Peta politik di semua daerah di Indonesia, termasuk di Maluku Utara lagi memanas. Semua orang (kandidat,tim sukses, tim relawan) bergiat berdasarkan kiat-kiat dari setiap kandidat pun dikeluarkan. Pokoknya semua jurus harus digunakan, guna memenangkan kompetisi yang ada.Â
Sekarang kalau ditanya kepada setiap tim sukses maupun tim relawan, semuanya dengan penuh keyakinan 100%, memberi jawaban bahwa kandidat yang mereka dukung, pasti yang  akan memenangkan jalannya kompetisi pada 9 Desember 2020 ini.
Lepas dari keyakinan seperti itu, ada hal mendasar yang dapat dipertanyakan kepada para setiap kandidat, perihal keterpanggilan mereka untuk maju dan mencalonkan diri sebagai pemimpin di daerahnya masing-masing.Â
Apakah keterpanggilannya itu adalah panggilan untuk mengejar ambisi berkuasa ataukah ambisi untuk mengabdi ? Sebagai rakyat (konstituen), bagaimana kita dapat mengetahui hati nurani para kandidat, bahwa sesungguhnya, panggilannya adalah untuk mengabdi kepada bangsa dan negara serta pada rakyat, bukan pada ambisi kepentingan untuk berkuasa agar meraup keuntungan dirinya dan kelompoknya atau golongannya semata-mata. Hal iniliah yang coba direfleksikan dalam tulisan pendek ini.
Profil KandidatÂ
Tentu saja para kandidat yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin daerah, sudah dapat dipastikan berasal dari tokoh-tokoh masyarakat (publik figur) yang tidak diragukan lagi ketokohan mereka.
 Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa ketokohan seseorang itu dapat menjamin bahwa yang bersangkutan juga bisa menjadi seorang pemimpin yang handal, atau pemimpin yang baik.Â
Ambil contoh, beberapa publik figur di negara ini, ketika mereka berada pada posisi sebagai seorang pemimpin, ternyata mereka menjadi orang yang korup. Makanya, ada yang mengatakan bahwa untuk menguji seseorang, apakah dia adalah orang yang baik ataukah tidak, berikanlah ia kekuasaan.Â
Fakta membuktikan, ada banyak orang baik, yang berubah menjadi jahat (korup) ketika di pundaknya sudah ada yang namanya kekuasaan. Dengan kata lain,wajah  kekuasaan bisa mengubah seseorang dari yang baik menjadi tidak baik dan jahat. Adalah Nicollo Machiavelli, yang mengatakan bahwa watak kekuasaan yang paling baik adalah perpaduan antara watak Singa dan Rubah.
Mengapa waktak Singa dan Rubah harus menjadi watak dari kekuasaan ? Menurut Machiavelli, Singa memang dijuluki sebagai raja hutan, sebab kekuatannya (otot) Â tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi Singa adalah binatang yang bodoh; ia tidak dapat mengetahui kalau ada orang yang memasang perangkap kepadanya.Â
Sehingga kekuatannya itu, tidak dapat menolong dirinya untuk lepas dari perangkap yang ada. Sebaliknya Rubah, adalah binatang yang tidak kuat secara fisik (otot), tetapi Rubah itu  cerdik (licik), ia dapat mengetahui, jikalau  ada orang yang memasang jerat/perangkap bagi dirinya, sehingga ia bisa lolos. Jadi kedua kekuatan yang ada itu, baik Singa maupun Rubah harus dimiliki oleh seorang penguasa.
Bagaimana dengan profil para kandidat yang ada sekarang ini, apakah jelas terlihat atau masih tersamar, watak Singa dan Rubah pada diri mereka ? Cara mengenalinya, gampang sekali, lihat sepak terjang mereka selama ini, ketika mereka masih menjadi tokoh masyarakat.
Sikap dan perilaku mereka (trade record) jelas terlihat, siapa sebenarnya mereka itu. Apa-apa saja yang telah mereka perbuat, dan apakah yang mereka perbuat itu adalah sesuatu yang mendatangkan damai, sejahtera, ketenangan, kenyamanan bagi masyarakat ? Ataukah jangan-jangan sepak terjang mereka selama ini, menyisahkan banyak masalah dalam kehidupan bersama sebagai satu komunitas dalam masyarakat ?
Cara lain untuk mengenal karakter dari setiap profil figur yang ada, perhatikan (dengar, lihat dan kecap) dengan baik, setiap isyu yang mereka bangun dalam masa-masa kampanye yang digelar oleh setiap figur yang ada.Â
Jika isi kampanye mereka adalah suka menjelek-jelekan pimpinan daerah yang baru berlalu, menjelek-jelekkan figur lain, itu pertanda bahwa figur tersebut, adalah calon pemimpin yang kekanak-kanakan, bukan seorang pemimpin yang dewasa. Begitu juga, bila yang dikampanyekan itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal, maka yang bersangkutan adalah seorang pemimpin yang omong kosong.
Sampai di sini, kira-kira dari setiap pasangan calon yang telah menyampaikan visi misi lewat kampanye, lewat debat publik, dan bahkan lewat medsos, kira-kira siapakah yang akan kita pilih sebagai pemimpin kita  ? Sulit diprediksi ataukah gampang saja ? Melihat sepak terjang para kandidat dengan tim-tim suksesnya, terdapat varian gerak dan gayanya.Â
Ada kandidat yang emosional, semangatnya berapi-api, bak pahlawan yang berdiri dengan segudang janji untuk memperjuangkan rakyat yang selama ini dinilai tersakiti dan terzalimi. Sedangkan kandidat yang lain bermain lebih halus, tidak tempramental, santun dan penuh wibawa, mencari dukungan warga masyarakat. Â
Ada juga yang tampil kontroversial dan provokatif, dengan segudang hujatan kepada para pesaingnya. Apa pun yang kandidat dan tim sukses lakukan, semuanya hanya dan demi mencari dukungan dari warga yang punya hak pilih.
Serigala Berbulu Domba
Dari varian gerak dan gaya  selama ini yang dipertontonkan oleh para kandidat bersama tim suksesnya, paling tidak sudah mulai bisa terbaca, kira-kira kandidat manakah yang benar-benar bisa menjadi pemimpin yang baik, yang siap mengabdi, dan bersedia melayani seluruh kepentingan rakyat/masyarakat yang ada.
Akan tetapi, jangan kita melupakan satu hal penting bahwa terkadang untuk mendapatkan sesuatu, orang rela melakukan apa saja, asalkan yang didambakan itu, didapatinya.
Kita semua tentu ingat akan ungkapan "serigala berbulu domba." Ungkapan ini, mau mengingatkan kita, bahwa tidak semua orang itu tulus, jujur dan baik hati. Termasuk mereka yang sekarang lagi mencalonkan diri sebagai pemimpin.
Memang ada pemimpin yang benar-benar adalah orang baik, jujur dan tulus. Tetapi ada juga calon pemimpin dan pemimpin yang memiliki karakter atau moralitas yang tidak baik.
Bagaimana kita dapat mengenal calon pemimpin yang tidak baik itu ? Sangat sulit, sebab orang-orang seperti itu sangat pandai menutupi segala ambisi dan kebusukan hati mereka. Penampilan mereka, layaknya seekor domba yang baik.Â
Padahal hati mereka, tidak ubah, layaknya serigala lapar. Penyamaran mereka sangat sempurna. Mereka berteman dengan kita, mereka makan dan minum bersama kita. Jadi butuh ketelitian, kecermatan dan kepekaan tingkat tinggi untuk dapat mengenal, para serigala yang ada di antara pada domba. Sehingga kita tidak tertipu atau diperdayai oleh mereka.
Memang sangat mengherankan, ada orang-orang (baca: rakyat) yang sudah ditipu berulang kali oleh para kandidat yang berpenampilan seperti domba, padahal sesungguhnya adalah serigala yang jahat. Â
Pertanyaannya, mengapa bisa begitu ? Hal ini terkait dengan apa yang kita sebuat ketidakberdayaan. Para pemimpin yang berkarakter serigala, akan membiarkan rakyatnya untuk terus berada dalam ketidakberdayaan, karena kebodohan dan kemiskinan.Â
Sehingga mereka selamanya menjadi domba yang tidak berdaya, makanya terus dan terus menjadi sasaran empuk, dari serigala, pada setiap moment pemilukada. Jika rakyat yang miskin dan bodoh itu diberdayakan dan dicerdaskan, maka akan sulit untuk membodohi mereka lagi.
Moment kampanye dan debat publik, tidak cukup untuk menguliti sang serigala lapar dan jahat, tapi bertampang domba yang tulus. Sebenarnya di era digital ini, adalah saat yang paling tepat untuk saling berbagi informasi (asalkan jangan hoaks), perihal sepak terjang calon pemimpin bertampang serigala namun berhati domba,ketimbang bertampang domba tapi berhati serigala yang jahat. Memang untuk hal itu, butuh keberanian. Semoga ada yang berani, melakukan hal itu.
Penutup
Sebetulnya kekuasaan pada dasarnya bukanlah sesuatu  yang jahat atau salah pada dirinya. Kekuasaan dalam hal ini, hanyalah alat yang diberikan/dipercayakan kepada kita; baik oleh Tuhan, maupun oleh Rakyat. Â
Oleh karena kuasa itu, hanyalah alat semata, maka setiap orang yang diberikan/dipercayakan/dimandatkan untuk mengelolanya, harus dikelola, dikendalikan dan dipergunakan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk mengusahakan dan meningkatkan kesejahteraan bersama, yakni kesejahteraan seluruh  rakyat.
Kekuasaan yang  tidak dipergunakan untuk melayani atau mengabdi, maka disitukah kekuasaan akan menampakan wajah  yang tidak wajar lagi, yakni berwajah abu-abu. Wajah yang sulit dipegang segala janji manis yang diobral pada saat kampanye. Sebab apa yang dijanjikan itu  hanya pemanis mulut, bukan keluar dari lubuk hati yang terdalam.
Ingat, ambisi berkuasa untuk kekuasaan itu sendiri  hanya akan mendatangkan kekuasaan yang menindas manusia lain; kekuasaan  yang diperoleh dengan cara dan motivasi yang lain daripada untuk mengabdi, hanya akan melahirkan kekuasaan yang  demonis dan bak monster yang siap merusak dan menghancurkan orang lain/rakyat.
Dan karena itu, bagi pemimpin yang hanya mengejar ambisi untuk berkuasa, tidak akan merasa puas dengan segala yang didapat. Sehingga cepat atau lambat, pemimpin seperti itu, akan   ditinggalkan oleh para konstituennya. Percaya atau tidak, begitulah kenyataannya. Selamat mencermati dan selamat memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H