Kualitas ini bisa disandangkan pada obyek-obyek alami atau artifisial pada binatang, atau manusia. Ada batu keramat, peralatan keramat, sapi keramat. Kepala suku tak lepas dari kemungkinan bahwa dia  juga keramat, demikian juga adat atau lembaga tertentu.
   Ruang dan waktu bisa juga disandangi kualitas ini, misalnya lokalitas-lokalitas keramat dan musim-musim keramat. Kualitas tersebut akhirnya mungkin dibentuk dalam mahkluk-mahkluk keramat, dari roh-roh lokal sampai dewa-dewa langit yang tinggi. Dan yang terakhir ini, ketika gilirannya, mungkin akan berubah bentuk menjadi kekuatan-kekuatan atau asas-asas purna yang akan mengatur kosmos, tidak lagi dibayangkan dalam kerangka personal tetapi masih tetap mengandung status kekeramatan.Â
   Manifestasi historis dari apa-apa yang keramat itu sangat beragam, walaupun terdapat beberapa keseragaman tertentu yang bisa diamati secara lintas budaya (tidak perduli apakah keseragaman-keseragaman ini akan ditafsirkan sebagai akibat dari penyebaran budaya atau dari logika batin pencitraan keagamaan manusia).
 Seringkali pada yang keramat itu akan dipahami sebagai "menyeruak" dari rutinitas normal kehidupan harian, sebagai sesuatu yang luar biasa dan tetap berpotensi berbahaya, walaupun bahaya-bahayanya bisa dijinakkan dan potensinya dikendalikan demi kebutuhan-kebutuhan kehidupan sehari-hari.Â
Meskipun yang keramat itu dipahami sebagai bukan manusia, namun acuannya kepada manusia, terkait dengannya dalam cara yang tidak ada pada fenomena-fenomena ponmanusiawi lainnya (teristimewa, fenomena-fenomena yang bersifat bukan-keramat). Kosmos yang ditegakkan oleh agama ita “meng-atasi" (transcend) dan juga meliputi manusia.Â
Kosmos yang keramat itu dihadapi oleh manusia sebagai suatu realitas yang sangat berkuasa yang bukan dari dirinya sendiri. Namun realitas ini akan tertuju pada dirinya sendiri serta menempatkan kehidupan manusia pada suatu tatanan yang bermakna.
Agama di Era DigitalisasiÂ
   Kemajuan teknologi sebagai bagian dari efek modernisasi barat di abad ke 21, agama dihadapkan pada media baru. Dale F Eickelmen dan Jon W Anderson Media baru ini melahirkan entitas ke-publikan yang baru, yang juga sebagai ruang baru yang dihuni juga oleh orang-orang baru dengan pemikiran baru. Media baru ini berisi berbagai teknologi yang begitu canggih yang bisa menjadi alat bagi kelompok agama atau secara personal kepenganutnya menjadi agensi sosial dengan kemampuan berkomunikasi dengan berbagai elemen baik berskala global maupun transnasional.Â
  Anderson mengatakan bahwa ruang publik yang baru ini harus dipahami secara luas sebagai arena yang baru bagi eksistensi berbagai ekspresi yang bersifat alternatif , yang menyebarkan gagasan-gagasan mengenai peradaban, keadaban dan kebajikan. Aksi 212 yang memanfaatkan media sosial yang melibatkan jutaan massa tak bisa dipungkiri juga sebagai efek dari kehadiran ruang publik yang baru itu.
  Demikian juga dengan Bryan S. Turner, dia mengungkapkan Teknologi baru sekarang ini memiliki efek ideologis yang cukup kontradiktif. Mereka memberikan kesempatan berupa alternatif, deregulasi, pelimpahan untuk debat dan diskusi, dan karena itu mereka memberikan kontribusi yang sangat diperlukan bagi masyarakat sipil yang demokratis.Â
  Media baru penting secara politis dan sosiologis, karena mereka memiliki efek yang tidak disengaja merusak bentuk-bentuk otoritas tradisional yang didasarkan pada transmisi lisan atau pada bentuk-bentuk pembelajaran tekstual berbasis cetak yang linier, hierarkis, imitatif, dan berulang. Pengetahuan berdasarkan transmisi lisan dan memori, di satu sisi, dan pengetahuan berbasis cetak di sisi lain, terkait dengan bentuk otoritas tradisional dan teknologi pedagogis tertentu yang menghasilkan disiplin diri.Â