Masih sangat segar di dalam ingatanku ketika aku pada akhirnya memilih untuk meringkus lima belas setelan baju dan kumasukkan ke dalam kantung sampah. Kujejal-jejalkan mereka hingga kantung itu menggembung seperti perut buncit para koruptor yang gemar makan uang haram dan mabuk-mabukan. Tak peduli bahwa tubuhnya sudah tak muat untuk menampung semua pakaian itu, aku tetap menjejalinya hingga semua setelan itu masuk dan kemudian kubuang ke bak sampah di depan indekos, lalu berharap ada petugas kebersihan yang segera mengangkutnya.
Selain lima belas setel pakaian, aku juga meringkus puluhan buku yang telah dengan susah payah kubeli saat banyak promo. Aku berusaha menyisihkan uang saku untuk membeli jendela-jendela dunia itu. Bersama Han, aku berharap kami dapat membuka jendela angkasa. Tapi, yang kutemukan justru jendela pengkhianatan si anak anjing yang mencabik-cabik majikannya. Anak anjing yang kubantu perkuliahannya sampai aku babak belur dihajar take home dan makalah-makalah, hingga kuliahku sendiri jadi bermasalah. Memang begitulah perangai anak anjing yang beringas. Sudah dirawat dan diasuh, tapi pada akhirnya dia memang akan tetap menjadi asu.
Dua setengah tahunku bersama Han berubah menjadi kesia-siaan. Ketika aku masih dengan sabar menerima tamparan, cekikan, teriakan, dan perlakuan-perlakuan bajingan yang dilakukannya, ia memilih perempuan baru dan mengatakan bahwa perempuan itu mengubah dunianya. Ia menyayangi perempuan itu, melebihi rasa sayangnya kepadaku yang sudah menemaninya dengan sungguh-sungguh.
“Sudah lama aku ingin putus denganmu, tapi kuurungkan karena aku merasa bahwa kamu tidak bisa hidup tanpa keberadaanku di kehidupanmu.”
Asu! Dia memang benar-benar asu. Kalimat brengsek itu muncul dari mulut seseorang yang bahkan tak mampu mengikuti perkuliahannya dengan apik. Aku yang bukan berasal dari jurusannya pun harus sampai turun tangan. Hampir semua tugasnya, aku yang mengerjakan. Bahkan di semester lima perkuliahanku, aku dihajar take home kuliahku dan kuliahnya sekaligus. Tapi, aku masih ingat nada bicaranya yang menyangkal bahwa akulah yang mengerjakan hampir semua tugas kuliahnya di masa itu dan mengatakan bahwa aku hanya mengada-ada. Memang susah untuk berbicara dengan orang tidak waras dan pernah mengajak dua orang teman untuk adu clurit dan parang secara tiba-tiba itu.
Hal yang lebih anjing lagi, rupanya ia menceritakan abcdefuckyou kepada beberapa rekan kami. Cerita yang ia karang sedemikian rupa hingga rekan-rekan menuduhku sebagai penyebab bubrahnya afeksi di antara kami. Ia juga mengarang cerita kepada perempuan barunya itu, hingga suatu ketika si perempuan mengirimkan sebuah swafoto dengan lenggok gaya mengacungkan jari tengah dan dibubuhi tulisan umpatan. Untungnya aku masih memiliki rekaman suara ketika ia membantingiku dengan helm, menggebrak pintu, menendang kipas, dan meneriakiku dengan suara menggelegarnya itu. Jadi, ketika tidak ada satu pun orang yang percaya kepadaku saat itu, aku memilih diam dan tiba-tiba kupasangkan earphone kepada beberapa rekanku itu. Bagai disambar petus tunggal, rekan-rekanku terkejut bukan main ketika mendengarkan rekaman itu. Selamatlah aku dari jerat fitnah murahan yang disebarkan anak anjing kala itu.
Hal yang mulai kusadari pasca mengalami rentetan pengalaman anjing bersama anak anjing itu adalah perjalananku menuju neraka pun dimulai. Aku membenci diriku sendiri. Aku membenci segala yang ada di diriku. Sosok yang pada mulanya kuharapkan akan berjalan bersamaku hingga tubuh kami sisa tulang-belulang karena dimakan cacing-cacing dan serangga tanah, ternyata memaksaku untuk mati muda sendirian. Setiap hari, waktuku hanya kuhabiskan untuk membuat dua anak sungai di kanan dan kiri pipi serta mengurung diri hingga berat badanku tak lebih besar dari ukuran sepatuku. Tubuhku bagaikan anjing beranak enam karena seorang yang anjing itu.
Sial. Pikiranku kembali tersadar dari lamunan imaji liar. Semua ingatan itu rupanya belum ada yang terhapus. Aku masih ingat setiap detailnya dengan sangat jelas. Bahkan, setelah bertahun-tahun sejak kejadian itu, aku masih belum lepas dari jerat pengalaman anjing atau yang mungkin akan lebih enak disebut sebagai momen hancik. Beruntungnya saat ini ada tiga orang di sekitarku yang bisa menjadi pengalih pikiran rusuh yang sangat keruh.
Suasana hati yang begitu bergejolak sejak kakiku menginjak tanah di area warung kopi ini lambat laun mulai menemukan titik surut. Perbincangan dengan tiga orang, yang dua sisanya kuketahui bernama Fathu dan Ali, berhasil mengalihkan pikiran-pikiran rusuh. Pandanganku kemudian menyiasat kepada Ali, orang yang sejak awal berusaha untuk menyimak obrolanku dengan Cul. Lebih-lebih, dia memberikan respons yang baik terhadap setiap dongeng yang kuceritakan. Meskipun sering terdiam, tampak jelas dari kedua sorot matanya bahwa dia menyimak dengan kusyuk.
Berbincang dengan mereka bertiga membuat gangguan kecemasanku mulai terdistraksi. Lebih-lebih ketika aku sedang bercerita, Ali menyimak dengan sungguh-sungguh. Aku membombardir mereka bertiga dengan cerita-cerita tentang pengalaman anjingku itu dan berharap bahwa dengan bercerita, gunung nestapa yang beberapa tahun belakangan ini kupanggul di pundakku akan hilang. Hal yang lebih mengejutkan lagi, ternyata si anak anjing itu ada di kedai kopi itu juga. Semakin semangatlah aku untuk membongkar perilakunya yang anjing itu. Kupekakkan telinganya biar mampus. Aku yang semula merasa takut, justru berubah jadi merasa ingin membalas dendam.
Ali tetap khusyuk menyimak setiap ocehanku. Dengan mengenakan kaos hitam bergambar boneka beruang yang dilapisi jaket berwarna marun, ia tampak serius mendengarkanku layaknya sedang mendengarkan obrolan penting dari seorang petinggi di istana negara. Beda dengan seseorang di sampingnya, Fathu si anak pelor itu. Beberapa kali kudapati dia menguap, entah benar-benar mengantuk atau dia bosan mendengarkan ocehan perempuan gila. Tapi, bukan menjadi sebuah masalah buatku karena masih ada Ali dan Cul yang mendengarkan burung gagak yang sedang berkoak-koak ini. Lagi pula, tidak semua orang harus mendengarkan ceritaku, kan? Justru Fathu telah menampakkan kejujuran. Kalau lelah atau bosan, tampakkan saja dengan gerak-gerik yang nyata biar orang sekitarmu menyadari.