendiam dan penyendiri yang achirnya juga ditinggalkan di samudra sebagaimana layaknya seorang pelaut. Namun jasanya tidak pernah dihargai oleh negaranya sendiri, maupun berabad-abad harus dilupakan oleh bangsanya. Cheng Ho mengabdi jiwa pleuralisme dan solidaritas masyarakat tanpa mengemukakan sesuatu agama, selain dimana-mana memperbaiki keadaan perkampungan Muslim yang disinggahi, meskipun dirinya Islam, beliau juga tidak segan membantu membangun kuil Buddha dan memperbaiki beberapa kuil Dewi Laut Macu, dengan maksud menghormati maupun menghargai kepercayaan masyarakat setempat meski berbeda sama dirinya. Sekarang telah didirikan banyak Masjid Cheng Ho, memang selayaknyalah diperingati jasa-jasa beliau yang telah memicu Islamisasi Nusantara. Dalam pesan terachir kepada anak buahnya, mengatakan bahwa dirinya “cuma manusia biasa, supaya tidak di-dewa-kan”. Sebagai Muslim sejati, Cheng Ho berbudi prihatin dan toleran pada perbedaan kepercayaan dan juga dengan hati damai beliau menerima keserba-ragaman bangsa, sampai achir hayatnya. (Memperingati pelayaran perdana Cheng Ho pada tanggal 11 Juli 1405). Monterey Park, 26 Juni 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun