Saya memulai tulisan ini denga mengutip tulisan Dr. Jerda Djawa di Whatsapp tentang "Orang Lain." Tulisnya: "lahir ditolong orang lain. Nama diberi orang lain. Pendidikan didapat dari orang lain. Gaji diterima dari orang  lain. Kehormatan diberikan oleh orang lain, Mandi pertama kali dan terakhir kali dilakukan oleh orang lain. Pemakaman dilakukan orang lain. Jadi sejak lahir hingga mati kita selalu membutuhkan orang lain. Makanya jangan tunjukan kehebatan kita." Tulisan yang menggugah, syarat makna ! Namun, apakah kita juga merasa tergugah ?
Mata rantai kehidupan
Dalam budaya kita, status social sangat menentukan identitas seseorang. Oleh karena itu ada sejumlah status social, ekonomi dan politik atau semacam profesi yang dianggap tidak terlalu penting, atau katakanlah dipandang rendah dan atau hina.Â
Seorang tukang ojek/bentor, merasa statusnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan seorang penarik becak; begitu juga seorang sopir mobil penumpang, merasa statusnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tukang ojek. Seorang istri Bupati, pasti merasa statusnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bu Titi si penjual jamu. Seorang pengusaha, merasa statusnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan para buruh.Â
Seorang pegawai pasti merasa statusnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan seorang petani atau nelayan. Jika kita letakkan semua status tersebut, lalu melihat ini semua dalam satu lingkaran mata rantai kehidupan, maka tentunya pandangan kita akan berubah. Â
Pernahkah kita bertanya, ketika kita sedang makan nasi, dari mana datangnya nasi tersebut? Pernahkah kita merenungkan, dari mana datangnya gula, teh dan kopi  yang kita minum ?
Padi, teh dan kopi, tidakbertumbuh sendiri, pasti ada yang menanamnya. Dan yang menanam itu kita sebut sebagai pekerja (baca:petani). Bagaimana mereka mempersiapkan lahan, bibit, lalu menanam, memberi pupuk, membersihkan, lalu memanen. Lalu hasil panennya dijual ke pabrik. Para buruh pabrik pun mulai mengolah, bahan mentah tadi menjadi barang jadi, yang siap diproduksi.Â
Barang yang siap diproduksi, tadi diangkut dengan mobil, kapal dan sampai ke pelabuhan, dibongkar oleh para buruh pelabuhan, lalu diangkut dengan mobil, bentor, ojek, becak, gerobak, ke gudang-gudang penyimpangan, dan didistribusikan ke tokoh, warung/kios dan dibeli oleh kita selaku konsumen. Lalu di masak oleh para ibu-ibu atau para pembantu. Sehingga beras, teh dan kopi tadi sudah siap disantap di atas meja makan kita.
Jadi bila kita sedikit meluangkan waktu untuk merenung, ternyata, nasi, teh dan kopi panas yang ada di atas meja makan kita butuh suatu proses yang panjang untuk bisa kita nikmati. Dan dalam proses panjang itu, ada begitu banyak orang yang ikut mengambil peran (jasa), yang biasa-biasa saja, tetapi sesungguh amat luar biasa.Â
Bagaimana jika semua orang menjadi pegawai, tanpa ada lagi yang menjadi petani untuk menanam padi, menaman teh, dan menanam kopi, apa yang harus kita makan dan minum ?
Kalau toch ada beras, ada teh dan kopi, di pabrik, lalu tidak ada sopir untuk mengangkut dengan mobil ke kapal; lalu tidak ada buruh yang mengangkatnya, apakah kita dapat makan nasi, minum teh dan kopi ? Dan orang-orang yang terlibat dalam mata rantai yang ada, tentunya datang dari pelbagai suku, etnis, agama dan tentunya 'status sosial' yang berbeda-beda.Â
Kalau benar bahwa nasi yang kita makan, dan teh serta kopi yang kita minum dapat membantu pertumbuhan fisik dan psikhis kita, serta dapat menyehatkan kita, maka dalam perenungan kita harus jujur mengakui bahwa pertumbuhan dan kesehatan yang kita miliki, adalah sumbangan dari pelbagai pihak. Artinya, kita harus mengaku bahwa diri kita berhutang banyak (hutang budi) kepada orang lain.
Saya berhutang kepada para petani yang telah dengan susah payah menanam. Ya, kita berhutang kepada para sopir, para buruh, para pengusaha, para pembantu rumah tangga, kita berhutang kepada istri, orangtua, saudara, dan lain sebagainya.Â
Ternyata benar, kita sebetulnya berada dalam satu mata rantai saling berhutang satu dengan yang lain. Hanya orang yang sombong dan pongah, dapat mengatakan bahwa dia tidak berhutang kepada orang lain. Selain sikap sombong dan pongah seperti itu, ada sikap lain yang sangat berbahaya dalam membangun kebersamaan hidup. Sikap itu adalah sikap sektarianisme.
Sikap Sektarianisme
Sikap sektarianisme adalah sikap mental yang naif, picik dan sempit. Sikap sektarianisme ini membuat garis pemisah yang jelas dan tajam antara saya dengan kamu; antara  kita dengan mereka; asli dengan pendatang. Orang bilang, siapa koe, siapa aku.Â
Contoh, yang paling sederhana dari sikap ini, adalah ketika seseorang mengalami kecelakaan motor, pertama-tama kita belum menolong orang yang celaka tersebut, tapi kita malah mengajukan pertanyaan, "orang dari mana ? atau "orang apa itu ?" pertanyaan lanjut, Â "orang kita atau bukan ?"Â
Jadi hanya karena tidak seiman dijauhinya, hanya karena tidak sesuku, maka dihindari; hanya karena merasa tidak 'sederajat' maka disepelekannya. Atau kita pernah mendengar ada yang mengatakan begini, oke, kita semua sama-sama manusia. Kita semua basudara. Tapi ternyata dalam prakteknya, masing-masing berjalan dalam kesendirian atau mengambil jalan masing-masing. Alias tidak saling mengganggu dan tidak saling menghiraukan. Anda urus diri anda, saya mengurus diri saya. Masing-masing punya urusan.
Menurut filsuf asal Prancis Gabriel Marcel, Â kalau sikap seperti itu yang kita tunjukan itu berarti kita belum mencapai eksistensi sebagai manusia yang sebenarnya. Sebab kita hanya ada atau berada, belum hadir bagi yang lain. Untuk lebih jelas, apa yang dimaksudkan oleh Marcel, saya memberi contoh tentang mobil mogok. Suatu hari, kita sedang melakukan perjalan dengan mobil penumpang (travel), dari Tobelo ke Sofifi.Â
Para penupang yang ada, terasa asing satu dengan yang lain. Makanya  semua penumpang pada sibuk dengan diri sendiri. Ada yang main HP, ada yang pura-pura tidur, dan ada yang memang benar-benar sudah ngorok. Tidak ada komunikasi yang terjadi di antara sesama penumpang.
Tiba-tiba dalam perjalanan tersebut, mobil mogok. Lalu sopir meminta para penumpang untuk membantu mendorong mobil tersebut. Para penumpang pun mulai mengatur  strategi dan dengan kompak (mungkin ada yang menggerutu), mengerjakan tugas yang diminta oleh sang sopir. Mobil pun jalan, dan komunikasi di atas mobil pun menjadi ramai.Â
Menurut Marcel, sebelum mobil mogok, semua orang hanya ada dan berada satu dengan yang lain. Tetapi ketika mobil mogok, secara perlahan, semua orang pun tidak hanya berada tapi kini hadir bagi yang lain.
Sikap sektarian adalahsikap yang menolak untuk peduli dengan sesama yang dianggap berbeda dengan identitas diri kita. Baik, agama, suku, etnis dan lain sebagainya.Â
Sikap sektarian, selalu memandang curiga dan bahkan sangat membenci "orang asing." Gabriel Marcel memberi perspektif yang baru bagi kita dalam menjalin relasi dengan sesama. Â
Kemanusiaan kita sangat ditentukan seberapa besar kita hadir bagi orang lain. Kehadiran bagi orang lain, berarti menunjukan kita peduli dengan mereka. Artinya, manusia yang menutup mata dengan sesama (tidak peduli), belum mengalami keutuhan sebagai manusia yang beradab.
Relasi saling membutuhkan
Jika sadar bahwa kita hidup dalam satu sistem, maka semua orang yang terlibat dalam sistem tersebut salaing membutuhkan, saling mempengaruhi, makanya harus saling mendukung satu dengan yang lain demi mencapai satu tujuan tertentu. Dapatkah seorang menjadi raja tanpa ada rakyatnya ? Dapatkah seorang menjadi pemimpin, tanpa ada yang dipimpinnya ?Â
Dapatkah seorang menjadi kepala tanpa ada ekornya ? Dapatkah seorang menjadi guru tanpa ada muridnya ? Dapatkah seorang menjadi imam/pendeta atau pastor tanpa ada umat/jemaah ?Â
Dapatkah seorang sopir, tukang ojek, yang tidak butuh penumpang? Dapatkah seorang dokter yang tidak butuh pasien ? Dapatkah seorang suami yang tidak butuh istrinya ? Dan begitu sebaliknya.
Hal ini menunjukan bahwa, kita sedang berada dalam satu mata rantai yang namanya saling ketergantungan, satu dengan yang lain. Namun ketergantungan yang dimaksudkan disini bukan dalam pengertian ketidakberdayaan dan lalu minta pengasihan. Bukan juga, soal tidak punya kemampuan dalam hal ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainya.Â
Saling ketergantungan yang dimaksudkan disini adalah soal keterhubungan atau soal relasional kita sebagai mahluk sosial. Makanya janganlah menilai dan atau memberlakukan seseorang berdasarkan status sosial, tapi perlakukanlah orang lain sebagai sesama manusia yang beradab dan bermartabat sebagai sesama sahabat dan saudara karena kita semua adalah ciptaan Tuhan. Ingat ! Kita semua satu, satu Indonenesia, satu sesama manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H