Aku sedang memutar otak dan mengandai-andai tentang kehidupan anak-anak ketika kudapati gawaiku memunculkan sebuah notifikasi dari salah satu teman dekat yang telah lama tidak kujumpai. Ketika membaca sebuah pesan darinya, aku bertanya-tanya tentang apa tujuan ia menghubungiku. Rupanya, ia tengah berada di Surabaya, kota tempatku menyendiri selama beberapa waktu belakangan. Mampuslah aku! Terlanjur kuberi tahu jika aku juga tengah berada di kota yang sama dan tidak kumiliki satu alasan rasional yang dapat kugunakan untuk menolak ajakannya.
Kalau boleh mengaku, agak malas sebenarnya aku untuk menghadiri sebuah pertemuan mendadak ini. Tapi apa lacur, aku telah mengiyakan ajakannya. Mungkin saja ia sedang membutuhkan seorang teman, sehingga ia kemudian menghubungiku setelah sekian lama kami tidak berkontak pesan apa pun. Dengan sedikit menggerutu, aku bergegas mandi lalu mengenakan busana secara serampangan. Berangkatlah aku menuju sebuah tempat yang sesungguhnya tidak asing, tetapi mulai kualienasi sejak beberapa tahun belakangan.
Setibanya di tempat ini, sedikit muncul keterkejutan di dalam diriku karena rupanya temanku itu tidak sendirian. Ia membawa dua orang temannya yang tidak kuketahui nama dan asal-usulnya. Dengan sedikit memaksakan diri, aku kemudian menyalami mereka satu per satu.
Pada menit-menit awal ketika aku berada di tempat ini, aku menyadari bahwa serangan panik mulai muncul kembali. Aku mendadak was-was pada siapa saja yang ada di sana. Tanganku mulai menunjukkan gerak-gerik anomali dan jantungku kembali mengalami palpitasi. Dua hal yang sangat kubenci rupanya datang secara gerombolan. Aku ingin menyerah dan pulang, tetapi kuurungkan keinginanku itu karena ada perasaan tidak enak dengan temanku. Di samping itu, sosok kecil di dalam diriku tiba-tiba memberontak dan berteriak di kedua telingaku.
“Sampai kapan akan menghindari semua tempat yang seharusnya tidak perlu dihindari dengan sebrutal itu?”
Aku kemudian mengedarkan pandanganku ke seluruh sudut tempat ini. Suasana yang masih sama dengan banyak suara bariton yang menyalak-nyalak kembali mengingatkanku pada momen-momen yang sejak lama ingin kuhapus dari hipokampus di dalam otakku yang mulai mengerdil ini. Di belakang sana, di bawah pohon kamboja yang mulai bermekaran itu, aku sering menghabiskan waktu dengan seseorang yang sangat ingin kuhajar sejak empat tahun yang lalu. Seseorang di masa lalu yang hingga saat ini masih kusimpan namanya di dalam daftar nama orang-orang anjing, bahkan ia berada di urutan pertama dan selamanya akan tetap berada di urutan pertama.
Ingatan-ingatan tentang masa lalu itu kembali menguar. Mereka bermunculan secara serentak, seperti mendung hitam yang sedang berarak-arakan di langit. Puluhan umpatan dan sumpah serapah pun sudah berjejer rapi, menunggu giliran untuk keluar dari mulutku. Tapi tetap saja, aku mencoba untuk membungkam diri karena sedang banyak orang di sini. Aku sudah bukan lagi seseorang yang tidak tahu malu untuk marah-marah di mana saja. Lagi pula, sudah bertahun-tahun aku mencoba untuk memulihkan diri dan akan menjadi sebuah usaha yang muspra jika aku memilih untuk menjadi seorang pemarah, lagi dan lagi, hanya untuk manusia anjing satu itu.
Pikiranku kembali ke masa lalu. Di bawah pohon kamboja itu, aku sering duduk berlama-lama dengannya. Sebuah ritual temu yang dulu sangat kusukai meskipun tidak banyak perbincangan yang bisa kulakukan dengan orang itu. Sebuah ritual, yang jika diingat-ingat kembali, menjadi setangkai mawar merah merekah yang pada tangkainya bermukim ratusan duri. Indah dan memesona, tetapi membuatku harus membayarnya dengan secangkir darah segar karena mencoba untuk merengkuhnya.
Stop! Aku mencoba menghentikan imaji-imaji liar yang terus mendesak untuk menguasai pikiranku malam ini. Imaji yang sejak tadi enggan mangkir meskipun aku telah menyibukkan diri dengan melakukan perbincangan bersama tiga orang di sekelilingku. Imaji anjing itu, yang telah lama ingin kuberangus sampai mampus, rupanya masih hidup.
Aku membenci segala hal yang berhubungan dengan cinta. Keseriusan dan komitmen hanyalah sebuah omong kosong yang dijadikan bahan dongeng oleh orang-orang beringas, termasuk Han, si brengsek yang memilih kabur sebab kecantol perempuan tinder. Belum puas dengan berperilaku seperti anjing, ia meneruskan penyiksaannya kepadaku bagaikan kaum komunis yang menyiksa para ulama. Bajingan memang!
Masih sangat segar di dalam ingatanku ketika aku pada akhirnya memilih untuk meringkus lima belas setelan baju dan kumasukkan ke dalam kantung sampah. Kujejal-jejalkan mereka hingga kantung itu menggembung seperti perut buncit para koruptor yang gemar makan uang haram dan mabuk-mabukan. Tak peduli bahwa tubuhnya sudah tak muat untuk menampung semua pakaian itu, aku tetap menjejalinya hingga semua setelan itu masuk dan kemudian kubuang ke bak sampah di depan indekos, lalu berharap ada petugas kebersihan yang segera mengangkutnya.
Selain lima belas setel pakaian, aku juga meringkus puluhan buku yang telah dengan susah payah kubeli saat banyak promo. Aku berusaha menyisihkan uang saku untuk membeli jendela-jendela dunia itu. Bersama Han, aku berharap kami dapat membuka jendela angkasa. Tapi, yang kutemukan justru jendela pengkhianatan si anak anjing yang mencabik-cabik majikannya. Anak anjing yang kubantu perkuliahannya sampai aku babak belur dihajar take home dan makalah-makalah, hingga kuliahku sendiri jadi bermasalah. Memang begitulah perangai anak anjing yang beringas. Sudah dirawat dan diasuh, tapi pada akhirnya dia memang akan tetap menjadi asu.
Dua setengah tahunku bersama Han berubah menjadi kesia-siaan. Ketika aku masih dengan sabar menerima tamparan, cekikan, teriakan, dan perlakuan-perlakuan bajingan yang dilakukannya, ia memilih perempuan baru dan mengatakan bahwa perempuan itu mengubah dunianya. Ia menyayangi perempuan itu, melebihi rasa sayangnya kepadaku yang sudah menemaninya dengan sungguh-sungguh.
“Sudah lama aku ingin putus denganmu, tapi kuurungkan karena aku merasa bahwa kamu tidak bisa hidup tanpa keberadaanku di kehidupanmu.”
Asu! Dia memang benar-benar asu. Kalimat brengsek itu muncul dari mulut seseorang yang bahkan tak mampu mengikuti perkuliahannya dengan apik. Aku yang bukan berasal dari jurusannya pun harus sampai turun tangan. Hampir semua tugasnya, aku yang mengerjakan. Bahkan di semester lima perkuliahanku, aku dihajar take home kuliahku dan kuliahnya sekaligus. Tapi, aku masih ingat nada bicaranya yang menyangkal bahwa akulah yang mengerjakan hampir semua tugas kuliahnya di masa itu dan mengatakan bahwa aku hanya mengada-ada. Memang susah untuk berbicara dengan orang tidak waras dan pernah mengajak dua orang teman untuk adu clurit dan parang secara tiba-tiba itu.
Hal yang lebih anjing lagi, rupanya ia menceritakan abcdefuckyou kepada beberapa rekan kami. Cerita yang ia karang sedemikian rupa hingga rekan-rekan menuduhku sebagai penyebab bubrahnya afeksi di antara kami. Ia juga mengarang cerita kepada perempuan barunya itu, hingga suatu ketika si perempuan mengirimkan sebuah swafoto dengan lenggok gaya mengacungkan jari tengah dan dibubuhi tulisan umpatan. Untungnya aku masih memiliki rekaman suara ketika ia membantingiku dengan helm, menggebrak pintu, menendang kipas, dan meneriakiku dengan suara menggelegarnya itu. Jadi, ketika tidak ada satu pun orang yang percaya kepadaku saat itu, aku memilih diam dan tiba-tiba kupasangkan earphone kepada beberapa rekanku itu. Bagai disambar petus tunggal, rekan-rekanku terkejut bukan main ketika mendengarkan rekaman itu. Selamatlah aku dari jerat fitnah murahan yang disebarkan anak anjing kala itu.
Hal yang mulai kusadari pasca mengalami rentetan pengalaman anjing bersama anak anjing itu adalah perjalananku menuju neraka pun dimulai. Aku membenci diriku sendiri. Aku membenci segala yang ada di diriku. Sosok yang pada mulanya kuharapkan akan berjalan bersamaku hingga tubuh kami sisa tulang-belulang karena dimakan cacing-cacing dan serangga tanah, ternyata memaksaku untuk mati muda sendirian. Setiap hari, waktuku hanya kuhabiskan untuk membuat dua anak sungai di kanan dan kiri pipi serta mengurung diri hingga berat badanku tak lebih besar dari ukuran sepatuku. Tubuhku bagaikan anjing beranak enam karena seorang yang anjing itu.
Sial. Pikiranku kembali tersadar dari lamunan imaji liar. Semua ingatan itu rupanya belum ada yang terhapus. Aku masih ingat setiap detailnya dengan sangat jelas. Bahkan, setelah bertahun-tahun sejak kejadian itu, aku masih belum lepas dari jerat pengalaman anjing atau yang mungkin akan lebih enak disebut sebagai momen hancik. Beruntungnya saat ini ada tiga orang di sekitarku yang bisa menjadi pengalih pikiran rusuh yang sangat keruh.
Suasana hati yang begitu bergejolak sejak kakiku menginjak tanah di area warung kopi ini lambat laun mulai menemukan titik surut. Perbincangan dengan tiga orang, yang dua sisanya kuketahui bernama Fathu dan Ali, berhasil mengalihkan pikiran-pikiran rusuh. Pandanganku kemudian menyiasat kepada Ali, orang yang sejak awal berusaha untuk menyimak obrolanku dengan Cul. Lebih-lebih, dia memberikan respons yang baik terhadap setiap dongeng yang kuceritakan. Meskipun sering terdiam, tampak jelas dari kedua sorot matanya bahwa dia menyimak dengan kusyuk.
Berbincang dengan mereka bertiga membuat gangguan kecemasanku mulai terdistraksi. Lebih-lebih ketika aku sedang bercerita, Ali menyimak dengan sungguh-sungguh. Aku membombardir mereka bertiga dengan cerita-cerita tentang pengalaman anjingku itu dan berharap bahwa dengan bercerita, gunung nestapa yang beberapa tahun belakangan ini kupanggul di pundakku akan hilang. Hal yang lebih mengejutkan lagi, ternyata si anak anjing itu ada di kedai kopi itu juga. Semakin semangatlah aku untuk membongkar perilakunya yang anjing itu. Kupekakkan telinganya biar mampus. Aku yang semula merasa takut, justru berubah jadi merasa ingin membalas dendam.
Ali tetap khusyuk menyimak setiap ocehanku. Dengan mengenakan kaos hitam bergambar boneka beruang yang dilapisi jaket berwarna marun, ia tampak serius mendengarkanku layaknya sedang mendengarkan obrolan penting dari seorang petinggi di istana negara. Beda dengan seseorang di sampingnya, Fathu si anak pelor itu. Beberapa kali kudapati dia menguap, entah benar-benar mengantuk atau dia bosan mendengarkan ocehan perempuan gila. Tapi, bukan menjadi sebuah masalah buatku karena masih ada Ali dan Cul yang mendengarkan burung gagak yang sedang berkoak-koak ini. Lagi pula, tidak semua orang harus mendengarkan ceritaku, kan? Justru Fathu telah menampakkan kejujuran. Kalau lelah atau bosan, tampakkan saja dengan gerak-gerik yang nyata biar orang sekitarmu menyadari.
Pertemuanku dengan tiga orang, yang kemudian bertambah satu lagi ketika ada seorang gempal dari Madura tiba-tiba ikut nimbrung, berlangsung hingga pukul dua dini hari. Kalau tidak diakhiri oleh Cul yang harus berangkat ke bandara pukul tujuh pagi, bisa jadi pertemuanku bersama empat lelaki itu berlangsung sampai pagi. Mau tidak mau, aku pun harus pulang karena malam memang telah mengamuk dan memenuhi langit dengan jubah kegelapan, pertanda bahwa aku harus segera bersembunyi di dalam kamar, melingkupi tubuh dengan selimut, dan mulai bertualang ke alam mimpi.
Aku pulang ke indekosku yang jaraknya tidak sampai lima kilometer dari kedai kopi itu. Sesampainya di kos, aku kembali mengingat-ingat apa saja yang tadi kualami di kedai kopi. Kembali kupikirkan hal-hal sangat menyebalkan itu, sampai suatu ketika aku menemukan satu hal yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan memilih untuk berlayar di dimensi mimpi. Suatu hal, yang sangat rahasia antara aku dengan seseorang yang baru saja mengirimiku pesan singkat, dan penuh dengan mantra-mantra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H