Marah, adalah isu sentral dalam training kecerdasan emosional. Malahan, banyak peserta yang mengatakan kepingin ikut training EQ supaya marahnya bisa lenyap. Padahal, marahpun harus dikelola bukannya dilenyapkan. Marah, terkadang diperlukan untuk mengungkapkan ketidaksenangan dengan keadaan realitas yang tidak disukai. Juga untuk menegaskan hak kita, yang mungkin dilanggar. Namun, ketika kemarahan jadi tak terkendali. Disitulah sumber persoalan terjadi. Boss yang hobinya marah-marah, bisa membuat timnya jadi tak betah.
Lalu bagaimanakah training EQ membantu? Justru disinilah EQ mengajarkan bagaimana cara marah yang sehat (Smart Angry), misalkan bagaimana mengekpresikan marah tapi akal sehat (korteks) masih tetap ambil kendali. EQ memberikan tips mengendalikan amygdala agar tidak terbajak. Begitu pula, EQ memberikan tips bahwa kita perlu mengetahui pattern kemarahan kita, agar kita paham kapan saatnya emosi marah kita gampang terpicu. Lantas, kita belajar menjadi lebih waspada.
4. Energy Management
Pernahkah merasa malas untuk melakukan sesuatu? Apakah ini kaitannya dengan kekurangan vitamin atau stamin? Bisa jadi iya. Tapi, ada juga penyebabnya karena beban emosi dan sulitnya mengatur pikiran. Itulah sebabnya, belakangan ini dikatakan, "Kelola energi, lebih penting daripada mengelola waktu". Kadangkala orang bekerja lama karena energinya rendah. Sebaliknya kalau energinya tinggi, kerjaanpun cepat terselesaikan.
Nah, bagaimanakah EQ menolong pengelolaan energi ini? Pertama-tama EQ mengajarkan soal sumber penyebab kebocoran energi yang bisa menyebabkan "energi low". Begitupun, EQ memberikan tips bagaimana mengelola masalah-masalah emosi agar tidak jadi menghabiskan energi setiap hari. Diantaranya mengajarkan bagaimana cara "fokus", visualisasi energi emosi hingga mengelola "kodok besar" (menurut istilahnya Brian Tracy dalam buku "Eat the Frog") yang ternyata menghabiskan banyak energi.
5. Productivity Management
Produktivitas banyak tergantung pada kemampuan untuk berkonsetrasi. Persoalannya, ketika banyak masalah dan beban emosional, bagaimana bisa berkonsentrasi? Produktivitaspun sangat tergantung pada kemampuan berbagi kerja. Berkoordinasi kerjaan dengan orang lain. Banyak pula, orang yang tak produktif disebabkan semuanya dikerjakan sendiri tanpa koordinasi.
Nah,bagaimanakah EQ bisa membantu meningkatkan produktivitas kerja? EQ mengajarkan bagaimana menciptakan mood kerja yang baik. Termasuk bahwa passion kerja, antusiasme kerja adalah perasaan yang bisa dikelola dengan mengolah kata-kata maupun pikiran terhadap pekerjaan yang harus diselesaikan.
6. Change Management
Seringkali, penyebab sulitnya perubahan adalah masalah emosi. Kenapa? Sudah ter bukti, sulitnya perubahan umumnya karena rasa sakit buat memulai yang baru. Serta takut kehilangan rasa senang yang sekarang ini dinikmati. Jadi, urusan perubahan seringkalai adalah urusan emosi. Itulah sebabnya, penulis dan konsultan terkemuka William Bridge dalam buku legendarisnya "Transition" menyebutkan yang sulit bukan perubahan, tapi transisi fisik maupun mental. Banyak orang yang cuma berubah fisiknya, tapi mental emosionalnya masih belum mengalami transisi.
Nah,bagaimana EQ berperan dalam change management? Pertama-tama, EQ berfokus pada aspek-aspek emosional yang menyebabkan orang sulit berubah. Sebagai contoh dalam model perubahan ADKAR (Awareness-Desire-Knowledge-Ability-Reinforcement), perhatikan ada unsur Desire (Keinginan) yang terkait emosi. Artinya, orang bisa saja sadar ia harus berubah, tapi kalau tidak punya keinginan karena banyak yang mesti dia korbankan. Khususnya kesenangan saat ini. Maka, bisa saja akhirnya ia pun tak mau berubah sama sekali. Dengan memahami EQ, kita bisa menyimpulkan bahwa di saat rasa sakit (pain) lebih besar daripada rasa senang (pleasure), maka orang pun tak mau berubah.