Mohon tunggu...
Anthony Winza Probowo
Anthony Winza Probowo Mohon Tunggu... Lainnya - MPA Harvard University, LL.M. Georgetown University.

Anthony Winza Probowo is an experienced public policy expert with a unique background in law, and public policy. Academically, Anthony holds a Master of Public Administration (MPA) from Harvard University, where he deepened his knowledge in economics, public policy, and governance. He also holds a Master of Laws (LL.M) from Georgetown University, where he focused on international trade law and arbitration. His academic journey is complemented by practical expertise gained through cross-registration courses at MIT in modern military operations.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menunggu Putusan WTO: Bom Waktu bagi Hilirisasi dan Target Pertumbuhan 8%

9 Oktober 2024   19:22 Diperbarui: 9 Oktober 2024   20:34 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan hilirisasi Indonesia, khususnya terkait nikel merupakan salah satu strategi pertumbuhan ekonomi yang gencar dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo, dan bahkan akan menjadi tumpuan penting bagi target pertumbuhan ekonomi 8% di pemerintahan Prabowo-Gibran.

Uni Eropa (UE) telah "menggugat" Indonesia di World Trade Organization (WTO) terkait pembatasan ekspor nikel Indonesia dengan alasan bahwa langkah ini melanggar Pasal XI dari Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT 1994) yang melarang negara-negara anggota WTO untuk memberlakukan pembatasan kuantitatif pada ekspor, adapun Indonesia berdalih bahwa kebijakan hilirisasi nikel ini sudah sesuai dengan Pasal XX(d) GATT, yang pada intinya menyatakan bahwa pembatasan ekspor nikel diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Panel Badan Penyelesaian Sengkata/Dispute Settlement Body (DSB) WTO telah memutuskan pada November 2022 yang lalu yang pada intinya menyatakan bahwa kebijakan pembatasan ekspor nikel yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia ini telah melanggar aturan WTO.(Article XI:1 GATT 1994).

Terhadap putusan DSB WTO tersebut, Indonesia telah mengajukan banding atas keputusan ini kepada Badan Banding WTO (Appelate Body), namun sampai dengan saat ini, pengajuan banding oleh Indonesia di WTO tersebut belum diputus karena Badan Banding WTO saat ini sedang "lumpuh" akibat Majelis Badan Banding WTO ini sudah habis masa jabatannya, dan Amerika Serikat tidak memberikan persetujuannya untuk pengisian Majelis Badan Banding ini sejak Desember 2019. Alhasil, banyak kasus yang ditangani di WTO mandek dan tidak dapat diputus oleh WTO.

Lumpuhnya Badan Banding WTO ini membuat permohonan banding Indonesia terkait kasus nikel ini menjadi tidak dapat diselesaikan, secara tidak langsung hal ini dapat menguntungkan Indonesia karena dapat "mengulur waktu" untuk dapat mempertahankan kebijakan hilirisasi nikelnya untuk sementara waktu, namun jika Badan Banding WTO telah kembali berfungsi dan akhirnya memutuskan bahwa Indonesia bersalah, maka Indonesia akan diminta untuk mematuhi putusan Badan Banding WTO untuk mencabut larangan ekspor, sehingga ambisi besar program hilirisasi nikel bisa terancam yang mana akan mengancam pula target pertumbuhan ekonomi 8% dari Presiden Terpilih, Prabowo Subianto.

Namun perlu dicermati pula, bahwa blokade AS yang membuat Badan Banding WTO ini "terhenti" merupakan mata pedang yang bermata dua, mengingat bahwa Indonesia juga masih membutuhkan WTO untuk melakukan "perlawanan" terhadap restriksi impor sawit yang dilakukan oleh Uni Eropa. Uni Eropa melalui Keputusannya (EU's Directive 2018/2001 dan peraturan turunannya) telah membuat kebijakan pengaturan yang sangat ketat terhadap importase minyak sawit ke Uni Eropa dengan alasan lingkungan hidup (high indirect land-use change), karena sawit dianggap berkontribusi terhadap deforestasi hutan. Indonesia telah mengajukan "gugatan" terhadap Uni Eropa di WTO terkait dengan restriksi importase minyak sawit ini. Sampai saat ini kasus ini masih belum diputus oleh DSB WTO karena ada permohonan penundaan putusan dari pihak Indonesia.

Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang ditetapkan oleh Uni Eropa Menambah Kompleksitas Masalah Perdagangan Internasional.

Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism atau CBAM) adalah kebijakan yang diterapkan Uni Eropa untuk menambahkan biaya karbon terhadap barang impor yang berasal dari negara-negara yang memiliki regulasi lingkungan yang lebih rendah dari Uni Eropa.  

Kebijakan CBAM ini dibuat karena adanya kekhawatiran Uni Eropa terhadap membanjirnya barang impor berharga murah dari negara-negara yang belum menerapkan sistem produksi yang rendah emisi karbon, sehingga Uni Eropa merasa perlu melindungi produsen domestik mereka yang telah berinvestasi besar pada teknologi produksi barang yang rendah karbon.

Bagi Indonesia, kebijakan CBAM ini menambah tantangan tersendiri dalam isu perdagangan internasional, terutama karena Indonesia adalah eksportir penting  baja dan aluminium ke Eropa, produk-produk tersebut kemungkinan akan dikenakan biaya tambahan berdasarkan kebijakan CBAM. Hal ini dapat mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di pasar Eropa, yang dapat berdampak negatif terhadap pendapatan ekspor dan berujung pada terganggunya target pertumbuhan ekonomi 8% Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Selain itu, dengan kondisi WTO yang saat ini lumpuh akibat tidak berfungsinya Badan Banding karena penolakan AS terhadap pengisian kekosongan hakim di Badan Banding, Indonesia tidak bisa terlalu berharap untuk menyelesaikan sengketa ini melalui mekanisme WTO.

Dengan WTO yang telah kehilangan taringnya untuk menegakkan aturan perdagangan global secara efektif, Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi tantangan ini dan mungkin perlu mencari solusi lain di luar WTO untuk mengatasi dampak CBAM dan menjaga daya saing ekspornya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun