Mohon tunggu...
Anthonia Audisheren
Anthonia Audisheren Mohon Tunggu... Freelancer - Voila

Lumnous bimbimbab 💥

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengingat Kenangan Lama, Arie Hanggara 1984

1 Desember 2018   07:00 Diperbarui: 2 Desember 2018   19:38 3273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi adanya HAM bagi setiap warga negaranya. Hak Asasi Manusia atau disingkat HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir dan diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia terdiri dari dua hak yang paling dasar yaitu hak kesamaan dan hak persamaan. Ciri dari HAM adalah bersifat universal dan hakiki.

Contoh dari hak asasi manusia itu sendiri seperti hak untuk hidup, hak anak, hak perlindungan, dan masih banyak lagi. Pemerintah Indonesia menjamin adanya HAM bagi setiap warga negaranya. Namun ironisnya, masih banyak kita jumpai kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Menurut UU No. 39 tahun 1999 pasal 1 angka 6, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Atau lebih singkatnya pelanggaran HAM adalah tindakan mengambil atau merenggut hal-hak orang lain secara paksa. Kasus pelanggaran HAM dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu kasus pelanggaran HAM biasa dan kasus pelanggaran HAM berat. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, antara lain pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik, dan  menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya. UU  No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan mengategorikan pelanggaran HAM berat menjadi :

1. Kejahatan Genosida yaitu perbuatan yang bertujuan menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara :

a. Menghingkan nyawa anggota kelompok.

b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.

c. Memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok.

d. Memindahkan anak-anak secara paksa dengan dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

e. Dll.

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut dituuukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan cara :

a. Penghilangan nyawa, pemusnahan, dan perbudakan.

b. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.

c. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan paksa, dan bentuk kekerasan seksual lain yang setara.

d. Dll

Kasus pelanggaran HAM di Indonesia, sudah terjadi sejak dulu, mulai era setelah kemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru dan juga setelah reformasi. Contoh dari kasus pelanggaran HAM yang akan dibahas pada artikel ini adalah mengenai tindakan kekerasan orang tua pada bocah lelaki yang bernama Arie Hanggara.

Ingatkah kalian siapa itu Arie Hanggara ? Arie Hanggara adalah nama seorang bocah lelaki berusia 7 tahun yang meninggal pada 8 November 1984 akibat penganiayaan yang dilakukan oleh orang tuanya, Machtino bin Eddiwan alias Tino dan ibu tirinya Santi binti Cece. 

Kasus mengenai Arie Hanggara ini telah mencuri perhatian media massa maupun media cetak pada saat itu. Hingga sekarang, kasus Arie Hanggara masih sering diangkat dan dijadikan refrensi oleh media massa Indonesia, terutama jika terjadi kasus yang sama mengenai penganiayaan anak oleh orang tuanya sendiri.

Arie lahir di tengah keluarga yang mengalami kekurangan ekonomi. Tino, ayah Arie adalah lelaki pemalas dan tukang janji melulu. Bahkan, saudara dari pihak istrinya mengecap Tino sebagai lelaki yang hanya mampu membuat anak saja tanpa bisa bertanggung jawab membiayai anak itu. Karena Tino tak punya pekerjaan, namun punya selera tinggi ditambah kebutuhan di Jakarta yang menuntut banyak. 

Hal itu membuat mereka kesulitan ekonomi. Hingga akhirnya Tino dan Dahlia Nasution, istrinya bersitegang. Lalu istrinya kembali ke Depok dan menitipkan anaknya di rumah neneknya.

Beberapa minggu kemudian, Tino kembali mengambil anak-anaknya dan memulai hidup yang baru bersama istri barunya, Santi. Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil di kawasan Mampang bersama 3 anaknya yaitu Anggie, Arie, dan Andi. Walau sudah membuka lembaran hidup yang baru, Tino tetap saja sebagai pengangguran. Hal itu membuat Santi (pekerja kantoran) mulai cerewet ditambah kebandelan anak-anak yang sesuai perkembangan usianya.

Diantara ketiga anak Tino, Arielah anak yang paling bandel dan tidak patuh aturan yang dibuat Tino. Menurut teman-teman sekelasnya di SD Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, Arie dikenal sebagai anak yang lincah, lucu, kadang bandel, dan suka bercanda. Namun menurut gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai karena ia sering mendapatkan nilai matematika 8,5. 

Sangat malang nasib Arie karna semua kemarahan masalah ekonomi Tina dan Santi dilampiaskan pada Arie. Arie sering kali mengalami penyiksaan sebelum kematiannya. Seperti pada tanggal 3 November 1984, ketika Arie difitnah Tino dan Santi mencuri uang Rp 1500. Arie menjerit kesakitan saat dipukuli orang tuanya karena tidak ada pengakuannya.

Mereka sering memukul bagian muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuh bocah malang ini. Tak hanya itu, Tino juga mengikat kaki dan tangan Arie. Lalu, Arie disuruh jongkok di kamar mandi seperti layaknya pencuri dan diteriaki Santi "Ayo minta maaf dan mengaku!"

Merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya atau sebagai ekspresi pembangkangan, Arie tetap diam tak berbicara sepatah katapun. Penasaran diikuti rasa jengkel yang memuncak, Tino dan Santi melepas ikatan tangan Arie dan menyiramkan air dingin ke tubuh Arie. Santi menambah hukuman dengan menyuruh Arie jongkok sambil memegang kuping. Bocah malang yang tidak berdosa ini melaksanakan hukumannya sambil mengerang menahan sakit.

Kekejaman Tino dan Santi terus berkelanjutan dan mencapai titik puncaknya pada Rabu 7 November 1984. Arie kembali dituduh lagi mengenai mencuri uang Rp 8.000. Arie mengaku tidak mencurinya kembali dianiaya lagi. Karena tidak ada pengakuan, Santi dengan jengkel menampari Arie yang berdiri ketakutan.

Selain itu hukuman berat diberikan lagi, Tino mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. Suara tangisan kesakitan Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya. "Menghadap tembok," teriak Santi seperti dituturkan sejumlah saksi.

Kesal karena tak ada kata maaf terucap, Santi kemudian datang dengan menenteng pisau pengupas mangga untuk mengancam Arie agar segera meminta maaf. Namun, lagi-lagi Arie diam tak berkutik. Dengan penuh emosi, Santi menjambak rambut Arie dan mulai menodongkan pisaunya ke muka bocah yang sudah sangat ketakutan itu.

Setelah sang ibu tiri meninggalkan "ruang penyiksaan", giliran Tino datang dan memukul Arie yang sudah sangat lemah itu. "Berdiri terus di situ," perintah sang ayah.

Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika Tino bangun dan menengok Arie. Ia menjumpai bocah itu sudah tidak berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum, sudah bergeser letaknya.

Bukannya merasa iba, Tino justru semakin naik darah dan kembali menyiksanya lagi. Gagang sapu mulai menghujani tubuh dari atas sampai bawah bocah malang ini. Tino juga membenturkan kepalanya ke tembok. Hingga akhirnya, anak yang lincah ini tersentak dan menggelosor jatuh. Tino kembali beranjak ke kamar tidur.

Pada pukul 03.00 WIB, Tino bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Sang ayah menjadi panik. Lalu ia bersama Santi melarikan Arie yang sudah kaku ke rumah sakit. Sayang sekali, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa pada hari Kamis 8 November 1984.

Esok hari masyarakat gempar ketika media cetak memberitakan kematian anak yang malang ini. Selama beberapa minggu kemudian, kisah tragis ini menjadi berita utama di koran-koran. Sejak itu, nama Arie lekat di ingatan publik sebagai korban kekejaman orangtua.

Dari kisah Arie Hanggara tersebut tentu kita tahu hak yang dimiliki Arie telah dihancurkan oleh ayah kandung dan ibu tirinya sendiri. Arie yang harusnya mengalami kebahagiaan dalam keluarga sesuai usianya. Namun ia harus merasakan pahitnya penyiksaan keluarga sebagai pelampiasan orang tua akibat perdebatan krisis ekonomi keluarga. 

Hingga akhirnya bocah yang bernama Arie Hanggara tersebut harus pergi untuk selamanya di saat umurnya yang belum mencapai 8 tahun. Akibat perbuatan yang dilakukan kedua orang tuanya itu, ayah dan ibu tirinya dipenjara yang tidak diketahui seberapa lama. Yang pasti saat mereka ke makam Arie, banyak kawalan polisi disekitarnya. Orang tua Arie menyesal apa yang telah dilakukannya yang dibuktikan ada sebuah coretan bertuliskan "maafkan papa nak... Maafkan mama juga." 

Yang namanya penyesalan selalu datang di akhir cerita. Namun percuma saja mereka meminta maaf atau menangis seberapa lama, karena itu tak akan mengubah fakta jika sang bocah Arie sudah tiada untuk selamanya akibat kekerasan yang dilakukan orang tuanya sendiri. Sungguh mengharukan bukan kisah Arie Hanggara ?

Ya kisah Arie Hanggara merupakan kisah dimana orang tuanya sendiri melakukam tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dimana melakukan penghilangan nyawa kepada anaknya sendiri. Tindakan tersebut merupakan kasus pelanggaran HAM yang berat. Maka dari itu pelaku kejahatan (orangtua Arie) berhak mendapatkan hukuman yang berat pula. Namun hingga saat ini belum diketahui hukuman apa yang diberikan pada Tino dan Santi.

Saran bagi pembaca : mari kita memikirkan matang-matang mengenai masalah pernikahan. Karena jika pernikahan tidak dewasa, kita akan sering bersikap anak-anak seperti melampiaskan amarah pada orang lain (keluarga, dan anak) bahkan bisa membahayakannya. Oleh karena itu hindari pernikahan dini, dan gunakanlah prinsip "berpikirlah sebelum bertindak."

Terimakasih readers sudah meluangkan membaca artikel saya. Jika ada salah kata mohon dimaafkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun