Kebijakan hilirisasi nikel Indonesia merupakan salah satu strategi pertumbuhan ekonomi yang gencar dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo, dengan tujuan untuk mengubah peran Indonesia dari sekedar eksportir barang mentah menjadi pusat industri bernilai tambah. Hilirisasi ini juga akan menjadi salah satu program yang dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran kedepan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%.
Namun, kebijakan hilirisasi ini tidak lepas dari tantangan global. Uni Eropa (UE) telah "menggugat" Indonesia di World Trade Organization (WTO) dengan tuduhan bahwa pembatasan ekspor nikel dianggap melanggar Pasal XI dari Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT 1994) yang melarang negara-negara anggota WTO untuk memberlakukan pembatasan kuantitatif ekspor. adapun Indonesia berdalih bahwa kebijakan hilirisasi nikel ini sudah sesuai dengan Pasal XX(d) GATT, yang pada intinya menyatakan bahwa pembatasan ekspor nikel diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan WTO pada November 2022 yang memenangkan klaim Uni Eropa tersebut menjadi pukulan berat bagi strategi hilirisasi Indonesia. Indonesia telah mengajukan banding namun proses ini terhenti akibat lumpuhnya Badan Banding (Appelate Body) WTO. Lumpuhnya badan ini akibat Amerika Serikat tidak memberikan persetujuan terhadap pengisian kekosongan hakim banding WTO. Kelumpuhan ini memang disatu sisi memberikan kesempatan untuk mengulur waktu bagi Indonesia untuk mempertahankan kebijakan hilirisasinya. Namun, situasi ini bagaikan bom waktu yang bisa meledak di masa depan, karena jika Badan Banding kembali berfungsi dan memutuskan untuk menyatakan Indonesia melanggar peraturan WTO, maka Indonesia akan kesulitan mempertahankan kebijakan hilirisasinya, dan akan berpengaruh terhadap target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran.
WTO Lumpuh: Ancaman atau Peluang?
Situasi lumpuhnya WTO ini bagaikan pisau bermata dua bagi Indonesia. Di satu sisi, penundaan banding memberikan waktu untuk mempertahankan kebijakan hilirisasi dan mendorong pembangunan industri nikel domestik. Namun, di sisi lain, ketergantungan pada organisasi perdagangan internasional yang tidak berfungsi dengan baik bisa menjadi bumerang. Tanpa kejelasan dari WTO, Indonesia juga menghadapi tantangan dalam memperjuangkan kepentingannya di sektor-sektor lain, seperti sawit.
Sebagai salah satu eksportir minyak sawit terbesar dunia, Indonesia juga menggugat Uni Eropa atas kebijakan restriktif terhadap impor sawit (EU's Directive 2018/2001), yang dibatasi atas alasan lingkungan. Tanpa WTO yang berfungsi, Indonesia kehilangan instrumen penting untuk membela sektor strategis ini. Hal ini membuat negara harus mencari solusi lain di luar WTO untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM): Ancaman Baru bagi Ekspor Indonesia
Tantangan Indonesia di kancah perdagangan global semakin rumit dengan diperkenalkannya Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa. CBAM adalah kebijakan yang menerapkan pajak karbon pada produk impor dari negara-negara yang regulasi lingkungannya dianggap lebih lemah. Indonesia, sebagai eksportir baja dan aluminium, termasuk yang paling terdampak oleh kebijakan ini.
Kebijakan CBAM ini dibuat karena adanya kekhawatiran Uni Eropa terhadap membanjirnya barang impor murah dari negara-negara yang belum menerapkan sistem produksi yang rendah emisi karbon, sehingga Uni Eropa merasa perlu melindungi produsen domestik mereka yang telah berinvestasi besar pada teknologi produksi yang rendah karbon.
Dengan diterapkannya CBAM, produk baja Indonesia akan dikenakan pajak tambahan, yang akan menurunkan daya saing di pasar Eropa. Ini tentu bisa berdampak negatif pada pendapatan ekspor Indonesia dan mempersulit pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8% yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran.
Bagi Indonesia, kebijakan CBAM ini menambah tantangan tersendiri dalam isu perdagangan internasional, terutama karena Indonesia adalah eksportir penting  baja dan aluminium ke Eropa, produk-produk tersebut kemungkinan akan dikenakan biaya tambahan berdasarkan kebijakan CBAM. Hal ini dapat mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di pasar Eropa, yang dapat berdampak negatif terhadap pendapatan ekspor dan berujung pada terganggunya target pertumbuhan ekonomi 8% Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dengan WTO yang telah kehilangan taringnya untuk menegakkan aturan perdagangan global secara efektif, Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi tantangan ini dan mungkin perlu mencari solusi lain di luar WTO untuk mengatasi dampak CBAM dan menjaga daya saing ekspornya.
Masa Depan Perdagangan Indonesia: Proteksionisme atau Perdagangan Bebas?
Menghadapi tantangan global ini, Indonesia perlu merefleksikan kembali kebijakan perdagangannya. Apakah sistem perdagangan bebas melalui WTO masih relevan untuk melindungi kepentingan Indonesia? Atau, apakah saatnya negara ini mempertimbangkan pendekatan proteksionisme yang lebih selektif? Ekonom Korea Selatan, Ha-Joon Chang, dalam bukunya Kicking Away the Ladder, berpendapat bahwa negara-negara maju dulunya juga menerapkan proteksionisme untuk melindungi industri domestik mereka. Namun, setelah mereka berhasil menjadi kekuatan ekonomi, mereka mendorong negara berkembang untuk membuka diri terhadap perdagangan bebas.
Pandangan ini relevan bagi Indonesia saat ini. Negara ini harus berhati-hati agar tidak terperangkap dalam sistem yang justru menguntungkan negara-negara maju. Sebaliknya, Indonesia perlu memperkuat kebijakan hilirisasi dan melindungi industri-industri strategisnya, seperti nikel dan sawit, untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Kesimpulan: Langkah Konkret ke Depan
Pemerintahan Prabowo-Gibran harus mengadopsi kebijakan perdagangan internasional yang cermat dan strategis. Di tengah WTO yang tidak berfungsi, Indonesia perlu lebih proaktif dalam membangun aliansi baru dan memperkuat kerja sama bilateral atau regional. Pada saat yang sama, proteksionisme selektif mungkin perlu  diterapkan untuk melindungi industri-industri vital yang mendukung pertumbuhan jangka panjang.
Lebih penting lagi, Indonesia harus mengambil langkah-langkah untuk menghadapi ancaman CBAM dengan berinvestasi dalam teknologi produksi ramah lingkungan, sekaligus memperjuangkan reformasi dalam sistem perdagangan global. Dengan langkah yang tepat, Indonesia dapat terus melangkah maju di tengah ketidakpastian global dan memastikan bahwa ambisi menjadi negara maju dapat tercapai.
Pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan dapat mengambil kebijakan perdagangan internasional secara terukur dan strategis agar Indonesia tidak salah langkah menghadapi percaturan Geoeconomics yang kompleks ini, karena Indonesia dan segenap masyarakatnya memiliki hak untuk menjadi negara maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H