Mohon tunggu...
Annisa Shafira Zahra
Annisa Shafira Zahra Mohon Tunggu... Administrasi - A dreamer in her mid 20's

When life gives you lemons, make lemonade

Selanjutnya

Tutup

Nature

Biologi Laut | Adaptasi Xenograpsus testudinatus, Kepiting Tangguh Penghuni "Neraka" Bawah Laut

15 Desember 2019   15:14 Diperbarui: 15 Desember 2019   15:27 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Morfologi Xenograpsus testudinatus. [Sumber: WoRMS]

Xenograpsus testudinatus merupakan kepiting omnivor yang mencari makan di dasar laut. Makanan kepiting ini meliputi 'marine snow' atau zooplankton yang mati terbunuh oleh cairan hydrothermal vents, bangkai-bangkai krustasea dan detritus lain, bakteri, alga, dan fungi. Jenis makanan kepiting ini dipengaruhi oleh pergerakan atau aktivitas migrasi yang dilakukannya. Uniknya, aktivitas migrasi ini, selain mempengaruhi jenis makanan, ternyata juga merupakan bentuk adaptasi reproduksi pada kepiting betina. Hal ini dibuktikan oleh Hung dan timnya melalui penelitian mereka yang dipublikasikan di tahun 2019.

Penelitian tersebut bertujuan menjelaskan adaptasi reproduksi Xenograpsus testudinatus di lingkungan yang ekstrem. Sampel yang diambil terdiri dari air laut, sedimen, dan sampel biologis, termasuk kepiting Xenograpsus testudinatus. Salah satu variabel yang diteliti yakni prediksi sumber makanan kepiting. Prediksi ini diketahui melalui analisis tanda isotop delta 13 C dan delta 15 N terhadap sampel biologis. Dilakukan juga pengukuran faktor lingkungan pada sampel air dan sedimen. Faktor lingkungan yang diukur meliputi suhu, kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO), pH dan total sulfida terlarut (total dissolved sulfide/TDS).

Lokasi pengambilan sampel penelitian Hung dkk. (2019). [Sumber: PLOS ONE]
Lokasi pengambilan sampel penelitian Hung dkk. (2019). [Sumber: PLOS ONE]

Pengambilan sampel dilakukan di empat lokasi berbeda di kawasan Pulau Kueishan. Lokasi penelitian itu diberi nama Stasiun A, B, C, dan D. Stasiun A, B, dan C berada di area hydrothermal vent sedangkan Stasiun D berada di area terumbu karang yang jauh dari area vent (Gambar a). Di Stasiun A, terdapat sebuah hydrothermal vent berbentuk cerobong yang berwarna kuning. Kepiting hidup di sekitar dasar vent yang terdapat sedimen dengan kadar sulfida yang tinggi. Di lingkungan ini tidak terdapat organisme lain (Gambar b).

Stasiun B terletak agak jauh dari Stasiun A. Di Stasiun B terdapat hydrothermal vent berupa celah berwarna putih. Kepiting berkumpul di celah-celah bebatuan yang ditempati oleh anemon dan alga (Gambar c). Stasiun C terletak di tepi area hydrothermal vent. Kepiting berkumpul di celah-celah bebatuan bersama dengan organisme lain seperti alga, anemon, koral, siput, dll. Komunitas biologis di Stasiun C menyerupai yang ada di daerah terumbu karang (Gambar d). Di Stasiun D tidak ditemukan kepiting Xenograpsus testudinatus sehingga tidak dilakukan pengambilan sampel kepiting di stasiun ini.

Hasil pengukuran menunjukkan, sampel cairan hydrothermal vent dari Stasiun A memiliki suhu tinggi (106 derajat C), pH rendah (2,48), DO rendah (47,3 mikroM), dan TDS tinggi (26,5 mg/L). Cairan ini dapat membahayakan kepiting. Namun, sampel air laut dari bagian dasar cerobong vent pada Stasiun A menunjukkan nilai yang mirip dengan perairan laut yang tidak terdapat vent: suhu (27 derajat C), DO (179,5 mikroM), pH sedikit lebih rendah dari normal (6,38) dan TDS (5,49 mg/L). Nilai DO dan TDS pada sampel air bagian dasar ini tidak berbeda secara signifikan dengan Stasiun D. Alasan kepiting berkumpul di bagian dasar vent diduga untuk menghindari kontak langsung dengan cairan vent yang panas dan toksik.

Larva kepiting yang bersifat planktonik akan terbawa oleh cairan vent dan dapat mengalami cedera atau kematian jika dilepaskan oleh kepiting betina di Stasiun A. Akibatnya, kepiting betina yang sedang mengandung bermigrasi ke wilayah pinggir vent (Stasiun B atau C) untuk melepaskan larva mereka. Hal ini disebabkan, kondisi lingkungan di kedua stasiun tersebut lebih kondusif untuk perkembangan larva (suhu Stasiun B: 26 derajat C, Stasiun C: 25 derajat C; pH Stasiun B: 6,85, Stasiun C: 7,65; DO Stasiun B: 192 mikroM, Stasiun C: 197,6 mikroM; dan TDS Stasiun B: 4,78 mg/L, Stasiun C: 0,58 mg/L).

Kepiting betina terpantau kembali ke habitat aslinya di area hydothermal vent setelah melepaskan larva di Stasiun B atau C. Kemungkinan penyebabnya yaitu, pada Stasiun A, tidak terdapat banyak organisme predator dan kompetitor kepiting ini. Selain itu, di Stasiun A terdapat lebih banyak zooplankton yang menjadi sumber makanan utama kepiting ini. Kepiting tidak ditemukan di Stasiun D (area terumbu karang) karena endapan di kawasan terumbu karang mengandung lebih sedikit zooplankton dan lebih banyak fragmen makroalga dan partikel mineral.

Kesimpulannya, penelitian ini menunjukkan bahwa kepiting X. testudinatus memiliki perilaku migrasi reproduktif yang unik sebagai adaptasi terhadap lingkungan hydrothermal vent. Kepiting betina dewasa bermigrasi ke wilayah pinggiran vent untuk melepaskan larva mereka agar larva terhindar dari cedera dan efek toksik dari cairan vent. Setelah larva dilepaskan, kepiting bermigrasi kembali ke area vent, karena area tersebut kaya akan zooplankton, minim persaingan, dan minim predator.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun