Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

TVRI Bukan Sekadar Liga Inggris, Berbenahlah Sekarang

31 Januari 2020   19:35 Diperbarui: 1 Februari 2020   06:09 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(c) Hasan Aspahani; Senayan, Jakarta; 2016.

Pernah negeri ini di mana hanya satu stasiun televisi yang dapat disaksikan oleh jutaan warganya, yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI).  

Periode di mana rakyat Indonesia mendapat suguhan tayangan yang terkemas apik oleh tangan tangan kreatif pengasuh TVRI, televisi yang dibiayai oleh negara. Begitu pula di kampung saya, nyaris di ujung Timur Sulawesi Selatan.

Kala itu, medio tahun 80 -an kampung saya hanya bisa menyaksikan tayangan televisi di rumah seorang warga yang cukup mampu membeli pesawat televisi, hitam putih.  

Guna menangkap siaran, dikumpulkanlah pemuda kampung kami, menyambung empat batang bambu. Setiap sambungan, terikat erat menggunakan kawat agar dapat berdiri kokoh dan mempan oleh terpaan angin.

Pada ujung paling atas, antena televisi yang terbuat dari aluminium diikat lebih  kuat menggunakan kawat. Maka beramai ramailah kami mendirikan bambu itu, semata-mata ingin menyaksikan orang berbicara melalui layar televisi, orang-orang bergerak dari Jakarta pulau Jawa.  

Perlu berjam jam lamanya, kami menemukan gambar, itupun kata orang-orang di kampung, "gambar berpasir". Tiga hingga empat orang memegang bambu, menahan tiang antena agar tidak tumbang. Memutar sesenti demi sesenti, lalu sang pemilik televisi dan saya duduk asyik depan layar televisi menunggu orang-orang berbicara melalui layar itu.

Sumber foto : TVRI
Sumber foto : TVRI
Degup jantung berdetak, tak sabaran menanti teknologi masuk ke kampung kami, Labawang  Kabupaten Wajo. Pertama kali yang kami dapat rasakan, adalah suara. 

"Wowww...." seisi rumah kegirangan, suara orang melalui layar kotak berbalut besi dan layar kaca itu mulai terdengar. Degup jantung semakin tak keruan, menunggu wajah-wajah orang bergerak.

"Stop stop stop, gambar sudah jernih". Begitu perintah tuan televisi pada mereka yang memutar tiang bambu untuk menemukan siaran TVRI.  Hebat negeri kami,  seperti kata Iwan Fals, "Sejak Palapa mengorbit ke angkasa, kemajuan teknologi ku semakin berkembang". 

Orang-orang kampung seperti saya ini dapat menyaksikan Elias Pical bertanding tinju melawan lawan-lawannya, meng KO melalui tangan kirinya, pula bisa menyaksikan Mike Tyson menjatuhkan James Buster Douglas, bisa pula melihat Rhoma Irama bernyanyi dan konser, dan macam-macam lah.

Setiap sekali sepekan, kami berkumpul menunggu film Aku Cinta Indonesia (ACI), sebuah film propaganda agar kami lebih bangga dan mencintai negeri ini.  

Pula film Kartun, Flash Gordon, Desaku Yang Kucinta. Dan yang paling penting, malam kemerdekaan 17 Agustus adalah pemutaran film Janur Kuning. Yang kami tunggu adalah, Qahhar Muzakkar- memukul dada sambil berteriak menantang serdadu  Belanda.  Wuihhh, benar benar kami dibuat bangga.

Ada pula program si Unyil. Film kartun yang kami sangat nantikan,  viral bagi anak anak pada masa itu.  Jauh sebelum Upin & Ipin yang digandrungi penonton pada dekade 2000 an.  

Sedang program musik yang paling dinanti setiap minggu adalah Aneka Ria Safari, Album Minggu ini serta kuis Berpacu Dalam Melodi.  Sederet program tersebut adalah hiburan serta tontonan masyarakat Indonesia sebelum menjamurnya terlevisi swasta.

Yah, itulah TVRI mengajak kami bangga kepada bangsa ini.

Melampau beberapa dekade, masa dan tahun. Di penggalan awal tahun 2020 televisi tontonan awal rakyat Indonesia itu sedang kisruh, Dewan Pengawas TVRI memecat Helmy Yahya sang irektur Utama TVRI. 

Simpel alasannya, Helmi menyiarkan siaran Liga Primer Inggris sebagai pemegang hak siar di Indonesia. Nilai pembeliannya mencapai ratusan milyar yang oleh dewan pengawas menilainya, tidak mencerminkan jati diri bangsa. Beberapa pengamat menilai sejak ditangan Helmy, TVRI mulai nampak mengalami perubahan.

Oh iya, TVRI mulai terpuruk dan agak ditinggalkan oleh jutaan rakyat Indonesia setelah serbuan televisi swasta serta stasiun televisi asing yang dengan  mudahnya memasuki udara Indonesia.  

Melalui Helmy Yahya, lahan perlahan TVRI mulai berbenah. Mengganti beberapa program hingga mengubah logo TVRI. Bahkan merebah taghlinya menjadi "Televisi Pemersatu Bangsa".  

Atas segala penilaian pengamat tersebut, saya justru melihat dari sisi lain, pandangan lain.  Saya memulai dari sisi pemilihan tagline "Pemersatu Bangsa".   

Seyogyanya TVRI tidak mengambil peran pada sisi ini sebab melalui televisi swasta peran ini telah mereka  suguhkan. Tengoklah misalnya Trans TV yang memilih "Milik Kita Bersama".  Muatan yang terkandung dalam tagline ini adalah soal persatuan.  

Maka dari itulah, lahirlah sejumlah program handal mereka. Pula TV One, Metro TV, SCTV, RCTI, NET serta sederet televisi lainnya. Walaupun berbalut bisnis, toh serumpun program mereka menciptakan kebanggaan serta membangun inspirasi bagi penontonnya.

Tentang Hak Siar Liga Inggris

Saya cenderung melihat, TVRI sebenarnya tak perlu membeli hak siar Liga Inggris meskipun berdalih memancing masyarakat untuk menonton atau "Back to TVRI".  

Mengapa TVRI tak memilih Liga 1 atau dulu Liga Indonesia milik PSSI untuk mereka siarkan, membeli hak siarnya. Meskipun kata Helmy, hak siar liga Indonesia lebih mahal ketimbang Liga Inggris. Tetapi ini tak boleh menjadi sebuah alasan untuk tidak membeli, sebab dalam pembelian tersebut terdapat nilai nasionalisme.

Menyiarkan liga Indonesia (1) penuh muatan nasionalisme, sekaligus ikut membantu PSSI berkembang. Jika hanya alasan penonton, saya yakin jumlah penonton Liga Indonesia (1) masih lebih banyak ketimbang Liga Inggris. 

Sebagai televisi pemerintah, televisi publik yang non komersial maka menurut saya TVRI justru rugi saat menayangkan Liga Inggris sebab TVRI tidak menemukan nilai komersial kecuali penonton.   

Justru sebaliknya TVRI akan mendapatkan nilai yang positif jika menayangkan Liga Indonesia, Liga Putri Indonesia serta Liga 2. Bukankah TVRI telah memiliki peralatan serta kantor hingga ke berbagai ibu kota provinsi di Indonesia? Mengapa perangkat lengkap itu tidak dimanfaatkan? Pula melalui ragam program.  

TVRI menurut saya sebaiknya meniru konsep BBC World service, CNN, VOA, ABC atau NHK Jepang.  TVRI sebaiknya memilih peran sebagai media advokasi bagi bangsa Indonesia untuk dunia luar.  

Penting bagi TVRI untuk menjadi sebuah stasiun televisi sebagai corong Indonesia pada dunia, corong rakyat kepada penguasa serta corong penguasa kepada rakyatnya sendiri.

TVRI harus menjadi cermin dan wajah Indonesia, mulai dari sisi budaya kita, pandangan politik, ekonomi, sosial, lingkungan serta ideologi kita bangsa Indonesia. 

TVRI adalah cermin dan wajah Indonesia, itulah yang harus diciptakan oleh direksi TVRI dan TVRI tidak boleh memilih bersaing dengan televisi swasta yang konsen pada nilai komersial serta tergantung pada rating dan share.  

Inilah saatnya menurut ku, TVRI  mulai berbenah serta melakukan reformasi internal untuk menjadi sebuah stasiun televisi kebanggaan bagi bangsa Indonesia.   

Jika perlu, TVRI melakukan pembenahan pada internal terutama karyawannya serta tenaga kreatif lainnya. 

Jumlah karyawan TVRI yang tergolong gemuk, Sumber Daya Manusia yang cenderung tidak mengikuti perkembangan zaman akan mempengaruhi perjalanan TVRI ke depan. Pada tahun 2020 ini, adalah abad milenial di mana persaingan stasiun televisi akan semakin ketat dan meningkat.

Jika TVRI tak melakukan pembenahan secara internal, melakukan reformasi pada tubuh TVRI, manajemen, Sumber Daya Manusia, program maka saya yakin TVRI  tak akan sanggup mengikuti ritme perjalanan zaman ini. 

Pemerintah sebagai owner TVRI sudah saatnya  menekan  TVRI agar melakukan pembenahan secara menyeluruh bukan sekedar mengganti direksi, mengganti dewan pengawas atau membeli program.

Tentang Program

Mantan Direktur Utama Helmy Yahya berdalih, saat eranya membeli tayangan Liga Inggris adalah dalih untuk menarik kembali penonton Indonesia. Liga Inggris akan dijadikan sebagai "killer content" atau menyebutnya Monster Content  agar penonton mampir di stasiun TVRI. 

Jika TVRI menjadikan Liga Inggris sebagai "killer content" sekali lagi saya menyebut sebagai hal yang keliru dengan menghabiskan anggaran ratusan milyar rupiah.  

Sebab saya yakin, terdapat tenaga profesional atau production House di Indonesia yang sanggup menciptakan program "killer content" seperti yang Helmy Yahya maksud. 

Sebab sejumlah televisi swasta di Indonesia sukses melahirkan program "killer content" tanpa melibatkan pihak asing. Mata Najwa, Bukan Hitam Putih, Extravaganza, Indonesia Lawyers Club, Seputar Indonesia, Liputan6 SCTV,  Patroli, Dandim Academi Indonesia, Liga Dangdut, Kontes Dangdut serta sederet program lainnya yang sukses menarik para pemirsa ke stasiun televisi tersebut.

Tak terlambat bagi TVRI dan pemerintah untuk memulai konsep perubahan yang baru, warna baru bagi stasiun milik pemerintah.  Kita tunggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun