Termasuk yang tidak kenal pembelajaran virtual. HR pun jadi harus belajar, membiasakan diri dan mengakomodir. Termasuk ke depannya, bukan hanya virtual seminar atau learning, ke depannya banyak treatment personal (termasuk coaching atau personal discussion) akan dijalan dengan sistem ini. Bahkan, ke depannya, HR pun jadi ikut-ikutan mulai dituntut secara serius memikir learning platform yang bersifat gabungan antara online and offline, untuk mengakomodir pembelajaran manusia-manusia di organisasinya.
8. Employee Champion ke Brand Champion
Indonesia termasuk dalam negara kategori extrovert yang banyak sharing soal aktivitas dan kegiatannya, secara online. Hal ini sedikit berbeda dengan Jepang atau Jerman yang budayanya lebih tertutup. Dampaknya, ini berpengaruh pada trend masyarakat maupun perusahaan. Masyarakat Indonesia, banyak melihat brand melalui social media. Dan untuk itulah mau tidak mau HR pun berperan seperti layaknya marketing brand perusahaan ke masyarakat. Terbukti bahwa banyak perusahaan yang rajin muncul di sosial media, diberikan persepsi yang lebih baik oleh masyarakat.
Dan bukan hanya itu. Karyawanpun merasa lebih bangga. Karna itulah, beberapa HR di perusahaan mulai mulai punya akun tersendiri, publikasi bahkan menciptakan berbagai event dan aktivitas yang mengangkat brand peusahaan. Tujuannya sederhana, menciptakan kebanggaan terhadap brand organisasi. Ujung-ujung selain membuat karyawan (khususnya milenial) merasa bangga, juga sebagai daya tarik terhadap talent-talent baru. Beberapa HR perusahan di Jakarta, Medan ataupun Surabaya, mulai menggunakan strategi ini.
9. Dari Data Analytic Buat Evidence-Based Practice
Trend data analytic telah dimulai di HR global beberapa tahun terakhir ini. Di Indonesia, pemahamannya sudah ada meskipun tidak sebagai satu disiplin khusus. Dalam prakteknya, datanya terkait HR yang ada, penggunaanya hanya sesekali ketika menghadapi satu situasi atau permintaan khusus. Namun, ke depannya termasuk di 2021, permintaan ini akan terus meningkatkan. Alasannya, data ini penting buat pengambilan keputusan.
Bahkan, bukan hanya data analytic dari data HR organisasi, para praktisi HR di Indonesia juga makin ditantang dengan pertanyaan dari top mangement, "Data di kitanya bagaimana ya? Trus, data dari luar bagaimana? Praktek di tempat lain seperti apa? Data, laporan dan hasil riset tentang hal ini, bicaranya apa?".
Maka, ini memunculkan juga isu pentingnya evidence-based practice, sebuah kajian penting soal bagaimana membuat strategi berdasarkan bukti-bukti yang ada. Kalau boleh dikatakan, HR di Indonesia harus mulai terbiasa dengan 2 jenis bukti. Bukti (dengan huruf "b" besar) yang mengacu pada praktek dan bukti dari luar, termasuk data studi, riset, best practice. Juga bukti (dengan huruf "e" kecil) yang mengacu pada bukti internal, yang termasuk diantaranya hasil data analytic dari data-data internal. HR punya tantangan menggabungkan kedua bukti ini, buat bahan bicara dan argumentasi kepada pihak manajemen.
10. Global Knowledge ke Individuasi
Bertahun-tahun, trend global membuat HR mesti terus update dengan apa yang terjadi. Apalagi, kalau HRnya berada di organisasi yang global. Namun menariknya apa yang menjadi ramalannya John Naisbitt soal kecenderungan "global villange tapi pada saat yang bersamaan, terjadi trend tribalisasi (kesukuan dan menguatnya identitas kelompok)" juga dialami di HR. Artinya, di satu sisi praktek HR akan mengikuti kaidah global, tapi di sisi lain HR yang lebih customized akan dituntut. Ditengah praktek menyamakan gerak langkah misalkan dengan praktek, kultur, sistem yang sama, agar lebih sama bahasanya, tapi tuntutan bahwa "kami tidak bisa disamakan" dengan yang lainnya, juga akan menguat.
Akibatnya, di tahun 2021 akan berlanjut praktek HR yang customized yang mempertimbangkan keunikan organisasi, keunikan praktek dan latar belakang. Sebagai contoh misalkan adanya upaya menyamakan kultur BUMN, ternyatabdirespon pula dengan munculnya keinginan beberapa pihak di organisasi yang tidak ingin "disamakan" karna jenis dan usahanya berbeda.